visitaaponce.com

Sajak-sajak Maxim Gorky

Sajak-sajak Maxim Gorky 
(MI/Sajak Kofe/Maxim Gorky Literature Institute.)

Maxim Gorky (1868-1936) 

Gadis dan Maut 


Raja menunggang kuda 
dan melintasi desa seusai perang 
kemarahan bertubi-tubi menguasai 
seluruh suasana isi hatinya. 
Dari balik semak-semak kering;  
seorang gadis tertawa melengking 
memerah alis dan mengerut kening. 
Raja terganggu mendengar suara nyaring itu. 
Mengebas cambuk ke kudanya, ia terbang serupa badai, 
melaju dan menghampiri si gadis. 
Ia berteriak keras sekali, sampai-sampai 
baju besinya berdenting: 
"Hai, gadis! Apa yang sedang kau lakukan?" pekik raja. — 
Mengapa kau pamerkan gigimu? 
Musuh sudah menang, 
seluruh pasukanku tewas, 
setengah rombongan ditangkap, 
aku akan pulang menyusun kekuatan baru 
aku rajamu; diselimuti kesedihan dan kebencian. 
“Bagaimana rasanya melihat tawa bodohmu?" tanya raja. — 
Gadis itu meluruskan blus di dadanya dan menjawab tenang: 
"Permisi, aku hendak berbicara baik-baik! 
Tuan, sebaiknya Anda mundur saja dari peperangan itu." 

Kau dimuliakan, percuma mampir ke sini— 
tak ada waktu bertutur kata denganmu! 
Terkadang cinta lebih cepat meleburkan 
lilin yang menyala panas di rumah Tuhan. 

Hati raja sangat terguncang, 
seluruh kemarahan menjadi liar 
ia perintahkan para pengiring setia: 
"Lancang! Segera bawa ia ke penjara 
atau lebih baik cekik lehernya!"  — 
Mendistorsi wajah penuh kecemasan, 
mereka bergegas menangkap gadis itu bak setan kesurupan. 
Pangeran dan bangsawan juga ikut mengantarnya 
ke lembah kematian. — 

II 
Maut selalu tunduk pada iblis, 
suasana hati raja sedang buruk hari itu, 
meski pada musim semi  
cinta dan gandum kehidupan bertebaran, 
namun mereka mendapati sesosok perempuan lain. 
Yang bosan menyantap daging busuk selama berabad-abad. 
Yang rentan terhadap berbagai penyakit di tubuh sendiri; 
aku jengah menghitung lonceng kematian — 
aku ingin menjalani kehidupan yang lebih bermanfaat. 
Sebelum pertemuan terjadi, yang tak terhindarkan dengannya, 
rakyat hanya merasakan ketakutan dan kekonyolan — 
Bosan akan kengerian tingkah laku manusia, 
sedang aku takut pada pemakaman, di perut bumi. 
Sibuk mengemban tugas mulia dan tidak tahu bersyukur 
hempas di tanah; kotor dan dekil. Ia bekerja secara terampil — 
Orang-orang menganggap kematian itu tidak laik. 
Ya, tentu saja, ia tersinggung dengan kejadian ini, 
sifat kemanusiaan membuatnya naik pitam, 
oleh amarah, raja menghidupkan, mematikan cahaya jiwa, 
dan terkadang bertindak secara membabi buta. 
Apa mungkin ia penyembah mamon atau apalah; 
aku ingin bernapas dalam kehangatan isi hatiku, 
aku ingin menangis dan merasakan pahitnya cinta 
yang dipermainkan iblis berambut api! 

III 
Gadis berdiri dengan berani sebelum maut menjemputnya 
mendapati pukulan demi pukulan yang mengerikan di sekujur tubuh. 
Maut bergumam — korban merasa dikasihani: 
"Dengar, kau sangat muda! 
Apa yang telah kau katakan kepada raja di sana?” 
"Janganlah marah," jawab si gadis. 
Kenapa marah padaku? 
Pertama kali kau menciumku 
di bawah semak elderberry hijau, — 
Apakah aku peduli dengannya saat itu? 
Oleh karena dosa, ia melarikan diri dari medan perang, 
Aku berkata kepada raja; jauhilah musuh dari pertempuran! 
Ya, seolah-olah apa yang kukatakan dan rasakan, ternyata sebuah keburukan! 
Huh! Tidak ada tempat untuk berlari dari maut. 
Rupanya, aku akan mati tanpa mencintai seseorang. 
Wahai maut! Aku memohon sepenuh jiwa ini — 
Biarkan aku menciumnya kembali! 
Ucapan ini memang terdengar aneh sampai ajalku tiba— 
Kematian tidak pernah diminta! 
Gadis berpikir: 
"Bagaimana aku akan hidup di dunia, 
jika orang berhenti berciuman?”  
Sedang di bawah sinar matahari musim semi, tulang-tulang memanas. 
Maut berkata kepada ular: 
“Baiklah, cepat pergi dan ciumlah aku! 
Malam adalah milikmu, 
dan saat fajar tiba aku akan membunuhmu!" —  
Duduk di batu dan tunggu, 
biarkan ular berbisa itu menjilati sabitnya dengan sengatan. 
Gadis terisak-isak oleh bahagia, 
maut menggerutu padanya: 
"Pergi, cepatlah pergi!" 

IV 
Sinar matahari musim semi hangat dan lembut  
maut telah melepas alas kakinya yang usang, 
berbaring di atas batu dan tertidur. 
Memimpikan hal buruk! 
Seolah-olah orang tuanya ialah Kain dan cicitnya Yudas Iskariot, 
yang keduanya telah jompo untuk mendaki gunung 
laksana dua ular merangkak diam-diam. 
"Tuhan!" ucap Kain, cemberut, 
menatap langit dengan mata redup.
"Tuhan!" ucap Yudas, menangis, 
tanpa mengangkat pandangan dari tanah. 
Di atas gunung, di awan kemerahan 
Tuhan sedang berbaring, — membaca buku: 
Bintang-bintang menulis isi, 
Bima Sakti adalah salah satu kisah. 
Ada Malaikat Agung di puncak gunung, 
seberkas petir di pelepah yang putih bercabang. 
Ia berkata kepada para musafir secara tegas: 
"Pergi! Tuhan tidak akan menerimamu!" 
“Michael!” — mengeluh Kain, — 
“aku tahu dosaku besar di hadapan dunia! 
Aku melahirkan pembunuh di kehidupan ini, 
aku adalah ayah dari maut yang terkutuk dan keji!” — 
"Michael!” — Yudas berkata, — 
“Ketahuilah, aku lebih berdosa daripada Kain, 
karena ia mengkhianati maut secara keji. 
Hati Tuhan seterang matahari!" 

Mereka berdua berteriak begitu lantang: 
"Michael!" Semoga Tuhan setidaknya mengucapkan sepatah kata. 
Ia akan memberitahu kita jika ada penyesalan. — 
Lagi pula, kita tidak lagi memohon pengampunan!" 
Malaikat Agung diam-diam menjawab mereka: 
"Aku katakan padanya tiga kali, 
dua kali ia tidak mengutarakan apa-apa, 
untuk ketiga kalinya, hanya menggelengkan kepalanya,” ujar Malaikat Agung. 
"Berapa lama lagi maut menghancurkan hidup, 
katanya, tidak ada pengampunan bagi Kain dan Yudas. 
Biarkan ia memaafkan mereka, yang kekuatannya bisa 
mengatasi kuasa maut selamanya." 

Ada pengkhianat dan pembunuhan terhadap saudara sedarah 
sedih melolong dan isak tangis merangkul keduanya 
ke rawa berlumpur di bawah gunung. 
Di sana, mereka mengamuk dan merayakan sukaria 
bersama hantu, kikimores, dan setan 
mereka meludahi Kain dan Yudas 
hingga tenggelam di lumpur kebiruan. 


Maut menghampiri di siang bolong, 
mendapati — gadis tidak datang! 
Ia bergumam dalam kantuk: 
"Lihat dirimu, pelacur! Malam terasa singkat!" 
Memetik bunga matahari di belakang pagar. 
Mengendus dan mengagumi seperti sinar yang menerangi bumi, 
dengan bara-bara api yang menyala terang, 
daun aspen mekar bersama chervonet kuning. 
Bola-bola api keemasan muncul, ia tiba-tiba bernyanyi 
lembut, hening, dan suaranya merdu: 
"Dengan tangan tanpa ampun 
orang-orang membunuh tetangga sendiri 
dan mengubur jasad mereka.” 
Lalu bernyanyi kembali; 
"Tinggal bersama orang-orang kudus!" 
Aku tidak mengerti apa-apa! — 
Mengalahkan orang lalim dan mengusirnya, 
ia akan mati dengan lagu yang sama 
mereka mengubur satu per satu tubuh! 
Orang jujur atau orang bersilat lidah akan pergi— 
dalam kerinduan yang sama. 
Paduan suara mengumandangkan kidung ratapan: 
"Orang-orang kudus beristirahat!" 
Dungu seperti sapi atau daging ham 
aku akan membunuh dengan tanganku, 
tapi mereka terus bernyanyi sekeras-kerasnya: 

Beristirahatlah bersama orang-orang kudus! 

VI 
Mereka menyanyikan lagu merdu, 
namun mulai gusar dan marah — 
sudah lebih sehari, gadis tidak pulang. 
Ini buruk. Kematian bukanlah lelucon. 
Semakin marah dan kejam, maut telah 
menggunakan sepatu kulit pohon onuchi 
dan nyaris tidak mengindahkan malam 
yang diterangi cahaya bulan. 
Ia dalam perjalanan, melewati sebuah rute 
yang lebih sengit mengancam dirinya 
daripada awan musim gugur. 
Satu jam berlalu, mereka mencari: 
di hutan, di bawah hazel muda berembun, 
di rumput satin, dan di bawah sinar rembulan. 
Gadis duduk sebagai dewi musim semi. 
Seperti bumi telanjang di awal musim tumbuh. 
Buah dadanya terbuka tanpa malu-malu. 
Dan pada sutra, kulitnya bercahaya 
bintang-bintang terlihat saling berdekatan. 
Gunung kembar menyembul seperti rasi, 
cahaya matanya terlihat anggun berseri 
ke surga, ke Bima Sakti yang cerah, 
dan ke jalanan saat malam putih tiba. 
Ada bayangan biru di bawah alis, 
seperti luka bibirnya memerah basah. 
Meletakkan kepalanya di pangkuan 
pria yang tertidur seperti rusa yang lelah. 
Maut tampak bagai nyala api kemerahan, 
terdiam dan keluar dari tengkorak yang kosong. 
"Apakah yang telah kau lakukan sama halnya 
seperti Hawa yang sedang bersembunyi 
dari Tuhan di balik semak?" 
Serupa tubuh; bintang dan bulan di langit 
perisai terhormat kuasa maut. 

Gadis menjawab secara berani: 
“Tunggu sebentar, tak perlu marah padaku! 
Jangan membuat suara gaduh, 
jangan menakut-nakuti orang miskin,
jangan gunakan sabit tajam! 
Sekarang aku berkunjung dan berbaring di kuburan. 
Selamatkan negeri agar kuat selamanya! 
Maaf, aku tidak datang ke penghujung waktu, 
kupikir ini takdir tidak jauh dari maut. 
Biarkan aku memeluk pria itu lagi: 
Ia selalu merasa tenang bersamaku! 
Ya, ia baik! Lihat ini, 
ada tanda-tanda yang ditinggalkan 
di pipi dan dadaku. 
Lihat, semua mekar seperti 
bunga poppy berapi-api!” 

Maut malu dan tertawa lembut: 
"Ya, seperti mencium matahari. 
Tapi setelah semua dilalui, 
kau bukan satu-satunya yang bersamaku — 
Aku harus membunuh seribu lawan! 
Setelah semua berakhir, aku akan jujur melayani waktu, 
ada banyak hal yang perlu dilakukan, dan aku terlalu tua. 
Menghargai setiap menit demi menit. 
Bersiaplah! Sudah tiba ajalmu kini!" 

Gadis itu — sendiri:
"Memeluk erat tangannya, 
tidak ada lagi bumi atau langit. 
Jiwa dipenuhi kekuatan dunia lain, 
dan cahaya lain pun membakar jiwanya. 
Tidak ada lagi rasa takut pada takdir, 
baik Tuhan maupun manusia tidak dibutuhkan! 
Sebagai anak, bersukacita mencintai dirinya sendiri." 

Maut, diam dengan serius dan tegas. 
Ia melihat bahwa dirinya tidak dapat menyanyikan lagu ini! 
Lebih indah dari matahari — tidak ada dewa di dunia, 
tidak ada bara — percikan api cinta! 

VII 
Maut diam dan gadis berceloteh 
api kedengkian melelehkan tulangnya, 
dalam panas dan dingin, maut begitu angkuh melempar tubuhnya, 
apa yang akan diungkapkan oleh hati kepada dunia? 
Ia mati bukan sebagai pahlawan, 
tetapi perempuan biasa dalam dirinya. 
Hati lebih kuat dari pikiran; 
ada kecambah di jantung maut yang gelap 
kelembutan, kemarahan, dan kerinduan. 
Kepada mereka yang dicintai begitu mendalam, 
siapa yang tersengat jiwa oleh rindu yang jahat, 
betapa penuh kasih ia berbisik di malam hari 
oh, sukacita penuh damai! 
"Ya," kata maut. 
"Biarlah keajaiban ada! 
Aku memberimu izin hidup! 
Hanya saja tak dapat berada di sampingmu,
namun aku selalu dekat dalam dekapan cinta!" 

Sejak itu, cinta dan maut seperti saudara sedarah, 
mereka berjalan tak terpisahkan sampai hari ini. 
Demi cinta, maut menyimpan sebuah sabit tajam  
yang susah payah berjalan seperti germo. 
Teruslah melangkah, walau disihir oleh saudara sendiri, 
di mana-mana, baik di pesta pernikahan maupun di pesta perjamuan, 
janganlah lelah menjaga hidup agar senantiasa dipenuhi 
sukacita, cinta, dan bahagia. 

1892 

 

Bacaan rujukan 
¹ Gadis dan Maut, diterjemahkan dari judul aslinya Devushka i Smert. Pertama kali terbit pada 1917 di surat kabar Novaya Zhizn (Hidup Baru), Petrograd (kini: Saint Petersburg), Rusia. Kemudian pada 1918 dimasukkan dalam koleksi puisi berjudul Yeralash dan Kisah-kisah Lainnya (Bahasa Rusia). 
² Gorky, Maxim. Mother: Completely Annotated Edition. South Carolina: CreateSpace Independent Publishing Platform, 2017 (Bahasa Inggris). 
³ Holquist, Michael. Dialogism: Bakhtin and His World, Second Edition. London:  Routledge, 2002 (Bahasa Inggris). 

 

 

 


Maxim Gorky, nama pena dari Alexei Maximovich Peshkov, penyair, politikus, dan dramawan Rusia. Lahir di Nizhny Novgorod, Kekaisaran Rusia, 16 [28] Maret 1868 – wafat di Moskwa Oblast, Soviet Rusia, 18 Juni 1936. Pernah dinominasikan lima kali untuk meraih Hadiah Nobel Sastra. Penulis drama The Lower Depths (1902), novel Mother (1906), dan novel otobiografi Childhood, In People serta My Universities yang diterbitkan pada 1913–1923. Gorky hidup dalam kemiskinan selama bertahun-tahun. Ia menyewa sebuah kamar di flophouses atau apartemen termurah untuk kelas buruh, bekerja sebagai salesman, pencuci piring, dan menjadi asisten pembuat sepatu. Setelah revolusi Rusia, ia kian bersinar dan diakui sebagai pengarang proletar utama di negerinya. Untuk mengenang kiprahnya, sebuah lembaga sastra ternama di jalan Tverskaya, Moskwa, diabadikan dengan menggunakan namanya, yaitu Maxim Gorky Literature Institute. Karya Gorky di sini diterjemahkan dari bahasa Rusia ke bahasa Indonesia berdasarkan karya terbaik yang dibuat semasa hidupnya. Puisi-puisi dialihbahasakan oleh Iwan Jaconiah, penyair dan editor puisi Media Indonesia. Foto header: Maxim Gorky, Arsip Maxim Gorky Literature Institute. (SK-1) 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat