visitaaponce.com

Melacak Jejak Fotografi Indonesia di Galeri Nasional Singapura

Melacak Jejak Fotografi Indonesia di Galeri Nasional Singapura
Foto di Pameran Galeri Nasional Singapura(Dok. Jek)

Foto bisa menjadi perekam zaman. Fotografi, dari dekade-dekade lampau telah melalui evolusinya. Karya fotografi menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah. Di era kolonial misalnya, karya fotografi menjadi sumber terbaik untuk melihat ke belakang perjuangan menuju kemerdekaan, hingga sebagai wujud ekspresi seni era modern.

Perjalanan fotografi dari masa ke masa di Asia Tenggara salah satunya dapat dilihat di pameran berjudul Living Pictures Photography in Southeast Asia. Pameran tersebut berlangsung pada 2 Desember 2022 hingga 20 Agustus 2023 di Galeri Nasional Singapura. Di sana pengunjung dapat melihat lebih dari 300 karya fotografi yang membentang selama kurun periode 150 tahun.

Pameran dibuka dengan karya-karya periode awal kemunculan fotografi sekitar abad ke-19, ketika teknologi fotografi dibawa oleh para kolonis Eropa. Bab awal fotografi ini menghasilkan karya-karya foto etnografi dan lanskap Asia Tenggara.

Baca juga : Candi Borobudur dan Merapi Jadi Objek Fotografer Dunia Ikut Pameran

Di bagian ini, potret-potret warga Asia Tenggara seperti seri potret warga Vietnam dari berbagai kelas dan profesi yang direkam Emile Gsell pada medio 1800-an muncul. Juga foto warga Eropa di depan rumah Attap di suatu hutan oleh Rudolf Jagerspacher.

“Bagian ini secara kritis mengkaji hubungan keterlibatan fotografi dengan imperialisme. Banyak dari foto-foto ini dibuat oleh fotografer Eropa untuk pasar Eropa. Mereka menyajikan sudut pandang yang berbeda dan memuaskan keingintahuan pemirsa yang ingin melihat koloni kekuatan dunia yang sangat jauh. Di luar perannya sebagai suvenir perjalanan, foto-foto ini juga digunakan untuk mempromosikan pariwisata dan investasi, dan terkadang sebagai bahan penelitian dan pendidikan,” bunyi kuratorial yang dihadirkan dalam pameran, ketika Media Indonesia berkunjung ke pameran tersebut, Jumat, (2/12).

Pada era ini, potret Indonesia yang masih di bawah penjajahan Belanda banyak terekam lewat karya bertema lanskap Bali. Mulai dari para perempuan dan laki-laki beserta pakaian adat mereka, hingga kegiatan memanen padi.

Baca juga : Pameran Seni Erlangga Art Awards 2022 Telah Dibuka

Foto-foto tersebut merupakan karya Margaret Mathilde ‘Thilly’ Weissenborn yang menampilkan citra mooi indie atau aliran seni Hindia Belanda di abad ke-19. Foto mooi indie bukan saja dihasilkan Thilly. Arsip lain, juga kental dengan nuansa mooi indie, di antaranya foto yang menunjukkan lanskap Kawah Manoek, Jawa Barat, hingga foto kereta api yang melaju di atas rel di Sumatera Barat. Selain itu, eksotisme dan keindahan Hindia Belanda masa itu juga muncul di banyak karya lukis.

Di sebuah dinding berlatar warna ungu, dua foto dengan bingkai emas terpampang. Potret lelaki yang duduk tegak dengan perhiasan emas di tubuhnya. Foto tersebut adalah potret Sri Sultan Hamengkubuwono VI dan permaisuri Ratu Kencana. Dua potret ini masih masuk dalam periode arsip kolonial, dengan Woodbury & Page tercatat sebagai fotografer. Mereka ditunjuk oleh Sultan dan mendapat imbalan komersial atas karyanya.

Di bagian selanjutnya, In Real Life, momentum yang terekam tentang Indonesia adalah pada periode kemerdekaan dan setelahnya, 1945–1949. Mulai dari peristiwa monumental saat Soekarno dan Hatta membacakan proklamasi, hingga peristiwa kecil ketika Hatta berhenti di Stasiun Manggarai untuk memberikan pidato singkat dalam perjalanannya menuju Sumatera dari Yogyakarta.

Baca juga : Alicia Keys dan Swizz Beatz Selenggarakan Pameran 'Giants' di Brooklyn Museum

Foto-foto pada periode ini direkam oleh agensi berita foto independen pertama Indonesia, Indonesia Press Photo Service (IPPHOS). IPPHOS didirikan oleh kakak-beradik Alexius Impurung Mendur dan Frans Soemarto Mendur serta kakak-beradik Justus dan Frans Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda. Kebanyakan foto yang dipajang juga merupakan hasil jepretan mereka.

Sementara itu, di belahan Asia Tenggara lain, juga terekam karya foto yang lebih bersifat dokumenter berita. Seperti foto ikonik di peristiwa perang Indochina di Vietnam ketika tentara menodongkan senjata di kepala seseorang, hingga foto anak-anak kecil yang berlarian di antara tentara.

Subyek Baru

Baca juga : Pameran 'Jalur Rempah' Telusuri Jejak Komoditas Utama Nusantara

Pada era modern, atau bisa disebut sejak 1970-an, fotografi dipandang bukan lagi sebatas cara untuk merekam momentum penting. Namun, fotografi dieksplorasi yang disilangkan dengan disiplin seperti senirupa hingga seni performans. Banyak kemudian para seniman bereksperimen dengan medium fotografi untuk mencipta karya seni, termasuk bagaimana mereka merekam diri. ciri tersebut yang dimunculkan pada bagian akhir pameran tersebut.

“Fotografer menjadi lebih reflektif, sering mengarahkan kamera mereka ke dalam. Fotografi tidak lagi dikhususkan untuk acara atau orang penting; sebaliknya, itu adalah tempat untuk refleksi dan eksperimen, ruang untuk memahami berbagai hal. Proses menjadi sama pentingnya dengan hasilnya.”

Potret seniman seni pertunjukkan Indonesia Melati Suryodarmo juga menjadi salah satu yang masuk dalam bagian ini. Foto dengan ukuran gigantik itu menunjukkan salah satu bagian pertunjukkan Mel saat dirinya menampilkan Exergie Butter Dance Revisited. Isabel Mathaeus, sebagai fotografer, diarahkan Mel untuk menangkap ekspresi dan gerak saat ia tampil dan menghasilkan karya foto yang ekspresif lewat mimik muka, gerak tubuh, dan mentega yang menjadi pijakan kaki Mel.

Baca juga : Startup Indonesia Tembus Emerging Enterprise Award di Singapura

(M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat