visitaaponce.com

Laut Memanggilku Afeksi dari yang Artifisial

Laut Memanggilku: Afeksi dari yang Artifisial
Salah satu adegan dalam film Laut Memanggilku.(Dok. Tanakhir Films)

Hari-hari berjalan seperti biasanya. Sura (M. Umar) berjalan dari pelelangan ikan ke pinggir pantai, lalu ke rumah. Tidak ada siapa-siapa. Cuma ia seorang. Dalam gempita pelelangan ikan, Sura tetaplah sepi dengan segala permenungannya.

Film pendek terbaru Tumpal Tampubolon, Laut Memanggilku, berkisah tentang Sura, bocah pesisir ibukota yang 'mendapat' kasih dari sebuah boneka seks yang ia temukan teronggok di pinggir laut.

Tumpal mengikuti peristiwa-peristiwa keseharian Sura yang lebih sering diam. Hidup bocah itu selayaknya manusia dewasa yang mengatasi permasalahannya sendiri. Kesunyian Sura dihadirkan dalam peristiwa interaksinya yang berlama-lama menatap laut. Seakan ombak yang membawa kotoran sampah itu berbicara padanya.

Interaksi Sura selain dengan sang boneka  dihadirkan lewat karakter Argo (Dikky Takiyudin), remaja tetangga rumahnya yang juga tinggal sendirian.

Tumpal mengeksplorasi bahasa tubuh dan mimik wajah kedua karakter. Bahkan ketika Sura mengajak berbicara Argo, Argo ditampilkan dengan aktivitasnya yang sibuk mendandani radio.

M. Umar dan Dikky, dalam membawakan karakter Sura dan Argo, berhasil menampilkan kompleksitas hidup yang dilalui dua tokoh tersebut. Dialog-dialog yang minim, cuma dihadirkan jika diperlukan, cukup efektif menjalankan plot penceritaan. Intensi Tumpal dalam mengejar realisme juga didukung dengan tekstur lanskap yang autentik di kawasan perkampungan pesisir, termasuk bagaimana Umar dan Dikky merespons pengadeganan yang diwujudkan dalam naskah.

Hidup sebatang kara membuat keduanya membentuk mekanisme pertahanan diri sebagaimana yang  mereka saksikan dari orang-orang di sekitar mereka. Umar dan Argo akrab dengan bahasa vulgar dan kekerasan sebagai salah satu cara merespons.

Sentuhan

Keunikan cerita film ini ialah kehadiran boneka seks yang kerap kali diasosiasikan sebagai objek pemuas hasrat manusia dewasa. Namun, di tangan Sura, benda tersebut dimaknai sebagai subjek pemuas dahaga akan afeksi yang selama ini absen dalam hidup Sura. Dengan penuh kasih, Sura merawat ‘ibu angkatnya’ yang ia pungut dari pinggir laut kotor itu menjadi teman baru dalam rumahnya yang selama ini sepi.

Imajinasi-imajinasi ingin dikasihi seorang ibu pun dihadirkan Sura dalam pemanggungan teater monolog di rumahnya. Bagaimana ia memasak mi instan, menaruhnya di depan si ibu angkat, lalu justru Sura mengambil bola. Sura bermain bola di dalam rumah. Lalu ia menciptakan dialog imajiner tentang anak yang diingatkan makan oleh ibunya.

Konflik meruncing saat Argo ingin meminjam boneka Sura. Dengan usia dan perawakan yang dimiliki Argo, bisa jadi niat itu ditangkap sebagai keinginan Argo untuk memuaskan birahi.

Dua karakter anak yang dihadapkan pada persoalan hilangnya afeksi seorang ibu dihadirkan melalui peristiwa yang mereka maknai sendiri lewat sebuah benda yang artifisial. Pemilihan properti yang dipilih Tumpal dan menjadi ide awal di film ini juga menjadi pokok utama yang kemudian berhasil untuk menyampaikan kompleksitas kehidupan anak-anak yang barangkali juga jarang diakrabi sebagai pemahaman yang terbentuk di benak masyarakat. Dalam kejenakaan permukaan, ada kepiluan tentang permasalahan anak-anak yang menjadi lapisan narasinya.

Pemaknaan tentang absennya afeksi yang dirasakan Sura dan Argo sebenarnya juga cukup kontekstual bagi kita yang selama kurun pandemi ini juga harus membatasi kontak fisik dengan orang lain.

Hilangnya sensasi sentuhan yang banyak dirasakan orang selama pandemi ini bukan saja perkara soal perasaan. Mengutip Francis McGlone, profesor ilmu saraf Liverpool John Moores University, fenomena itu telah menjadi permasalahan neurologis yang nyata. Tubuh ingin disentuh memang karena begitulah cara manusia secara fisik diprogram.

Tiffany Field, pendiri Touch Research Institute di Miami Medical School menyampaikan kegiatan seperti memijat atau memeluk yang mempertemukan kulit manusia menyebabkan peningkatan aktivitas vagal, atau sederhananya berdampak pada penenangan sistem saraf dan berujung pada relaksasi.

Tumpal membuat adegan Sura dipijat oleh si ‘ibu angkat’, tiduran di pangkuannya. Barangkali itu yang ingin Sura rasakan. Mengalami perasaan 'disentuh' yang selama ini absen di hidupnya. Meski pengalaman itu harus ia hadirkan lewat suatu benda yang artifisial. Tanpa atau dengan pandemi, Sura tak pernah memiliki afeksi seperti kebanyakan anak-anak lain. Tapi tiba-tiba ia menciptakan afeksi dari benda yang ditemukannya dari laut penuh sampah. Mengasihi yang terkesan lain bagi kebanyakan, me-reinterpretasi kehadiran benda baru dalam hidupnya.

Laut Memanggilku tayang perdana di Indonesia (Indonesian premier) dalam program Light of Asia di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-16 awal Desember silam. Sebelumnya, film itu memenangkan Sonje Award di Busan International Film Festival dan film pendek terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2021. Sayang sekali, sampai saat ini belum ada informasi mengenai pemutarannya di jaringan bioskop reguler atau platform OTT. (M-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat