visitaaponce.com

Puisi-puisi Wayan Jengki Sunarta

Puisi-puisi Wayan Jengki Sunarta
(Ilustrasi: Valentin Pavageau)

Merti Desa

Kami berjalan menyusuri hutan
menyisir lereng gunung
di antara pohon-pohon rimbun
menyunggi berbagai sesajen

Tiba di tempat yang dituju
langit biru menyambut kami
sesekali kabut tipis
menegaskan rahasia semesta

Jaran kepang, topeng ireng
menari riang
hingga kami lupa terkadang
pada pedih perih sehari-hari

Nasi tumpeng, ayam panggang,
lauk-pauk, jajanan pasar
terhidang di hampar tikar
doa syukur melantun
mengudara bersama asap menyan 
Semesta telah memberikan anugerah
hasil panen ladang kami melimpah

Begitulah kami selalu
sujud takzim pada leluhur
pada Semesta
yang memberkati kami,
kaum tani

2023


Sekilas Puisi Belum Selesai

Kaukira dunia ini suci
seperti pot-pot tanaman
yang kaucat putih semua
di taman yang kauciptakan

Kaukira dunia ini mulia
seperti kaucintai bunga-bunga
yang tak peduli padamu

Kaunyanyikan ratapan untuk malam
yang makin menyiksamu
dalam kubangan derita

Kaubakar sampah di sudut taman
ketika hatimu makin kelabu
dilumuri debu busuk dunia

Kau menatap langit malam
bunga-bunga jati gugur menimpa kepalamu
makin mempertegas batas getas
jiwa-jiwa hampa dan pohon-pohon
yang menjauh dari belaian jemarimu

"Kita belum selesai," ujarmu

Ya, kita belum selesai
seperti waktu yang sibuk
dengan diri sendiri
dan abai pada kita.

2023


Terbang

Belum sempurna sepasang sayapmu tumbuh
kau telah merindukan cahaya emas di ujung Semesta
kau ingin terbang menggapai cahaya itu.

Tapi apa daya, kau belum paham cara menggunakan sayapmu
kau meraba bulu-bulu halus di pundakmu
berharap menemukan nasihat atau petuah sang guru di situ.
Namun tak ada guru yang mampu mengajarimu terbang.

Sepasang sayap yang baru tumbuh itu mengepak perlahan.
Namun cahaya emas masih terlalu jauh dari tempat kau berdiri. 
Kau berkali-kali berusaha, namun tetap saja tak bisa terbang. 
Kau putus asa.

Dengan kecewa kau mencabut paksa 
kedua sayap yang baru tumbuh itu.
Kau mencampakkan sayapmu ke semak belukar.
Kedua sayap itu perlahan menjelma bunga,
mekar di antara semak dan duri

Kau tercenung.
Mengapa sayap bisa 
menjelma bunga?

Hasratmu untuk terbang kembali muncul 
kau merentangkan dan mengepakkan 
kedua tanganmu menyerupai sayap. 
Aneh, kau merasa bisa terbang.

Dalam keheningan kau merangkul Semesta, 
mengitari galaksi, meraih cahaya emas 
dalam keheningan, kau tersenyum bahagia.
Kau bisa terbang leluasa, garudaku

2023


Apa guna bermimpi Indonesia Emas jika kau tak mampu beli beras.


Memimpikan Indonesia Emas

Ketika sawah dan ladang tak lagi milik petani
ketika perempuan-perempuan desa jadi buruh pabrik
ketika anak-anakmu terpaksa jadi pelacur online
masih berartikah puisi di androidmu?

Ketika laut tak lagi milik ikan-ikan
ketika sungai-sungai tercemar limbah-limbah industri
ketika hutan-hutan tak lagi rumah hewan-hewan liar
masih bergunakah puisi yang setengah mampus kautulis?

Ketika orang-orang utan kelaparan di jalan-jalan berdebu
ketika ikan-ikan keracunan membusuk di tepian pantai
ketika petani bunuh diri di sawah tuan tanah
maka buang saja puisimu ke tempat sampah

Indonesia emas?
Tukang-tukang parkir mengering di jalanan
ibu-ibu pedagang sayur layu di pasar-pasar rakyat
pelajar-pelajar sakit jiwa dihajar kurikulum

Apa guna bermimpi Indonesia Emas
jika kau tak mampu beli beras
jika kau hanya jadi pecundang koruptor rakus
jika kau hanya jadi alas kaki penguasa culas

2023


Tan Malaka dan Indonesia Emas

Di Suliki 
pohon besar itu berakar
pohon menjulang
bermimpi cahaya
merdeka

Gema talempong dari rumah tua
menuntun matahari muda
menyusuri jalan sunyi
hingga tiba di arah kiri bumi

Di negeri tulip cintanya bersemi
di antara dera pleuritis
dan godaan marxisme

Ia mengembara dalam belantara kata
merangkai alenia demi alenia
menyusun buku demi buku
menggaungkan pemberontakan

Di suatu hutan rahasia
pada suatu masa yang kelam
di Februari yang basah
jauh dari Suliki
jauh dari Payakumbuh
jauh dari dongeng ibu
jauh dari rumah gadang
jauh dari lengking pilu saluang
pohon besar itu rubuh
ditebang paksa penguasa

Indonesia akan rindu padanya
rindu pada jiwa yang merdeka
rindu pada buku-buku emasnya
yang menggelorakan perlawanan

2023

 

Baca juga: Puisi-puisi Anton Sulistyo
Baca juga: Puisi-puisi Yana Risdiana
Baca juga: Puisi-puisi Konstantin Simonov

 

 

 

 


WAYAN JENGKI SUNARTA, pesastra, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Alumnus Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Tulisan-tulisannya, baik puisi, esai, maupun prosa dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional. Buku-buku sastranya yang telah terbit adalah Jumantara (puisi; Pustaka Ekspresi, 2021), Solilokui (puisi; Pustaka Ekspresi, 2020), Amor Fati (puisi; Pustaka Ekspresi, 2019), Petualang Sabang (puisi; Pustaka Ekspresi, 2018), Senandung Sabang (catatan perjalanan; Badan Bahasa, 2017), Montase (puisi; Pustaka Ekspresi, 2016), Magening (novel; Kakilangit Kencana, 2015), Perempuan yang Mengawini Keris (cerpen; Jalasutra, 2011), Pekarangan Tubuhku (puisi; Bejana, 2010), Impian Usai (puisi; Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (puisi; Bukupop, 2007), Cakra Punarbhawa (cerpen; Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (cerpen; Grasindo, 2005), dan Pada Lingkar Putingmu (puisi; Bukupop, 2005). Puisi-puisi di sini diterima redaksi dalam rangka mengikuti Lomba Cipta Puisi Media Indonesia 2023. Sehari-hari bergiat dan bersastra di Denpasar. Ilustrasi header: Valentin Pavageau, Lost In Psychedelia, 30 x 42 cm. (SK-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat