visitaaponce.com

Sajak-sajak Uhan Subhan

Sajak-sajak Uhan Subhan 
(Ilustrasi: Na Seoil)

Catatan Mimpi 

memandang ke atas, langit kita satu. melihat ke bawah, bumi kita sama. namun isi kepala dan hati kerap berbeda. biru bagimu, hijau bagiku. cokelat bagiku, hitam bagimu. lantas, bagaimana kita akan beriring? 

ingat, katamu, mimpi kita adalah meruntuhkan dinding. 


Catatan Jalan 

pada jalan yang lurus atau berkelok, kita masih bisa melangkah bersama. ketika kau hendak ke timur, aku tak memilih mundur. manakala aku hendak ke barat, kau tak pernah mendebat. di setiap persimpangan, kita tetap berpegangan tangan. 

jalan itu mempersatukan yang ada di kanan dan di kiri. jalan itu mempertemukan yang di sana dengan yang sini. sampai kapan kita akan menempuh tujuan dan meruntuhkan setiap tantangan? oh, maaf, pertanyaan itu telah dikubur dalam-dalam dan kita tinggalkan jauh di belakang. 


Catatan Rumah 

kita tak berumah. bukan berarti kita pengungsi. tak ada alamat yang perlu dicatat. utara dan selatan hanya urusan membalik badan. 

kita tak berumah. bukan berarti kita gelandangan. ini dunia adalah medan petualangan. timur dan barat hanya soal sudut mata melihat. ke mana pun melangkah, di situ kita dapat istirah atau mendirikan kemah.


Catatan Jarak 

waktu selalu memaksa untuk berpacu dan meninggalkan jejak-jejak. begitu pula tempat, senantiasa memberi garis batas. meski kadang tak tegas. begitu pula kita. tetap merasa berjarak meski kerap saling mendekap. 

ciuman yang berulang-ulang, tak juga dapat menyatukan dua hati yang telah lama kepayang. 


Catatan Kota 

“selamat pagi,” katamu. “selamat malam,” jawabku. lalu kau menyeduh kopi dan menikmatinya di dekat jendela. di bawah sana, orang-orang tampak bergegas di jalanan. 

“aku kopi dan kau gula. dalam cangkir kecil ini kita berbaur,” katamu. “ya, aku pahit dan kau manis. di tengah kota besar ini kita bertempur,” timpalku.


Catatan Buku 

tak ada lemari atau sekadar rak. buku-buku ini kita biarkan menumpuk dan berserak. sebagian sudah dimakan rayap dan sobek di beberapa halaman. sebagian belum pernah dibaca dan berdebu di sudut ruangan. 

bukumu. ya, hanya buku puisimu yang berkali-kali kubaca. namun, jujur saja, tak pernah mudah kupahami maknanya. sebab itu, di antara lembar-lembarnya, banyak kutandai dengan sudut lipatan. 


Catatan Pintu 

pintu tak pernah menunggu siapa pun: aku yang akan pergi atau kau yang akan datang. jangankan kunci, gagangnya pun sudah kita buang. 

pintu tak pernah membatasi siapa pun: aku yang akan menendangnya atau kau yang akan membantingnya. saat kita seru berseteru. 


Catatan Pagi 

awal mei. ini pagi terasa amat sepi. jalanan hanya sesekali digetarkan sirine ambulan atau mobil patroli. lihat, langit juga lengang, tapi tak ada sepotong pun matahari. 

embun mei. apa kabar kotaku? apa kabar negeriku? apa kabar dunia? kunyalakan televisi. astaga, semua kanal dipenuhi gosip dan berita basi. oh, ini pagi terasa amat ngeri. 


Catatan Kenangan 
—untuk bunga 

yang telah pergi tak perlu ditunggu untuk kembali. jejak-jejaknya biar saja berserak dan tak terlacak. kehilangan adalah titik terang menuju keabadian. sebagai kenangan bagimu di masa depan. 


Catatan Cahaya 

seperti rindu yang tak pernah mengejar waktu, aku tak pernah memburu cahaya di antara kontinen malam. biar, biar saja gelap merayap dan meningkap damai dalam lelap.

kau tahu, bahaya senantiasa mengendap di balik cahaya. sebab itu, tiada guna matahari menungguku di luar pintu. sia-sia belaka bintang mengiba di luar jendela.


Catatan Malam 
—untuk bapak

terkadang aku merindukan malam tanpa bulan. tanpa bintang. lalu, lamat-lamat terdengar gemuruh panjang—kareta terakhir lewat di kejauhan.  

dalam dekap gulita, di relung senyapnya, bayang wajahmu kelak melintas, jelas membawa kenangan lawas—catatan rindu sepanjang waktu. 


Catatan Api 

sebelum membakar, api senantiasa berkabar: betapa rentan suatu gesekan!
waspada angin. perciknya mudah menyebar dan menjalar. selebihnya, menghanguskan. 

jauh sebelumnya, kau memang sempat mengingatkan: kabar api adalah kobar. sekalinya memercik, kita akan terkepung dalam konflik. terbukti, kini hubungan kita berakhir pelik. 


Catatan Kekasih 

kekasih hati 
tak akan terganti 

jauh dekat 
tak akan berkhianat 

 

Baca juga: Sajak-sajak Remy Sylado 
Baca juga: Sajak-sajak Boris Pasternak
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia

 

 

 

 


Badui Uhan Subhan, penyair dan penulis lepas, lahir di Serang, Banten, 17 Oktober 1977. Tulisan-tulisannya berupa artikel, cerita pendek, dan puisi sempat dimuat di sejumlah surat kabar nasional dan daerah. Karya-karyanya tersebar dalam sejumlah antologi puisi dan antologi cerpen bersama. Antologi Puisi Bersama: Narasi 34 Jam (KSI, 2001), Jogja 5,9 Skala Richter (Bentang Pustaka, 2006), Ode Kampung (Rumah Dunia, 2006), Anafora dari Gaza (Dompet Dhuafa, 2022), dan Banten dalam Puisi (Lumbung Banten, 2022). Antologi Cerpen Bersama: Yang Dibalut Lumut (CWI, 2003), Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (CWI, 2004), dan Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (Dewan Kesenian Mojokerto, 2010). Kini tinggal dan beraktivitas sebagai tenaga pendidik pada sebuah sekolah swasta di Kota Depok, Jawa Barat. (SK-1) 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat