visitaaponce.com

Maaf, di Bahrain tidak ada Mutiara Abal-abal

Maaf, di Bahrain tidak ada Mutiara Abal-abal
Perhiasan yang dilengkapi mutiara alami(Mazen Mahdi / AFP)

Meski langka di tempat lain, mutiara alami yang diperoleh dari tiram dasar laut oleh penyelam adalah satu-satunya varietas yang diproduksi di Bahrain. Kerajaan Teluk itu sangat bangga dengan tradisi pembuatan mutiaranya. Bahrain, negara kepulauan kecil yang bertetangga dengan Qatar, adalah satu-satunya negara di dunia yang melarang budidaya mutiara buatan, yang membanjiri pasar sejak 1920-an.

"Kami tidak bisa memproduksi secara massal," kata Faten Mattar, yang bekerja di toko perhiasan milik keluarga, seperti dikutip AFP, Jumat (21/4). “Diperlukan waktu hingga lima tahun untuk menyelesaikan satu helai kalung dengan mengambil mutiara langsung dari penyelam, itu adalah sebuah tantangan,” imbuhnya.

Sebuah potongan besar mutiara asli bisa mencapai US$25 ribu dan mungkin membutuhkan waktu lebih dari satu dekade untuk menyelesaikan pembuatannya.  Tapi, karena tidak ada mutiara lainnya yang identik, menurut Mattar itu adalah bagian dari daya tariknya. "Setiap orang yang memiliki atau mendapatkan sebuah perhiasan yang mengandung mutiara alam, tahu tidak ada orang lain yang memiliki benda serupa."

Mattar adalah salah satu perempuan pertama yang bekerja di bisnis keluarga yang didirikan lebih dari dua abad lalu, menjadikannya salah satu yang tertua di Bahrain. Mutiara menghiasi gelang, kalung, kancing manset, dan barang-barang lainnya di toko kecil miliknya. "Salah satu tujuan kami adalah membuat mutiara lebih terjangkau untuk semua orang, jadi kami juga menjual yang kecil bukan cuma potongan besar," jelasnya.

Perubahan iklim

Seperti negara-negara Teluk Arab lainnya, ekonomi Bahrain sebelum ditemukannya minyak, mengandalkan panen budidaya mutiara. Para penyelam di negara itu akan menghabiskan waktu berbulan-bulan di atas dhow tradisional, perahu layar kayu yang telah mengarungi perairan Teluk selama berabad-abad, untuk mencari mutiara yang berharga bagi keluarga kerajaan di kawasan itu serta rumah mode Eropa.

Tetapi perdagangan mutiara alami itu jatuh setelah Depresi Besar yang terjadi di AS dan merambat menjadi resesi global pada tahun 1930-an, serta  munculnya pengembangan budidaya mutiara di Jepang yang lebih murah dan lebih mudah diproduksi.

Menurut UNESCO, Muharraq, di utara Bahrain, adalah rumah bagi contoh lengkap terakhir dari tradisi budaya mutiara.

Kini, ahli permata muda di Institut Mutiara dan Batu Permata Bahrain (DANAT) - terletak di antara gedung pencakar langit ibukota Manama, meneliti mutiara menggunakan mesin modern atau mata telanjang. Seorang peneliti melewati mutiara melalui mesin sinar-X di bawah pengawasan Fatima Almahmood, lulusan fisika dan gemologi. Sinar-X lantas mendeteksi "garis pertumbuhan" yang membedakan mutiara alami dari yang dibudidayakan, jelasnya, menunjuk ke gambar pemindaian yang diproyeksikan ke layar.

Dibuat pada tahun 2017, DANAT menilai mutiara atas permintaan pedagang maupun individu. "Anda akan terkejut dengan berapa banyak klien yang datang ke DANAT yang memiliki potongan warisan dan kemudian terkejut mengetahui... (mereka) mengandung mutiara budidaya," kata Noora Jamsheer, yang mengepalai pusat penelitian.

Selain meneliti, DANAT juga memantau kondisi perairan tempat mutiara alam itu dipanen. Jamsheer mengatakan perubahan iklim menjadi perhatian mereka. "Kami memiliki tim peneliti yang terus turun ke lapangan, meneliti dan mengumpulkan data -- suhu air, kualitas air, salinitas -- untuk menentukan dan mempelajari dampak dari faktor-faktor ini," tegasnya.(M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat