visitaaponce.com

Puisi-puisi Anton Sulistyo

Puisi-puisi Anton Sulistyo
(Ilustrasi: Ridho Rahaditya)

Ilustrasi: Ridho Rahaditya

Museum Kamar Bapak

di lantai bertumpuk kalender tua, album potret lama
warna sepia, memenuhi batinku dengan rasa syukur
seolah mazmur pengantar tidur – dilantunkan sangat lirih
bukan oleh pastur tapi ibu yang ahli mengantar orang tercinta
lekas terlena dan berkelana ke sisi dunia sebelah dalam

di rak buku paling atas tersimpan topi + kartu
anggota veteran – yang pernah berjasa membantuku
ikut kuliah dengan biaya (barangkali) paling murah

di laci meja kerja tersembunyi selembar ijazah tak terpakai
– ingatan masa kecilku kembali bertanya – kenapa
hurufnya aneh dan tak dapat dieja?
aku tak pernah bertanya
bapak tak pernah bercerita

mungkin itu ungkapan kasih tanpa pamrih,
tak perlu kata-kata, diam, tapi saling memaklumi

akhirnya kutemukan epilog hidup bapak
dalam buku harian lusuh lantaran kerap dibuka-tutup
tertulis pertanyaan retoris atau puisi liris tiga baris:
100 tahun kemerdekaan kelak adalah masa keemasan
menyerupai tetes hujan pertama sesudah kemarau panjang
yang penuh kecemasan. Apakah aku akan mengalaminya?

dari luar kamar tercium aroma kopi robusta dan harum tembakau
khas madura dari merek rokok jadul klangenan bapak
memenuhi batinku dengan rasa syukur.

Jakarta, Oktober 2023


Apa yang Bapak Lihat

di jalan-jalan masih banyak orang mengeluh
aroma kerisauan makin kencang tercium sampai jauh
masa depan nyata adalah apa yang bapak lihat

setiap bangun tidur – mana yang lebih dulu terdengar
kicau burung menyambut matahari pagi atau sisa igau
mimpi buruk para pengidap insomnia tadi malam

lalu kehidupan akan berjalan seperti biasa
orang-orang sibuk mandi, gosok gigi, mencuci dan lain-lain

sarapan sehat bagi yang mampu atau cukup secangkir kopi
biarpun pahit tapi cukup memberi kehangatan + semangat
ada yang murung tidak bekerja, ada yang bingung terancam PHK

di dinding kamar tergantung kalender 1998 tinggal selembar
masa depan nyata adalah surga saat ini – bapak bernyanyi:
“tidak ada negara yang tidak punya masa keemasan di dunia ini,“

bapak begitu percaya, selain Tuhan dan para rasul-Nya
mata batin kalian pasti dapat membayangkannya.

Jakarta, Oktober 2023


Bapak Berguru pada Anak Kecil

“anak kecil seperti memiliki karunia 
rahasia bagaimana dapat begitu riang
melalui hari-hari panjang di sela tangis 
dan lapar masih sanggup tertawa
untuk masalah sederhana.”

cerita bapak berguru pada anak kecil
setiap kali mengenang hari proklamasi
dari sepasang mata bapak terbayang danau amat dalam
di mana kegelisahanku ingin berbaring tenang di dasarnya

“bapak masih berguru pada anak kecil
padahal sudah 50 tahun lebih merdeka
apakah di dunia tidak ada lagi keajaiban?
karena hidup di jalan lurus seolah berjalan 
memasuki belukar malam + buntu.”

jari tangan bapak bergerak cepat memutari tasbih
seolah hendak memutar balik arah jarum jam
supaya harapan dapat selalu terbarukan
di mana kegelisahanku menjadi reda seketika    

“aku berguru padamu, anak kecilku,” bisik bapak
sambil menepuk bahuku, “karena100 tahun merdeka bagimu
merupakan bagian dari keajaiban dunia yang selayaknya terjadi.”

dalam kepalaku ada bendera merah putih
berkibar kencang tanpa ada tiupan angin.

Jakarta, Oktober 2023


100 tahun kemerdekaan kelak adalah masa keemasan menyerupai tetes hujan pertama.


Penari Kemerdekaan

aku menari di atas panggung kemerdekaan
diiringi para nayaga gaib yang tak kelihatan

dan suara gamelan dari dunia lain begitu lirih
bahkan mendekati sunyi hingga hanya terdengar
oleh telinga batinku sendiri

aku menari dengan sangat perlahan
agar tersamar jika tubuhku gemetar
saat dirasuki ruh keindahan
atau diterjang lapar

aku akan terus menari
tanpa terlalu mengharap untuk dipuji
sambil menanti priyayi agung menjemputku
untuk menuntaskan utang piutang zaman leluhurku

aku akan setia menari sampai masa keemasan                    
sampai gong keabadian dibunyikan
oleh penabuh kehidupan.

Jakarta, Oktober 2023


Nota 100 Tahun Kemerdekaan

aku sudah tidak ingat lagi sejak kapan 
menyusuri seluruh jalanan sunyi 
serta merambah kehijauan 
hutan paling rahasia

di sekujur tubuhmu yang tembaga

aroma jeruk nipis, harum rempah negeri tropis
selalu merebak dari pori-pori leher pucatmu
kuhirup bagai candu, tak henti-hentinya
saat jam malam begitu melankolis

kadang ada rasa bosan, kadang rasa tak berdaya
lantaran gurat keletihan di bawah kantong matamu 
menyimpan calon gerimis yang jauh lebih dingin 
dibanding tatapan patung Garuda Wisnu Kencana

hari-hari kupenuhi dengan bermimpi
menemukan rahasia keabadian musim semi
dan ingin kukembalikan kehijauan
hutan paling rahasia

di sekujur tubuhmu yang tembaga.

Jakarta, Oktober 2023


Baca juga: Sajak-sajak Maxim Gorky
Baca juga: Sajak-sajak Osip Mandelstam
Baca juga: Sajak-sajak Putu Oka Sukanta

 

 

 

 


ANTON SULISTYO, penyair, dilahirkan di Jember, Jawa Timur, 2 Maret 1958. Puisi-puisinya masuk dalam antologi bersama sejak tahun 1991-2023. Belum Dalam Lukamu! adalah satu-satunya kumpulan puisi tunggalnya, diterbitkan oleh Sastra Digital pada September 2013. Anton merupakan juara ke-1 Lomba Cipta Puisi 2023 lewat puisinya berjudul Museum Kamar Bapak. Sehari-hari tinggal di Jakarta. (SK-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat