visitaaponce.com

Kenangan Manis Huub Oosterhuis

Kenangan Manis Huub Oosterhuis
(Huub Oosterhuis (Anefo/Bert Verhoeff))

NAMA besar Huub Oosterhuis kini tinggal kenangan. Penyair kontemporer ternama Belanda itu telah mengembuskan napas terakhirnya di Amsterdam, Belanda, pada Minggu (9/4) dalam usia 89 tahun setelah sakit yang begitu singkat. 

Selain populer karena puisi-puisinya yang politis, religius, dan filosofis, Oosterhuis juga dikenal luas masyarakat di 'Negeri Kincir Angin' itu sebagai seorang inovator dari tradisi keimananan alkitabiah kuno. 

Trijntje Oosterhuis, 50, dan Tjeerd Oosterhuis, 51, anak-anak mendiang Oosterhuis, mengatakan bersyukur atas inspirasi dan cinta yang mereka terima dari sang ayahanda tercinta semasa hidupnya. 

"Terlepas dari kesedihan yang luar biasa, hati kami dipenuhi dengan cinta dan rasa syukur atas semua momen indah yang kami terima dari ayah. Dia menginspirasi kami dengan penuh kasih," kata Trijntje dan Tjeerd di Amsterdam, Senin (10/4), seperti dilansir dari RTL Nieuws

Perjalanan Oosterhuis dalam dunia perpuisian tidak dapat diragukan lagi. Dia berhasil memprakarsai pusat budaya kontemporer di Amsterdam bernama Poplar. Dari tempat inilah, kemudian muncul Bar, Red Hat, dan De Nieuwe Liefde. 

Pada 1998, kebahagiaan menyelimuti Oosterhuis. Saat itu, dia menerima Medali Perak dari Kota Amsterdam. Dia juga meraih gelar Doktor Kehormatan dari Vrije Universiteit Amsterdam pada 2002. Lalu, menerima Anugerah Predigtpreis dari Jerman yang bergengsi pada 2014. 

Karya puitis Oosterhuis berkisar dari adaptasi mazmur, protes politik, himne mistis, dan puisi bebas yang sangat personal. Dia juga menciptakan lagu-lagu repertoar yang sebagian besar digunakan di paroki-paroki. 

Oosterhuis, lahir di Amsterdam, pada 1 November 1933. Pertama kali dia menulis puisi saat berusia 15 tahun. Puisi pertamanya berjudul Salju di Pepohonan yang begitu kuat dengan unsur repetitif dan realisme. Berikut petilan bait-baitnya. 

Salju di pepohonan 
salju di bulu mataku 
tidak akan meleleh ini hari  
salju di pangkuan ibuku 
salju di tangan ayahku 
masih belum mencair ini hari  
kayu ialah pesona kami 
salju di rambut pepohonan  
salju di pangkuan itu perempuan 
salju putih salju dalam diriku 
masih belum mencair ini hari 

Pemaknaan kembali atas musim dingin begitu lihai Oosterhuis muda tuangkan ke dalam karyanya. Puisi Salju di Pepohonan begitu sederhana, mudah dipahami, dan dapat diingat oleh siapapun yang mengenal sosoknya, baik dari teks buku maupun pertemuan semasa hidup. 

Oosterhuis secara teratur dan telaten menerbitkan volume puisi-puisinya sejak 50 tahun terakhir ini. Kumpulan puisi terakhir yang dia terbitkan ialah Handschreven/Tulisan Tangan (Utrecht, 2020). Banyak dibaca oleh kaum akademis, baik kajian sastra, filsafat, maupun teologi. 

Spiritualisme dan rintangan hidup 

Selain puisi, Oosterhuis juga menulis teks dan lagu untuk liturgi baru berbahasa Belanda sejak 1958. Pada 1965, dia ditahbiskan sebagai pastor Yesuit, namun memutuskan hubungan sebagai pendeta dengan Gereja Katolik Roma secara resmi pada 1970. 

Perjalanan spiritual membawa dia berafiliasi dengan Ekklesia Amsterdam, sebuah wadah perpanjangan dari Mahasiswa Ekklesia Amsterdam. Dari tempat inilah, karya liturgis Oosterhuis menyebar ke seluruh Belanda dan sampai ke Flanders di Belgia serta ke negara-negara berbahasa Jerman dan Inggris dalam terjemahan. 

Oosterhuis selalu mencari 'rumah tempat segala sesuatu hidup'. Tempat di mana orang dapat mengais ilmu, membaca, menyanyi, merenung, dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan besar tentang iman, filsafat, bahasa, politik, dan masyarakat. Untuk tujuan ini, dia berturut-turut mendirikan Poplar sebagai pusat budaya kontemporer di sejumlah kota. 

Oosterhuis selalu mencari rumah tempat segala sesuatu hidup. Dia kini telah selesai menulis puisi-puisinya yang indah. 

Di ranah perpuisian Belanda, Oosterhuis merupakan penggagas School of Poetry dan inisiator VSB Poetry Prize (VSB Poëzieprijs), serta pemimpin redaksi majalah Werkschrift, Roodkoper, dan Nieuwe Liefde Magazine

Kiprah Oosterhuis dalam kebudayaan telah memberikan kebaharuan yang sangat penting. Terutama, menghadirkan VSB Poëzieprijs yang menjadi kebanggaan para penyair Belanda dan sekitarnya. Sejumlah nama-nama besar telah menerima penghargaan bergengsi itu. Sebut saja, penyair kontemporer Hugo Claus pada 1994, Tonnus Oosterhoff pada 2003, atau Joost Baars pada 2018 lalu. 

Tak ketinggalan, kajian tentang pemikiran Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (Amsterdam, 1820 - Ingelheim am Rhein, Jerman, 1887), seorang pegawai negeri di Hindia-Belanda, juga sering Oosterhuis sajikan lewat diskusi daring. 

Salah satu diskusinya ialah saat perayakan 200 tahun Multatuli, pada 4 Oktober 2020. Oosterhuis memberikan kajian dan celoteh sastra secara daring. Kebetulan, saya juga mengikuti acara diskusi tersebut. 

Oosterhuis telah ikut menghadirkan berbagai perspektif unik dalam sastra. Dalam kumpulan puisinya Die wij denken/Siapa yang Kita Pikir (Uitgeverij Ten Have, Utrecht, 2017), misalnya, dia memunculkan tema-tema religius yang segar. Menghadirkan pertanyaan substansial, seperti 'Tuhan atau bukan?' atau 'Adakah kehidupan setelah kematian?'. 

Lewat antologi tunggal tersebut, Oosterhuis mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam. Senantiasa akan dikenang pembaca. Sebagian besar barangkali mengetahui, tidak mengetahui, meragukan, atau menginginkan jawaban lain. 

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang lekat dengat kajian puisi atau filsafat, Oosterhuis sudah selesai menyumbangkan ide dan pemikiran barunya dalam perpuisian Belanda. Dia adalah pemikir ulung yang pandai dan genius. 

Manusia hanya memiliki waktu singkat untuk dihabiskan di bumi. Itulah kenyataan pahit sebab segala sesuatu di bawah langit ada waktunya. Sebaliknya, kenangan manis juga akan selalu mengiringi warisan perpuisian Oosterhuis yang telah diabadikannya lewat buku-buku. Beristirahat dalam damai, wahai penyair besar. Rust in vrede, dichter. (SK-1) 


Baca juga: Sahara
Baca juga: Ami Intoyo, Senyum Itu Tiada Kini
Baca juga: Sajak Kofe, Ruang Puisi di Media Indonesia


 

 

 


Iwan Jaconiah, penyair, kulturolog, dan editor puisi Media Indonesia. Ia adalah kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin (Pentas Grafika, Jakarta, 2022). Foto header: Huub Oosterhuis, Anefo/Bert Verhoeff. (SK-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat