visitaaponce.com

Annie Ernaux dan Evolusi Baru Sastra Prancis

Annie Ernaux dan Evolusi Baru Sastra Prancis 
(MI/Sajak Kofe)

PEMBAGIAN kelas dalam tatanan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat dunia masih menjadi isu hangat hingga ini hari. Pengamatan dan pemaknaan kembali atas situasi ketimpangan itu, telah menjadi dasar bagi penulis Prancis Annie Therese Blanche Ernaux, 82. 

Dia baru saja meraih Hadiah Nobel Sastra 2022. Pujian-pujian membanjir dari berbagai kalangan seantero negerinya dan dunia kepadanya. Komitmen Ernaux ke "kiri", telah memberikan kontribusi besar bagi evolusi baru dalam kesusastraan Prancis. 

Tak tanggung-tanggung, Presiden Prancis Emmanuel Macron ikut memujinya. Menurut orang nomor satu di Negeri Heksagon itu, penghargaan dan hadiah kepada Ernaux merupakan "suara" dari kebebasan perempuan yang dilupakan di abad ini. 

Ernaux adalah penulis ke-16 Prancis yang menerima Nobel. Awalnya, Sully Prudhomme (1839-1907) pada 1901 dan terakhir Patrick Modiano, 77, pada 2014. Ernaux sendiri mendapuk namanya sebagai penerus novelis Tanzania Abdulrazak Gurnah, yang lebih dahulu meraih penghargaan serupa tahun lalu. 

"Penghargaan ini sebagai sebuah kehormatan tertinggi bagi saya. Tanggung jawabnya sangat besar pula," ujar Ernaux dalam sebuah wawancara di televisi Swedia  SVT seusai namanya diumumkan Nobel Foundation, Swedish Academy, dan Norwegian Nobel Committee di Oslo, Norwegia, pertengahan pekan lalu. "Artinya, saya telah bersaksi lewat keadilan, dalam kaitannya dengan dunia." 

Ernaux lahir di Lillebonne (Seine-Maritime), pada 1 September 1940. Selain sebagai penulis, ibu dua anak itu juga seorang profesor sastra Prancis. Ia menikah dengan Philippe Ernaux, namun rumah tangganya kandas di tengah perjalanan. Pendidikan formal ditempuhnya di University of Rouen dan University of Bordeaux. 

Mayoritas karya-karya Ernaux berbentuk novel autobiografi. Memiliki hubungan dekat dengan sosiologi. Dia dianugerahi hadiah Nobel "atas keberanian dan ketajaman klinis serta keuletan mengungkap akar, kerenggangan, dan pengekangan kolektif dari ingatan di masa lalu." 

Bagi Ernaux, menulis ibarat kebutuhan yang tidak dapat dihentikan. Dia menyajikan hal-hal universal. Menjadikan pekerjaan itu sebagai sebuah panggilan dalam hidupnya. Lalu, menceritakan kembali sebuah kisah, perasaan, dan emosinya kepada khalayak umum. 

Ernaux bekerja penuh keteguhan. Membiarkan dirinya larut melalui frasa demi frasa dan buku demi buku. Dia mencoba untuk menjelaskan apa yang sebenarnya tidak dilihat oleh kebanyakan orang. Menuangkan pemahaman dan ekspresi kebenaran secara struktural. 

Dasar-dasar itu telah menjadi kekuatan fundamental Ernaux. Dia melakukan riset dengan mengedepankan teori-teori sastra, sosiologi, dan sejarah. Semua dituangkan secara spesifik ke dalam karya demi karya. 

Penolakan kecantikan 

Tema-tema perbedaan kelas begitu kuat di sejumlah novel autobiografi Ernaux. Sebut saja, Les Armoires vides/Kabinet Kosong (Gallimard, 1974), La Honte/Malu, (Gallimard, 1997), Mémoire de fille/Memori Seorang Gadis (Verso, 2016), dan Regarde les lumières mon amour/Melihat Pelita Cintaku (Seuil, 2014). 

Dalam karya-karya tersebut, Ernaux berkomitmen ke "kiri" dengan menolak kecantikan dan keindahan. Dia lebih memihak pada kaum proleter. Hal itu telah memberikan kontribusi besar bagi evolusi baru di dalam perjalanan dan perkembangan sastra Prancis. 

Dia bekerja untuk mengganggu ketertiban dalam aturan sastra yang baku. Itu sebagai caranya untuk mengguncang tatanan sosial di Prancis. Apik memilih objek yang "dianggap tidak layak dalam sastra". Seperti aborsi, perdagangan perempuan, dan lain-lain. Dia juga menolak visi ornamen dari hukuman. Memilih untuk mereproduksi dan membentuk ketajaman dalam analisis. 

Berpikir kritis itu telah membuat Ernaux dikenal sebagai seorang pembelot dari kelas sosial. Dia sudah 48 tahun fokus sekaligus intens menghadirkan tema-tema yang berhubungan dengan kehidupan pribadinya. 

Peneliti, penulis esai, dan kritikus sastra Prancis, Dominique Viart, sebagaimana dilansir surat kabar Le Monde mengatakan bahwa Ernaux sangat besar memperhatikan isu-isu sosial, perbedaan kelas, sosial-budaya, dan hak perempuan. 

Untuk kategori seni dan berpikir kritis, Ernaux mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan mendasar. Mulai dari memori masa lalu, kehidupan sehari-hari, warisan, sampai keturunan. Hal-hal tersebut menjadi sebuah fenomena sastra. 

Sebagai penentu kembalinya subyek dan fiksi, Ernaux telah berpartisipasi dalam perdebatan. Baginya, sastra kini perlu mempertahankan ilmu manusia. Artinya, mengedepankan antropologi, sosiologi, dan psikologi. 

Hirarki sosial 

Duchesne, nama belakang Ernaux sebelum menikah, tumbuh besar bersama keluarga yang berasal dari Lillebonne. Orang tuanya memiliki usaha kedai kopi. Pastilah, banyak orang yang mampir sekadar berdiskusi sambil menyeruput kopi. 

Dari tempat itulah, Duchesne muda mendapatkan semua jenis dan bahasa percakapan. Dia mendengar segala keganjilan. Semua pengalaman berharga, tanpa disadari telah menggugah hati dan kesadarannya akan hirarki sosial. 

Berbagai pengetahuan dan kedisiplinan membawa perempuan pandai itu meleburkan diri di dunia pendidikan. Dia telah menggenggam posisi sebagai seorang profesor. Tema yang Ernaux pilih dalam hidupnya sederhana.

Yaitu "pembelot kelas" oleh sebab masih adanya kesenjangan sosial. 

Buku terbaru Ernaux berjudul Le jeune homme/Pria Muda (Gallimard, 2022) diterbitkan di Prancis tahun ini. Tentu saja, sebelum namanya didapuk sebagai nobelis. Novel tersebut banyak dibaca, dipuji, dan dikagumi oleh para kritikus hingga publik di negaranya. 

Dia menghadirkan subyek dan tesis yang kuat. Buku tersebut dibuka dengan sebuah kepastian bawah "semua gambar akan hilang." Lalu, berakhir dengan sebuah harapan bahwa "menyimpan sesuatu dari waktu ke waktu hanya membuat kebutuhan anda tidak akan pernah sama." 

Ernaux menghadirkan dua cerita dalam modus impersonal. Kehadiran orang ketiga dalam kehidupan, latar belakang, dan evolusi dunia selama bertahun-tahun tak luput disajikannya secara memukau dalam Le jeune homme

Novel autobiografi tersebut dikerjakan sebagai sebuah totalitas dalam menulis. Awalnya adalah teks-teks ceramah tentang memori individu dan memori kolektif. Karya tersebut memberikan pesan kepada kita untuk lebih memahami kehidupan individu, generasi baru, dan perbedaan kelas di abad ke-21 ini. 

Nobel Foundation, Swedish Academy, dan Norwegian Nobel Committee telah membaca dan menelaah karya-karya Ernaux secara serius. Ya, termasuk novel terakhirnya Le jeune homme. Nobel Foundation yang didirikan pada 1900 itu, akhirnya menentukan pilihan terbaik mereka. 

Ernaux memang piawai, hebat, dan genius. Dia sangat lihai mengisahkan kehidupan kaum proleter di negerinya dari cara pandang ‘aku’. Kini, namanya telah dimahkotai dengan Hadiah Nobel. 

Ya, Ernaux boleh dibilang sebagai pelopor fiksi diri. Dia telah mengangkat selubung keintiman perempuan dengan banyak kesopanan, tetapi tanpa kepura-puraan. Evolusi baru sastra Prancis pun telah ditahbiskan kini. (SK-1) 

 

Baca juga: Dari Stanislavski sampai Riantiarno
Baca juga: Pembacaan Puisi oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia

 

 

 

 


Iwan Jaconiah adalah penyair, editor puisi Media Indonesia, dan kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin (Pentas Grafika, 2022), sebuah buku tentang kisah pelajar dan diaspora Indonesia dari Rusia. Ilustrasi header: Annie Ernaux, MI/Sajak Kofe

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat