visitaaponce.com

Benua Asia Tertinggal dalam Upaya Kikis Lemak Trans dari Makanan

Benua Asia Tertinggal dalam Upaya Kikis Lemak Trans dari Makanan
Banyak negara Asia belum melakukan pengaturan terhadap batas kadar lemak trans dalam makanan meski jenis lemak itu berbahaya bagi kesehatan.(lightwise/123RF)

Sebuah laporan terbaru dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan negara-negara di wilayah Asia dan Afrika masih tertinggal dalam upaya menghilangkan lemak trans (trans fat) berbahaya dari produk makanan. Meskipun begitu, ada kemajuan besar yang terjadi di seluruh dunia sejak WHO menetapkan tujuan itu pada 2018.

"Jika dibandingkan Eropa dan Amerika, wilayah Asia masih lambat dalam menghapuskan lemak trans yang diproduksi industri makanan," kata Rain Yamamoto, penulis utama laporan dan ilmuwan di Departemen Nutrisi dan Keamanan Pangan WHO seperti dilansir Kyodo News, Selasa (24/1).

Lemak trans (trans fat) adalah sejenis minyak lemah jenuh tidak sehat yang terbentuk saat cairan minyak menjadi lemak padat. Lemak trans ada yang terbentuk secara alami, ada juga yang sintetis. Yang sintetis biasa digunakan sebagai pemadat dalam pemrosesan makanan. Bisanya lemak trans yang diproduksi secara industri adalah senyawa buatan dari minyak olahan dan dapat ditemukan dalam produk gorengan, kue kering, makanan kemasan, dan olesan.

"Konsumsinya meningkatkan risiko penyakit jantung dan mengeraskan arteri dengan berkontribusi pada kadar kolesterol yang lebih tinggi," jelas Rain.

Tidak seperti lemak jenuh alami yang dapat meningkatkan kolestrol jahat dan kolestrol baik -untuk kepentingan membran sel-, lemak trans lazimnya meningkatkan kolestrol jahat dan menekan kolestrol baik. Kolestrol berlebihan akan menjadi plak di pembuluh darah dan dapat menyebabkan berbagai risiko kesehatan, seperti penyakit jantung atau stroke. Terlebih, tubuh tidak punya kemampuan alami untuk memecah lemak trans.

Sebagai salah satu negara maju di kawasan Asia, Jepang tidak memiliki kebijakan wajib untuk membatasi lemak trans dalam produk makanan. Sementara itu, Thailand pada 2019 menjadi contoh bagi Asia dengan mengadopsi peraturan pembatasan lemak trans pada produk makanan. Langkah itu diikuti oleh Singapura, Bangladesh, India, dan Filipina.

"Akan menyenangkan melihat Jepang, yang berhasil dalam banyak bidang kesehatan, memimpin kawasan ini dengan menerapkan kebijakan praktik terbaik," ujar Rain.

Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus menjelaskan lemak trans adalah bahan kimia beracun yang membunuh dan seharusnya tidak ada dalam makanan. "Lemak trans tidak memiliki manfaat yang diketahui. Risikonya pun sangat besar bagi kesehatan sehingga menimbulkan biaya besar untuk sistem layanan kesehatan," jelas Adhanom.

Menurut WHO, untuk beralih kepada gaya hidup yang lebih sehat, masyarakat bisa mengganti lemak trans buatan tersebut dengan berbagai minyak yang lebih baik untuk tubuh seperti minyak nabati, seperti yang berasal dari kedelai, biji rapa dan zaitun.

Dari 60 negara yang memiliki peraturan wajib untuk mengurangi kadar lemak trans dalam makanan, 43 negara telah mengadopsi "kebijakan praktik terbaik" dari WHO untuk menghilangkan lemak trans yang diproduksi secara industri dari semua produk makanan hingga akhir 2023.

Akan tetapi, masih ada 5 miliar orang masih tinggal di negara-negara yang tidak memberlakukan batasan wajib lemak trans dalam produk yang dapat dimakan.

WHO juga menyatakan bahwa 9 dari 16 negara yang diperkirakan memiliki tingkat kematian penyakit jantung koroner tertinggi di dunia, disebabkan oleh konsumsi lemak trans di mana negara tersebut belum menerapkan kebijakan praktik terbaik aturan WHO tentang lemak trans. Negara-negara tersebut adalah Australia, Mesir, Pakistan, dan Korea Selatan.

Anggota Aliansi Makanan dan Minuman Internasional yang meliputi perusahaan pengolahan makanan besar seperti Nestle dan Danone, telah berkomitmen untuk menghentikan produksi lemak trans industri secara bertahap pada tahun 2023.

"WHO secara independen akan memantau komitmen perusahaan-perusahaan tersebut dan melaporkan kesimpulan dari hasil pantauannya pada semester kedua tahun 2023," ujar Rain Yamamoto. (M-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat