visitaaponce.com

Sahara

Sahara
(MI/Dapur Teater 23761)

PERJUMPAAN pertama saya dengan sastrawan Remy Sylado (1945-2022) terjadi pada sebuah acara diskusi novelnya berjudul Cau Bau Kan. Celoteh sastra itu berlangsung di Bandung, Jawa Barat, 2002 silam. 

Saya ingat betul perawakannya sangat perlente. Ia mengenakan pakaian serba putih. Mulai dari baju, celana, topi ala koboi, hingga sepatu bot berujung lancip. Saya mendekati dan memperkenalkan diri. Sejurus, Remy pun menyambut ramah. 

Nama Remy memang sudah terkenal seantero Nusantara. Sejumlah karya Remy, baik puisi maupun prosa, telah memengaruhi sebagian besar generasi muda di Bandung dan Jakarta. Gerakan "Puisi Mbeling" di era 1970-an, misalnya, telah menjadi ciri khas dan gayanya. Senantiasa menyentil dan menggigit. 

Memahami ide genius Remy sesungguhnya sulit. Namun, kita dapat menelisik lewat kumpulan puisi Kerygma & Martyria. Terbagi atas dua bagian, yaitu Kerygma (394 puisi) dan Martyria (487 puisi). Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2004). Inilah antologi paling tebal yang pernah Remy buat sepanjang hidupnya. 

Pertemuan kedua pun terjadi pada 2007 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. Saat itu, Remy turun dari sebuah mobil putih bersama seorang teman perempuannya. Mereka menuju ke bioskop XXI TIM. Sejak itu, perjumpaan-perjumpaan berikutnya tak terhitung lagi. 

Suatu sore pada Mei 2015, Remy menelepon saya. Ia mengajak rendezvous, sebuah janjian pertemuan, di kawasan Cikini. Ia menawarkan saya untuk ikut terlibat dalam pementasan lakon Oey Thai Loe, produksi Dapur Teater 23761. Lakon itu diadaptasi dari sebuah novel karya Robert Widjaya. Mengangkat isu persoalan kehidupan orang-orang Tionghoa di Batavia abad ke-18. 

Saya pun mengiyakan dan mengikuti latihan selama dua bulan bersama belasan aktor lainnya di TIM. Akhirnya lakon dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, pada medio Agustus 2015. Dua bulan setelah pementasan, tepatnya akhir Oktober, saya pun pamit baik-baik ke Remy untuk berangkat belajar ke Moskwa, Rusia. 

Sebagai pengarang mumpuni, Remy memiliki daya pikir universal. Ia laik disetarakan dengan sastrawan besar Rusia Anton Chekhov (1860-1904) atau Leo Tolstoy (1828-1910). Kesamaan mereka ialah menghasilkan karya sastra kelas dunia dan banyak diadaptasi pula ke panggung pertunjukan. 

Dekadensi 

Di sini, saya coba membagi proses kreatif Remy ke dalam enam dekadensi berkarya. Yaitu, era 1960-1970, 1970-1980, 1980-1990, 1990-2000, 2000-2010, dan 2010-2020. Dalam enam dekade inilah, peraih SEA Write Award 2015 dari Kerajaan Thailand, itu memberikan pengaruh penting dalam sastra dan budaya di Republik ini. 

Remy muda memulai karier sebagai wartawan Harian Tempo di Semarang pada 1965. Di saat itulah, ia pertama kali ikut meliput tragedi berdarah 30 September 1965. Isu-isu tentang komunisme yang begitu kuat di sekitar Jawa Tengah, membuat Remy muda cukup berhati-hati menulis artikel. 

Dari semua periode kreativitas Remy, saya mendengar cerita secara langsung darinya hanya tiga periode saja. Yaitu, 1960-1970, 1970-1980, dan 2000-2010. Periode-periode lainnya butuh riset secara spesifik sebab legasi Remy sangat kompleks. 

100 hari sudah Remy Sylado pergi ke pangkuan Sang Khalik. Nama besarnya selalu dikenang harum di ini Republik. 

Ketiga periode tersebut ialah; pertama, pada periode 1960-1970 saat Remy menghasilkan draft awal novel Gali Lobang Gila Lobang dan Siau Ling. Karya dua novel tersebut tidak diterbitkan secara bebas di era Orde Baru. Barulah setelah Reformasi, diterbitkan lagi dengan oplah yang bagus. 

Kedua, pada periode 1970-1980 ketika Remy muda bekerja sebagai redaktur majalah Aktuil pada 1970 dan sebagai dosen Akademi Sinematografi Bandung pada 1971. Di awal 70-an inilah awal Gerakan “Puisi Mbeling” dimulai dari Bandung. 

Remy menamai “Puisi Mbeling” sebagai rubrik puisi di majalah Aktuil. Banyak penyair muda yang ia bimbing. Bahkan, puisi-puisi Mira Sato, nama pena Seno Gumira Ajidarma, konon diterbitkan pertama kalinya di rubrik yang diasuh Remy. 

Gerakan “Puisi Mbeling” kian memperlihatkan taringnya saat Remy menerbitkan buku kumpulan puisi Orexas. Buku itu juga dibuat dalam bentuk versi album Orexas (1978) di bawah naungan Duba Records. Orexas ialah akronim Organisasi Sex Bebas. 

Misi pergerakan ialah egaliter kaum remaja perkotaan. Mereka tidak lagi memperdulikan adat-istiadat. Melawan kaum tetua-tetua yang feodal dan munafik ialah perjuangan mereka. Pada periode inilah, Remy kian tersohor. Di sini, gerakan “Puisi Mbeling” kian mendapatkan tempat di hati generasi muda. 

Dan, ketiga ialah periode 2000-2010. Sebagaimana di awal tulisan ini, saya sebutkan bahwa pertemuan awal kami terjalin pada 2002. Di era inilah, nama besar Remy sudah meluas dan mendunia. Tidak hanya di ranah sastra, namun juga seni rupa, musik, teater, dan film. 

Ia menguasai antara 7-11 bahasa asing sehingga referensi buku asing dan riset menjadi pegangannya dalam menulis novel. Bahasa Belanda, misalnya, digunakan sehari-hari sebagai bahasa percakapan antara Remy dan istrinya, Emmy Tambayong di rumah mereka di bilangan Cipinang, Jakarta Timur. Sedangkan bahasa Ibrani dan Yunani, Remy gunakan saat membaca Alkitab. 

Seketika pandemi Covid-19 merundung duka masyarakat dunia, saya kembali dari Moskwa ke Jakarta. Saya mendapat kabar tentang keadaan Remy. Kondisi kesehatannya kian memburuk. Saya pun langsung pergi menjenguk ke rumahnya di Cipinang Muara, Jakarta Timur, pada awal Agustus 2021. 

Puisi terakhir 

Pada suatu sore, Remy terlihat gundah di tempat tidur. Ia pun meminta kertas dan pulpen ke Emmy. Sang Munsyi mencoba untuk menulis puisi secara semangat. Sayang, begitu sulit Remy mengangkat pena. Itu tak mudah baginya sebab sedang stroke berat. 

Meski demikian, akhirnya Remy berhasil menyelesaikan tiga buah puisi pendek. Saya menerima dan membaca manuskrip aslinya. Puisi-puisi itu saya pun serahkan kepada redaksi Media Indonesia. Kebetulan, akan digelar Festival Bahasa dan Sastra untuk pertama kalinya di lingkungan Media Group Network pada Jumat, (29/10/2021), tempo itu. 

Melihat Remy menulis dengan kondisi yang sekarat adalah sebuah keajaiban. Ia masih dapat menuangkan seluruh pemikiran geniusnya lewat karya. Tiga puisi itu berjudul Aku Dengar Suara yang Lain, Senja di Kamar, dan Indonesia

Puisi berjudul Aku Dengar Suara yang Lain diterbitkan di halaman utama harian Media Indonesia edisi 30 Oktober 2021. Hal ini menjadi tak lazim dalam pers nasional sebab puisi disajikan kepada pembaca di headline

Remy sudah terbang jauh di usianya ke-77. Ia menghembuskan napas terakhirnya pada Senin, (12/12) pukul 10.30 WIB dan dimakamkan sehari kemudian di TPU Menteng Pulo, Jakarta. Semasa hidup, Remy setia berkarya. Ia menjadikan puisi sebagai panglima di bulan-bulan sengsaranya sebab puisi ialah doa terindah. 

Kini, sudah 100 hari kepergian Remy ke pangkuan Sang Khalik. Berbagai acara digelar di sejumlah kantong kebudayaan yang ada di Jakarta. Ada dialog budaya, pentas teater, pameran lukisan, dan pembacaan puisi. 

Nama besar Remy selalu harum. Laik untuk dikenang selamanya dalam perjalanan seni dan budaya di Republik ini. Di depan jendela, gerimis perlahan-lahan rinai membasahi balkon. Angin pun bertiup sedikit kencang meluruhkan dedaunan kering. Di sahara, kelak kita berjumpa kembali. (SK-1) 

Baca juga: Sajak-sajak Remy Sylado 
Baca juga: Remy Sylado dan Indonesia Berpuisi
Baca juga: Tokoh Puisi Mbeling itu Sudah Pergi Jauh 

 

 

 

 


Iwan Jaconiah, penyair, editor puisi Media Indonesia, dan kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin, Pentas Grafika, Jakarta (2022). Dalam dunia perpuisian, ia didapuk sebagai pesastra Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award untuk puisi Bumi pada X International Literary Festival «Chekhov Autumn» di Yalta, Krimea, Rusia (2019) dan Diploma Award untuk puisi Langit Pasifik pada International Poetry Festival «Taburetka» di Monchegorsk, Murmansk Oblast, Rusia (2017). Foto header: Remy Sylado, MI/Dapur Teater 23761.(SK-1) 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat