visitaaponce.com

Pertanian Alpukat jadi Ancaman Baru bagi Populasi Gajah di Afrika

Pertanian Alpukat jadi Ancaman Baru bagi Populasi Gajah di Afrika
Peta sebaran gajah afrika berikut kronologi tindakan perlindungan.(AFP)

TOLSTOY muncul tepat setelah fajar. Dia tentu bukan si pengarang Rusia yang terkenal itu, melainkan seekor gajah berbelalai panjang. Gadingnya bahkan hampir menyentuh tanah. Gajah raksasa ini telah berkeliaran di kaki Gunung Kilimanjaro selama hampir 50 tahun.

Tolstoy selamat dari para pemburu gading maupun bencana kekeringan mengerikan, tetapi hewan perkasa itu bisa saja menghadapi ancaman baru bagi di habitat alaminya, yakni meningkatnya permintaan akan alpukat yang melonjak. Pertanian alpukat seluas 180 acre (73 hektare) di dekat Amboseli, salah satu taman nasional utama Kenya, tempat gajah dan satwa liar lainnya merumput, membuat hewan-hewan itu kehilangan makanan.

Para penentang pertanian mengatakan, kebun alpukat itu menghalangi pergerakan gajah seperti Tolstoy dan membuat spesies itu dalam bahaya karena bisa memicu bentrok dengan para pemilik lahan. Namun, para pendukung pertanian membantahnya. Mereka mengatakan kebun alpukat itu tidak menimbulkan ancaman bagi satwa liar dan malah menghasilkan pekerjaan yang sangat dibutuhkan di lahan kosong.

Polemik lahan itu menjadi tanda bahwa perlu perjuangan lebih luas untuk sumber daya yang semakin menipis, karena hutan belantara kini dibatasi oleh perluasan lahan pertanian untuk memberi makan populasi manusia yang terus bertambah.

Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) Kamis (24/3) memperingatkan, perburuan dan perusakan habitat, terutama karena konversi lahan untuk pertanian, telah menghancurkan jumlah gajah di seluruh Afrika.

Menurut lembaga itu, populasi gajah sabana Afrika, seperti yang ada di sekitar Amboseli, menurun setidaknya 60% dalam setengah abad terakhir. Hal ini membuat mereka perlu mengklasifikasi ulang hewan-hewan itu sebagai "terancam punah" ke "daftar merah" (nyaris punah).

Sebuah sub-spesies gajah hutan yang ditemukan di Afrika Tengah dan Barat, sementara ini terdaftar sebagai "sangat terancam punah",  hanya selangkah lagi dari kepunahan.

Pasar eropa

Kenya adalah penghasil utama alpukat dan ekspor buah yang dijuluki ‘emas hijau’ itu melonjak karena meningkatnya permintaan. Sebagai  pemasok terbesar keenam ke Eropa, ekspor alpukat Kenya naik 33% menjadi US$127 juta (107 juta euro) pada tahun lalu.

Perusahaan Agribisnis Kenya, KiliAvo Fresh Ltd mendapat izin dari Otoritas Manajemen Lingkungan Nasional (NEMA) untuk memulai pertanian alpukatnya sendiri di lahan yang dibeli dari salah satu warga. Area tersebut diratakan dan dipagari, sehingga mengkhawatirkan tetangga sekitar dan kelompok konservasi.

Mereka berpendapat pertanian skala besar seharusnya dilarang di lokasi tersebut karena menyalahi aturan penggunaan lahan di daerah itu. Pada September lalu, di bawah tekanan untuk mencabut lisensi KiliAvo, NEMA memerintahkan mereka untuk berhenti beoperasi, sementara kasus tersebut ditinjau ulang.

Namun, perusahaan tersebut banding menentang keputusan tersebut di pengadilan lingkungan Kenya, yang minggu ini menginstruksikan KiliAvo untuk menghentikan aktivitas di pertanian sampai sidang berikutnya pada 31 Maret. Sejauh ini, pengacara KiliAvo tidak menanggapi ketika diminta konfirmasi tentang keputusan ini.

Jeremiah Shuaka Saalash, pemegang saham KiliAvo dan manajer pertanian itu mengatakan, lahan alupkat telah menyelamatkan banyak pekerja pariwisata yang kehilangan pekerjaan ketika pondok-pondok safari di dekatnya ditutup selama pandemi virus korona.

"Saya memperjuangkan hidup berdampingan dengan satwa liar, dan agar kami memiliki sumber pendapatan lain," kata Saalash kepada AFP.

Alpukat atau gajah

Pemilik tanah dan pakar satwa liar bersikukuh bahwa keduanya tidak dapat hidup berdampingan. Mereka mengatakan sejumlah gajah telah menabrak pagar listrik yang dibangun perusahaan KiliAvo untuk membatasi lahan. Hal itu  menjadi bukti lahan tersebut menghalangi rute migrasi hewan-hewan itu saat mereka meninggalkan Amboseli ke wilayah sekitarnya untuk berkembang biak dan mencari air serta padang rumput.

"Bisakah Anda bayangkan jika gajah di Amboseli mati kelaparan sementara orang-orang di Eropa bisa makan alpukat?" kata ahli konservasi Kenya Paula Kahumbu, yang mengepalai kelompok kampanye Wildlife Direct, kepada AFP.

Pendapatan dari bisnis alpukat yang berkembang pesat di Kenya sangat jauh dibandingkan dengan pariwisata, yang meraup US$1,6 miliar pada 2019.

Kritikus iklim memperingatkan, mengizinkan KiliAvo untuk melanjutkan lahan pertanian itu akan menjadi preseden berbahaya bagi ekosistem yang selama ini sudah terancam.

Iklan baliho di Kimana, kota yang berkembang pesat di dekat Amboseli, mengisyaratkan perkembangan yang sedang terjadi. Tolstoy, dan satwa liar besar dan kecil lainnya bersaing dengan mobil untuk menyeberang ke Suaka Kimana, penghubung penting antara Amboseli dan habitat di taman Tsavo dan Chyulu Hills.

“Kalau terus begini, Taman Nasional Amboseli pasti mati,” kata Daniel Ole Sambu dari lembaga Big Life Foundat. (AFP/M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat