visitaaponce.com

Ketika Ritual Pep Guardiola Hilang

Ketika Ritual Pep Guardiola Hilang
Suryopratomo Pemerhati Sepak Bola(MI/Seno)

ADA sebuah ritual baru yang dilakukan Josep Guardiola saat Manchester City usai bertanding. Ia undang sahabat akrabnya, musisi Inggris Noel Gallagher, untuk masuk kamar ganti pemain. Musisi rock terbaik Inggris itu diminta membawa gitar untuk menghibur anak-anak asuhannya yang sudah lelah bertanding.

Terakhir ia lakukan itu setelah the Citizens mengandaskan juara bertahan Real Madrid 4-0 di semifinal Liga Champions. Kamar ganti pemain berubah menjadi ruang konser karena Gallagher merupakan salah satu artis pujaan masyarakat Inggris sekarang ini.

Ia baru saja mengeluarkan rekaman album keempat yang diberinya judul Council Skies. Gallagher menjadi musisi solo setelah grup band lamanya, Oasis, bubar pada 2019.

Namun, dini hari nanti, Gallagher tidak bisa memenuhi permintaan sahabatnya untuk hadir menyaksikan Manchester City tampil di final Liga Champions menghadapi Internazionale Milan di Istanbul, Turki. Sejak semifinal Liga Champions, Gallagher sudah minta izin untuk tak bisa mendampingi.

“Kamu mau ke mana?” tanya Pep Guardiola. “Saya tidak bisa ikut hadir karena saya ada jadwal konser di Amerika Serikat,” jawab Gallagher.

“Batalkan konser itu,” perintah pelatih Manchester City itu. “Saya tidak mungkin membatalkan tur karena tiket sudah terjual lama,” jawab sang musisi.

“Aaaahhhhh keluar kamu!” teriak Guardiola. Gallagher membayangkan begitulah kalau pelatih asal Spanyol tersebut sedang kesal dan mungkin itu pulalah yang dia lakukan ketika mengusir bek kiri Joao Cancelo dari City pada Januari lalu. Bek asal Portugal itu kemudian dipinjamkan Guardiola kepada Bayern Muenchen.

 

Tunggu kejutan

Satu hari menjelang partai final, Guardiola membutuhkan hiburan. Ia dan tim asuhannya memerlukan ketenangan karena pertemuan melawan Inter Milan merupakan waktu pembuktian.

Sudah 15 tahun Guardiola tidak pernah berhasil lagi membuat tim asuhannya memenangi Liga Champions. Sementara itu, City sepanjang keberadaannya selama 129 tahun tidak pernah bisa menjadi klub terbaik di Eropa.

Guardiola memang berhasil membawa Manchester City ke masa kejayaannya. Selama tujuh musim menangani klub ini, lima kali ia berhasil membawa the Citizens kemenangan Liga Primer, dua juara Piala FA, dan empat kali juara Piala Liga. Namun, belum pernah ia bisa mempersembahkan trofi Liga Champions.

Pada 2021 Guardiola pernah membawa City lolos hingga final. Namun, mimpinya untuk mengangkat piala dengan kuping lebar itu digagalkan Chelsea.

Para pencinta sepak bola kini menunggu taktik kejutan apa yang akan dilakukan Guardiola untuk memenangi Liga Champions. Keberhasilan itu tak hanya mengembalikan reputasi dirinya di ajang paling bergengsi sepak bola antarklub Eropa, tetapi juga menjadi pelatih Liga Inggris kedua setelah Sir Alex Ferguson yang bisa mencetak treble, juara di tiga kompetisi berbeda dalam satu musim.

Guardiola sudah dua kali mencetak treble, tetapi itu ia lakukan saat bersama Barcelona. Setelah itu, ia bahkan tidak pernah lagi berhasil merebut Liga Champions termasuk ketika melatih Bayern Muenchen.

Kali ini Guardiola diperkirakan tidak akan gagal lagi karena ia mempunyai formula yang baru. Ia dorong center-back John Stone untuk bermain di tengah. Taktik itu terbukti berhasil saat mereka mengempaskan raksasa Real Madrid di semifinal.

Ketika ditanya, apa yang Stone lakukan saat bermain dari lapangan sampai bisa juga mencetak gol? “Saya jujur tidak tahu apa yang sebenarnya saya lakukan. Guardiola hanya meminta saya main ke tengah dan melakukan apa yang ia perintahkan,” jawab pemain belakang Inggris itu jujur.

 

Lebih seimbang

Dengan mendorong Stone bermain di lapangan tengah mendampingi Rodrigo, Manchester City praktis hanya memiliki tiga pemain belakang, yakni Kyle Walker di kanan, Ruben Diaz di tengah, dan Manuel Akanji di kiri. Namun, dengan pola 3-2-2-3 yang diterapkan, permainan the Citizens terbukti menjadi lebih seimbang baik dalam bertahan maupun menyerang.

Baik Rodri maupun Stone bisa bergantian membantu Kevin De Bruyne dan Ilkay Gundogan untuk mengatur serangan. Sebaliknya, ketika City sedang tertekan, selalu ada salah satu dari dua gelandang bertahan itu yang menjadi breaker.

Lapangan tengah yang lebih solid itulah yang membuat trio Jack Grealish-Erling Haaland-Bernardo Silva bisa lebih fokus menekan pertahanan lawan. Apalagi ketiganya memiliki kecepatan ketika membawa bola dan efektif untuk selalu mengarahkan serangan ke kotak penalti lawan.

Apabila trio penyerang gagal menembus gawang lawan, Manchester City masih memiliki cara kedua, yakni dengan membombadir gawang lawan dari lini kedua. Baik De Bruyne maupun Gundogan terbukti mampu melakukan peran itu secara sempurna. Gelandang asal Belgia itu mampu menjebol gawang Real Madrid melalui tendangan keras dari luar kotak penalti di pertandingan pertama semifinal Liga Champions. Sementara itu, Gundogan dua kali melakukan itu saat mengandaskan Manchester United 2-1 di final Piala FA pekan lalu.

Namun, City tidak boleh takabur karena Inter Milan yang dihadapi dikenal sebagai pembunuh raksasa. Tim asuhan Simone Inzaghi mampu menyingkirkan dua raksasa Italia, Napoli dan AC Milan, di dua pertandingan sebelumnya.

Nerazzurri memiliki sejarah sepak bola yang kuat. Mereka dikenal sebagai klub penemu pertahanan gerendel, catenaccio, yang sulit untuk ditembus. Serangan balik mereka sangat cepat dan dengan strategi itu tiga kali mereka memenangi Liga Champions.

Dua ujung tombak Inter, Lautaro Martinez dan Edin Dzeko pantas untuk diawasi karena sangat mematikan. Apalagi mereka ditopang dua gelandang yang sangat licin, Henrikh Mkhitaryan dan Nicolo Barella.

Para pemain Inter cerdik dalam mencari posisi ketika keluar menyerang. Mereka dengan cepat menyebar untuk menerima bola dan pergerakan itu sangat sulit untuk dijaga pemain lawan.

“Tidak ada klub Eropa yang suka bertemu Inter karena kami sulit untuk dihadapi,” ujar bek kanan Inter Denzel Dunfries. “Boleh saja kami dianggap underdog, tetapi itu hanya di atas kertas. Di lapangan semua akan berbeda dan kami datang untuk memenangi pertandingan.”

Inter lebih percaya diri karena Simone dikenal sebagai King of the Cups. Tujuh kali ia memimpin tim tampil di final dan selalu menjadi juara. “Saya sangat nyaman dengan pelatih karena ia bekerja dengan baik dan selalu mempersiapkan pertandingan dengan tepat,” kata penyerang asal Argentina, Martinez.

Raja taktik malam nanti akan bertemu dengan Raja Final. Kita tunggu saja hasilnya!

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat