visitaaponce.com

Tokoh Puisi Mbeling itu Sudah Pergi Jauh

Tokoh Puisi Mbeling itu Sudah Pergi Jauh
(MI/RAMDANI)

TAK seperti hari-hari sebelumnya. Budayawan Remy Sylado kini tidak perlu menghabiskan waktu berbaring lesu di atas ranjang tidurnya. Ia tidak mesti memandang ke luar jendela atau sekadar menatap salib kecil yang terpaku di tembok rumahnya. 

Tubuh yang reot, lesu, dan lemas terbebas sudah. Remy tidak wajib lagi meminta segelas teh atau sepotong panada ke istri tercintanya, Marie Louise Tambayong. Ia juga tidak butuh lagi sepiring bubur atau semangkuk sup ayam yang selalu disajikan Bibi Suwarti untuk sarapan pagi. 

Remy, tokoh Puisi Mbeling itu, sudah pergi jauh. Ia menghembuskan napas terakhirnya, Senin, (12/12) pukul 10.30 WIB di rumahnya yang berada di kawasan Cipinang, Jakarta Timur, akibat penyakit stroke berat. 

"Kondisi tubuh Pak Remy kian lemas dari semalam. Saya sempat siapkan kue untuk sarapan, namun Tuhan berkehendak lain," ujar Bibi Siti, sapaan Suwarti, yang sudah sejak 1980-an tinggal di rumah membantu Remy dan Marie. 

Di ruangan tamu, Emmy, sapaan Marie, terlihat terdiam di depan jenazah suami tercintanya. Sejumlah petugas dari rumah sakit sempat memandikan dan mendandani jenazah Remy. Mereka memakaikan kemeja, jas, dan sepatu secara rapih. Semuanya serba putih sebagaimana warna kesukaan Remy. 

"Sudah 46 tahun kami menjalani hidup bersama. Japi adalah orang yang selalu berjuang dengan penyakit stroke yang dialaminya. Japi sudah pergi jauh...," ucap Emmy, menatap sayu ke wajah suaminya dengan mata berkaca-kaca. 

Sebelumnya, saya menerima kabar kepergian sang maestro dari Bibi Siti. Lalu, seorang rekan penyair Frans Ekodhanto Purba ikut mengabarkan. Akhirnya, kami pun putuskan datang melayat ke rumah duka bersama-sama. 

Japi Panda Abdiel Tambayong, nama lengkap Remy Sylado. Ia lahir di Makasar, 12 Desember 1945. Remy tumbuh dari keluarga misionaris asal Minahasa, Sulawesi Utara. Ia meraih Penghargaan S.E.A. Write Award 2015 dari Kerajaan Thailand atas karya novel sejarah Namaku Mata Hari

Semasa hidup, Remy pernah berprofesi sebagai penyair, novelis, dramawan, musisi, pelukis, aktor, wartawan, dan dosen. Remy dikenal sebagai 'ensikplopedia berjalan'. Ia memiliki daya pikir kritis, berwibawa, dan egaliter. 

Usai sudah derita itu 

Aktor nasional Ray Sahetapy, 65, turut menjenguk ke rumah duka. Ia ikut merasakan arti sebuah kehilangan. Maklum, Ray bersama Remy pernah ambil bagian dalam sejumlah produksi film. Salah satunya Senjakala di Manado (2016). 

Sejak Oktober 2020, kondisi Remy mulai menurun drastis. Penulis novel Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa)" (1999) itu mengalami komplikasi, seperti katarak dan stroke berat. Kondisi tubuh dan kakinya pun lemas. Ia tidak dapat melangkah atau menggerakan badannya sendiri. Untuk bergeser ke kiri atau kanan, misalnya, butuh bantuan orang lain. 

Selama dua tahun inilah, Remy harus diantar bolak-balik ke rumah sakit. Itu untuk mendapatkan terapi, operasi, dan pengobatan. Remy akhirnya mencapai titik paling akhir. Ia pergi jauh meninggalkan keluarga dan sahabatnya. 

Sebagai tokoh pencetus gerakan Puisi Mbeling, Remy semasa hidupnya telah memberikan pembaruan dalam sastra Indonesia. Ia adalah tokoh serbabisa yang laik menjadi kebanggaan bangsa ini. 

Sebagaimana, Spanyol pernah memiliki penyair Federico Garcia Lorca (1898-1936). Rusia pernah memiliki novelis Leo Tolstoy (1828-1910). Toh, kita juga memiliki Remy. Bangsa yang besar selalu mengingat dan mengenang para sastrawan hebatnya. Hal ini wajib diapresiasi penuh. 

Remy telah selesai menunaikan tugasnya di dunia yang fana ini sebagai budayawan. 

Malam tiba begitu cepat. Tak berapa lama, Kerukunan Keluarga Kawanua dan Keluarga Minahasa Selatan hadir ke rumah duka. Mereka menggelar misa requiem (ibadah penghiburan) yang dilangsungkan pada pukul 20.30 WIB. Pembawa liturgi disampaikan oleh Pendeta Arnold Toad Bolung dan pelayanan firman dibawakan oleh pendeta Iwan Jimmy Tangka. 

Untuk ibadah pelepasan akan digelar pada Selasa (13/12) pukul 10.30 WIB. Setelah itu, rencananya akan dilanjutkan dengan ibadah pemakaman yang akan dilangsungkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Menteng Dalam, Tebet, pukul 11.30 WIB. 

Di luar rumah, malam semakin larut. Perlahan-lahan terdengar kembali isak tangis menembus daun jendela. Saya menengok sejenak ke arah ruangan tamu. Emmy nampak menyeka air mata yang terus membasahi pipinya. Begitu pula tetamu dekat lainnya. 

Para penikmat sastra di berbagai kota dan pelosok Tanah Air juga ikut merasakan kehilangan seorang munsyi, ahli di bidang bahasa. Remy sudah tak akan pernah lagi meminta secangkir teh atau sepotong panada kepada Emmy. Ia sudah beristirahat dengan tenang dan damai di pangkuan Sang Khalik. 

Saya pun teringat akan sebuah puisi terbaik Remy berjudul Di Depan Cermin. Puisi itu pernah ditayangkan di Media Indonesia. Liriknya liris dan filosofis. Bunyinya; Ini tanah airku/ tempat kemarin aku lahir/ dan besok mati disambut juruselamat...// Kesabaran mencegah aku berbuat kesalahan// Selamat jalan, budayawan. (SK-1) 

 

Baca juga: Sajak-sajak Remy Sylado
Baca juga: Sepucuk Surat dari Yokohama untuk Remy Sylado

 

 

 

 


Iwan Jaconiah, penyair, editor puisi Media Indonesia, dan penulis buku Hoi!, sebuah kumpulan puisi tentang kisah diaspora Indonesia di Rusia. Foto headerMI/Ramdani.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat