visitaaponce.com

Sejarah Mati di Kampung Kami, Memoar Tentang Tsunami dan Konflik Aceh

Sejarah Mati di Kampung Kami, Memoar Tentang Tsunami dan Konflik Aceh
Acara bedah buku Sejarah Mati di Kampung Kami karya Nezar Patria(MI/Devi Harahap)

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam atau yang dikenal dengan Aceh, kerap kali bersinggungan dengan narasi sejarah kontemporer yang menuai pro dan kontra. Sebut saja seperti konflik bersenjata, bencana tsunami, lokalitas kepartaian, hingga formalisasi hukum syariat yang diterapkan masyarakatnya.

Meski demikian, di samping kisah-kisah yang sudah dilalui selama sekian dekade itu, masyarakat Aceh mulai bangkit dan membuka diri untuk menciptakan kondisi multikulturalisme yang inklusif sehingga mampu memberikan warna tersendiri bagi Indonesia.

Seorang penulis dan mantan jurnalis Nezar Patria merefleksikan secara filosofis terkait bencana besar tsunami Aceh, kepingan-kepingan besar di balik peristiwa tersebut, konflik dan perdamaian GAM serta berbagai keunikan mengenai Aceh itu dalam buku terbarunya yang bertajuk Sejarah Mati di Kampung Kami.

Putra Aceh yang baru saja diangkat menjadi Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika tersebut berhasil membawa suasana getir dan optimisme besar kepada para pembaca mengenai sejarah provinsi yang dijuluki sebagai negeri serambi Mekah itu.

"Saya sebetulnya bertanya, siapa yang mau membaca buku ini nantinya. Tapi penerbit meyakinkan saya bahwa tulisan-tulisan ini penting, apa yang ditulis ini adalah bagian dari kepingan-kepingan sejarah yang mungkin berguna untuk referensi bagi generasi berikutnya," ujar Nezar di Aula Badan Penghubung Pemerintah Aceh (BPPA), Menteng, Jakarta Pusat pada Jum’at (21/7).
 
Pada peluncuran dan bedah buku Sejarah Mati di Kampung Kami yang diadakan Forum Jurnalis Aceh Jakarta (For-JAK), Nezar mengatakan bahwa buku tersebut merupakan kumpulan tulisan-tulisannya selama dua dekade saat masih menjadi jurnalis yang berkaitan dengan sejarah dan keunikan Aceh.

“Saya memang senang menulis di surat kabar dan media sosial, buku ini berisi tulisan saya yang diterbitkan di surat kabar hingga saya unggah di facebook. Proses pembuatan tulisan cukup panjang, saya kira sejak tsunami Aceh sampai tahun lalu (2004-2022),” jelasnya.

Nezar lebih lanjut mengungkapkan bahwa bab pertama berjudul sejarah mati di kampung kami yang akhirnya dijadikan judul buku ini adalah satu-satunya tulisan yang dibuatnya saat observasi pasca tsunami 2004 dengan kondisi jiwa yang terguncang.

“Saat itu saya masih jadi wartawan. Tulisan awal itu saya tulis seminggu pasca gempa dan tsunami dengan kondisi tangan gemetar karena jiwa saya masih terguncang ketika melihat banyak mayat bergelimang di jalanan dan kondisi carut marut bangunan yang hancur,” ungkapnya.

Nezar juga menceritakan bagaimana kengerian dan kemelut dari kisah getir sejarah tsunami Aceh itu lewat pernyataan seorang Menteri Pertahanan Amerika yang kala itu datang berkunjung ke Aceh.

“Menteri Pertahanan Amerika saat itu bahkan mengatakan bahwa apa yang terjadi di Banda Aceh akibat tsunami, persis seperti kehancuran kota Nagasaki dan Hiroshima pasca dibom,” ungkapnya.

Meski getir, Nezar menjelaskan bahwa buku tersebut juga mengisahkan sisi-sisi humanis terkait peristiwa sejarah pascagempa dan tsunami 2004.

“Saya harap buku ini dapat berguna bagi kaum muda atau generasi milenial, khususnya untuk membantu mereka dalam membaca sejarah Aceh,” ungkapnya.

Nezar juga berharap, nantinya penerbit bisa membuat versi elektronik (e-book) agar pesan buku tersebut bisa terdistribusi secara luas dan menyentuh kalangan milenial sehingga berbagai sejarah Aceh bisa terus turun ke berbagai generasi.

Pada kesempatan yang sama, salah satu pembedah buku sekaligus sastrawan, Bre Redana mengatakan bahwa buku Sejarah Mati di Kampung Kami bukanlah sekadar kronik peristiwa tetapi juga kronik kesadaran. Dalam buku tersebut, Nezar memberi pemahaman, perspektif dan kesadaran baru dari peristiwa-peristiwa yang dialami penulis hingga dijadikan tulisan.

“Penulisan buku ini sangat menarik karena pada dasarnya semua orang suka didongengin dan dunia sebenarnya dibentuk oleh dongeng. Itu lah kekuatan Aceh dari sejak semula yang namanya banyak dibentuk oleh sastra terutama puisi. Buku ini menggunakan rasa jurnalistik dengan teknik story telling yang indah,” tuturnya.(M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat