visitaaponce.com

Puisi-puisi Fitri Wijaya

Puisi-puisi Fitri Wijaya
(Ilustrasi: Nikita Papin)

Museum Nira

Penduduk desa tak memilih kursi.
Melihat-lihat mereka. Kepada puisi yang berpigura. 
Kepada novel yang tebal.
Di banyak halaman dan di kertas-kertas asing itu
Mereka heran, mengapa nira sering disebut-sebut?
“Acara peresmian akan kita mulai.
Hadirin harap menduduki kursi yang disediakan.”
Mereka berdiri
Mereka sumringah
Museum itu berdiri 2045.
Saat orang-orang tak lagi mencintai cara-cara ayahku menyadap nira, kuabadikan di museum ini.
Aku menamainya Museum Nira
Tak hanya pemimpin negara, para ahli sastra dari penjuru negara antusias.
Sejak ayah pergi, diam-diam kuabadikan kisahnya dalam medium ini
Temukanlah di sini.
Di museum mungil, tempat aku menghidupkan kisah-kisah penyadapan nira versi ayah.

Pasaman Barat, 2023


Tua

Lelaki tua menebas dahan-dahan menjulang, yang mengeras ditimang hara tanah, akar-akarnya tunjang, setinggi doa-doa meletup di dadanya.
“Tebaslah! Tebaslah! Terabaslah! Melangkahlah searah tapak-tapak yang retak di mulut rimba!”
Daun terpental tinggalkan ranting. Kemudian tergeletak lara, menjelma markah untuk kedatangan yang lain.
Besok, sebelum pukul enam pagi, bininya telah bukakan jendela, mengintip rona langit dan mengirimkan kalimat rayuan agar pagi memeluk kekasihnya. Erat sepanjang tualang.
Besok, bambu-bambu yang diikat dengan rotan, melekat kuat di bahunya. Besok, tanpa sinar lain, ditatapnya lamat-lamat jalanan pagi buta. Setajam tatapannya ke dahan-dahan enau.
Besoknya lagi, hingga bulan sempurna berganti, kucuran nira diubahnya menjadi bundaran rupiah, berliter-liter, hari demi hari. Tak gentar meski deras hujan dan amukan angin memekik menggoyahkan topi anyam. Alangkah setia para penyadap air nira.

Pasaman Barat, 2023


Mekar

Ada yang mekar selain bunga-bunga tandan jantan pohon enau.
Ada yang mekar serta ranum dalam sepetak saung beratap rumbia.
Di dadanya bermekaran hal yang tak satu. Tepat dalam ceruk kekhawatiran  seorang penyadap air nira, ia mengulum bahasa tentang riak-riak risau.
Dadanya meletupkan harapan yang panjang.
Dadanya mengulang lagi doa-doa: mengucurlah yang deras, mengalirlah tak bertepi, aku menunggu musim panen yang indah. Semakin mekar.
Bila saung itu mulai mengepulkan asap, ceruk di dadanya semakin dalam. Semakin mekar.
Asap akan menanyakan dan menguntit kakinya yang tekuk.
Asap juga memburamkan pandangan pada bola matanya yang berkawan lelah. Memerah menunggu matang si manis aren.
Bila kepulan hilang sama sekali, bininya gegas menyusun bambu bundar hingga berbaris rapi.
“Tuangkanlah, kekasih!”
Suhu panas disadap oleh angin tepi hutan yang membekukan. Mengantarkan penyadap air nira pada lembar rupiah sekadarnya. Ia lantas tak merebah. 
“Aku suka kerak-keraknya, yah!” Di samping kuali bertelinga besar anak-anaknya sedang asyik bermain tanah.
“Mari kusuapkan!”

Pasaman Barat, 2023

 


Nira

Suara ketilang pelan-pelan menjangkau sawang.
Lelap biji-bijian dikawan rinai, kemudian meletup 
Dan terpental menuju bibir tanah.
Mata lelaki tua itu nyala ketika dadanya debar 
Diliputi mimpi yang resah, subuh tadi
Ia buru-buru bersiap.

Masih tersisa aroma gulai sang istri 
Menguar menebarkan rasa candu
Gulai yang menjadi sebab cinta bertahan 
Meski hari-hari tak indah selalu.

Semak-semak digilas lagi, sampailah dia di dekat pohon enau.
Tandan seringnya menjanjikan air nira.
Musim panen nanti, saat hujan deras, sebelum matahari terbit, 
Dia akan rutin mengiris dahan demi dahan.
Konon, air nira hanya berkawan dengan sang pandai;
Seorang yang bersahaja, tak takabur, juga rendah hati.

Melangkah dia menuju peruntungan
Senja pukul setengah enam, tabung bambunya penuh
Dia paham betul cara-cara agar nira tak surut
Menjadilah dirinya seorang arif lagi santun pada alam ciptaan-Nya.

Pasaman Barat, 2023


Wafat

Bertahun-tahun lelaki itu mengolah air nira.
Bertahun-tahun dirinya ahli meracik gula tradisional.
Bertahun-tahun cintanya tak kurang pada nira.
Meski ketika puisi ini ditulis, ia sudah tidak ada lagi.

Tak mudah temukan sang ahli penyadap air nira.
Lebih sulit lagi menemukan seorang telaten pada prosesi pengolahannya.
Ketika seorang pandai wafat, pergilah ke pedalaman.
Barangkali di sana masih tersisa selembar kenangan 
Berisi kisah dan cara-cara tepat untuk dipelajari.
Kamukah?

Pasaman Barat, 2023

 

Baca juga: Sajak-sajak Shabrina Adliah
Baca juga: Sajak-sajak Stevie Alexandra
Baca juga: Sajak-sajak Putri Sekar Ningrum

 

 

 


Fitri Wijaya, penulis puisi prosais dan seorang guru honorer di kampung halamannya Rimbo Binuang, Pasaman Barat, Sumatra Barat. Puisi-puisi di sini diterima redaksi dalam rangka mengikuti Lomba Cipta Puisi Media Indonesia 2023. Kini sedang mempersiapkan penerbitan buku antologi prosa secara indie berjudul Seperti Ombak di Teluk, pada Tepian Dia Selalu Dayang, karya bersama Fitri Wijaya dan Hafiah Akbar. (SK-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat