visitaaponce.com

Ramadan di Rusia, Mahasiswa Indonesia Jalani Puasa Lebih Lama

Ramadan di Rusia, Mahasiswa Indonesia Jalani Puasa Lebih Lama
Suasana berbuka puasa di Masjid Marjani Kazan, Rusia(Dok Amy Maulana)

MENJALANKAN ibadah puasa Ramadan di negeri orang, sekaligus di tengah pandemi covid-19 dan harus terpisah dari keluarga, tentu bukanlah hal yang mudah. Seperti yang sedang dialami oleh Ketua Tanfidziyah PCI NU Federasi Rusia dan Eropa Utara, Amy Maulana, yang sudah dua kali menjalani bulan Ramadan di Rusia karena mengenyam pendidikan.

Amy menuturkan bahwa durasi berpuasa di Rusia juga jauh lebih lama dari Indonesia yakni selama 16-20 jam. Waktu subuh jatuh pada pukul 02.00, sementara maghrib pada pukul 22.00.

“Kalau kita puasa seperti tahun lalu kita buka puasa pukul 22.00 biasanya nggak tidur langsung salat maghrib, isya, tarawih, kemudian sahur. Jadi satu kali masak untuk buka dan sahur. Perut rasanya masih kenyang tapi mau bagaimana, kita harus sahur,” ujar Amy dalam acara Nunggu Sunset, Kamis (22/4).

Baca juga: Tanggapi Toa Masjid, LTM PBNU: Kuncinya Komunikasi dan Kesepakatan

Selain harus terbiasa dengan durasi puasa yang lebih lama, Amy juga harus beradaptasi dengan iklim Rusia yang sangat berbeda dengan Indonesia, waktu salat yang berubah-ubah sesuai musim, serta bahasa.

Meski suasana Ramadan di Rusia tahun ini sudah jauh lebih baik dari tahun lalu karena adanya karantina covid-19 selama 4 bulan, namun Amy mengaku sangat merindukan makanan Indonesia dan kebersamaan dengan keluarga.

“Yang paling dirindukan luar biasa masakan Indonesia. Alhamdulillahnya buka puasa bersama di sini kita bisa bertemu mahasiswa dari berbagai negara muslim. Seluruh mahasiswa yang kuliah di Rusia mereka semua menyerbu masjid untuk buka puasa bersama,” ujarnya.

“Tapi siapapun kalo ditanya tentu saya sangat senang sekali kalau puasa di Indonesia apalagi bersama sanak keluarga,” lanjutnya.

Senada dengan Amy, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Prancis, Deni Endriani yang kini sedang menetap di Prancis untuk mengenyam pendidikan juga mengaku sempat kesulitan beradaptasi dengan durasi puasa yang lebih lama di negara tersebut.

“Awal-awal agak berat karena tempat dan buka puasa setengah 10. Jam 6-9 malam badan rasanya sudah lemas, jadi disiasati tidur sejenak karena kan sudah terbiasa dengan puasa di Indonesia,” tutur Deni.

Dia menuturkan, ibadah puasa terasa semakin berat saat musim panas tiba, karena udara di luar rumah yang cukup panas dan banyak orang (yang tidak berpuasa) makan es krim untuk menyegarkan diri.

Baca juga: Larangan Mengkhatamkan Alquran dengan Tergesa

Deni menuturkan, sebelum pandemi melanda, KBRI di Prancis biasanya menggelar buka bersama dan menghidangkan menu khas Indonesia. Namun, karena kebijakan lockdown untuk meredam penyebaran covid-19, kegiatan tersebut untuk sementara ditiadakan.

“Baru sebulan lalu Presiden Macron umumkan gelombang ketiga serangan virus, lalu dilockdown total sampai tanggal 26. Kita nggak tahu setelah tanggal 26. Tapi pengajian kami mengadakan buka bersama di rumah masing-masing di depan laptop (secara virtual),” tambahnya.

Menurut Deni selama bulan Ramadan di tengah pandemi covid-19 seperti ini, protokol kesehatan memang harus diterapkan tanpa ada tawar menawar agar tubuh sehat dan terhindar dari penularan virus, serta ibadah tetap lancar.

“Yang penting bahagia dan bersyukur selalu karena semua ada hikmahnya. Protokol kesehatan tidak boleh lemah, tetap harus (diterapkan),” tandasnya.(H-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat