visitaaponce.com

SBY Mengenang Tsunami Aceh, Ujian Pertamanya sebagai Pemimpin

SBY Mengenang Tsunami Aceh, Ujian Pertamanya sebagai Pemimpin
Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono mendoakan korban bencana gempa dan tsunami Aceh 2004.(MGN)

DARATAN Aceh pernah bergetar kuat, meruntuhkan pondasi-pondasi diatasnya, mengantarkan ombak tsunami yang merenggut nyawa ratusan ribu jiwa pada 26 Desember 2004 silam, tepatnya 19 tahun lalu. 

Masih teringat jelas di benak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu baru dua bulan setelah dilantik sebagai Presiden RI, SBY langsung dihadapkan pada bencana tsunami yang menerjang Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004. Peristiwa itu menjadi ujian pertama bagi SBY sebagai pemimpin.

SBY mengenang peristiwa tsunami Aceh dalam akun Facebook pribadinya pada 26 Desember 2014. Ia menceritakan bagaimana ia menerima kabar gempa bumi dan tsunami di Aceh dan segera mengambil langkah-langkah untuk menangani bencana tersebut.

Baca juga : UAS Ceramah di PLTD Apung Banda Aceh, Saksi Dahsyatnya Tsunami Aceh

Kabar Gempa Dan Tsunami Aceh

SBY mengenang peristiwa tersebut di dalam akun Facebook pribadinya. Berikut sekelumit kutipan kenangan yang SBY posting dari Litte Rock, Arkansas, Amerika Serikat.  

"Ya Allah, musibah apa ini ... ", ucap saya lirih.

Hal ini saya ucapkan di Wisma Gubernur Papua, Jayapura, tanggal 26 Desember 2004, ketika berita yang saya terima tentang gempa bumi di Aceh bertambah buruk dari jam ke jam. Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng, dua juru bicara Presiden, yang terus "meng up-date" perkembangan situasi di Aceh ikut pula cemas. Istri tercinta yang mendampingi saya saat itu nampak makin sedih. Matanya mulai berkaca-kaca.

Baca juga : 5 Fakta Bencana Tsunami Aceh dalam Angka

Komunikasi yang dilakukan oleh para Menteri dan Staf Khusus yang mendampingi saya memang amat tidak lancar. Mereka nampak frustrasi. Belakangan baru tahu bahwa telekomunikasi di seluruh Aceh lumpuh total. Tetapi, yang membuat pikiran saya semakin tegang adalah setiap berita yang masuk jumlah korban gempa terus meningkat dengan tajam. Pertama belasan, kemudian puluhan, ratusan dan bahkan ribuan. 

Waktu itu saya benar-benar belum mengetahui bahwa yang terjadi ternyata bukan hanya gempa bumi, tetapi juga tsunami yang amat dahyat.

Selama jam-jam yang menegangkan itu saya tetap memelihara komunikasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat itu berada di Jakarta. Intinya, nampaknya ini bukan bencana alam biasa. Sesuatu yang besar. Kita harus siap menghadapi hal yang paling buruk. Kita harus dapat bertindak dengan cepat namun sekaligus tepat.

Baca juga : 19 Tahun Tsunami Aceh, Puluhan Ribu Nelayan Libur Melaut untuk Bertafakur

Oleh karena itu, meskipun malam harinya saya tetap menghadiri perayaan Natal bersama umat Kristiani yang ada di Jayapura yang sudah lama dipersiapkan, saya meminta acara itu dipersingkat dan saya mengajak hadirin untuk berdoa atas keselamatan saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana alam di Aceh.

Dengan informasi dan intelijen yang sangat minim, malam itu di Jayapura saya segera menggelar rapat Kabinet Terbatas, yang dihadiri sejumlah Menteri yang mendampingi saya. Ingat, kunjungan saya ke Papua waktu itu di samping menghadiri perayaan Natal bersama juga meninjau Nabire yang baru saja tertimpa bencana.

Suasana nampak hening. Para Menteri sempat merasakan ketegangan saya. Sebenarnya, ketika saya pandangi wajah-wajah mereka, nampaknya hal itu juga dialaminya. Setelah melakukan pembahasan secukupnya, saya mengambil keputusan bahwa esok hari, sepagi mungkin, kita langsung ke Aceh. Bukan ke Jakarta sesuai dengan yang telah direncanakan. Pada waktu itu memang ada yang berpendapat dan menyarankan agar sebaiknya saya kembali ke Jakarta dulu. Setelah segalanya menjadi jelas, baru ke Aceh.

Baca juga : 7 Tempat untuk Mengenang Bencana Tsunami Aceh 2004 

"Tidak. Kita langsung ke Aceh. Persiapkan penerbangan kita. Kita berangkat sepagi mungkin", demikian arahan saya

"Siap, Bapak Presiden", jawab mereka. Serentak.

"Terima kasih. Dalam keadaan yang serba tidak jelas ini justru sebagai pemimpin saya harus mengetahui situasi di lapangan yang sebenarnya. Di situ saya bisa segera mengambil keputusan. Dan kemudian memberikan instruksi dan segera bertindak". Mereka kembali mengangguk. Tanda mengerti.

Baca juga : Detik-Detik Tsunami Aceh, Warga Diajak Bertafakur 1 Menit

 

SBY Terbang ke Aceh

KUBAH MASJID GURAH: Kubah masjid yang terdampar akibat gelombang tsunami 26 Desember 2004 di Desa Gurah, Peukan Bada, Aceh Besar, Aceh, Selasa (20/12/2022). Kubah masjid itu terbawa gelombang tsunami sejauh dua kilometer. (ANTARA/Irwansyah Putra)

Baca juga : Demokrat Masuk Kabinet? Puan: Tanya Pak Jokowi

 

Kemudian, SBY memutuskan untuk langsung terbang ke Aceh pada 27 Desember 2004. Sesampainya di Aceh, ia langsung menemui para korban tsunami dan memberikan bantuan. Ia juga memerintahkan TNI dan Polri untuk segera membantu penanganan bencana.

Sore hari pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Lhokseumawe. Begitu sampai di lokasi saya beserta istri dan rombongan segera menemui ribuan saudara-saudara kita yang kena musibah, termasuk yang kehilangan keluarganya. Suasana sungguh memilukan. Kami sapa dan peluk mereka. Saya sampaikan bahwa saya dan para Menteri datang untuk membantu mereka semua.

Baca juga : Sepuluh Gempa Paling Mematikan Sepanjang Abad ke-21

Menjelang gelap, sesampainya di tempat menginap (di kompleks PT Arun) saya segera menggelar rapat. Tentunya semuanya serba darurat. Saya ingin segera mendapatkan laporan dari para pejabat daerah tentang keadaan yang nyata di lapangan, serta tindakan apa saja yang telah dilakukan oleh daerah termasuk oleh jajaran TNI dan Polri. 

Dengan laporan yang lebih akurat, saya akan lebih fokus untuk meninjau daerah-daerah yang paling parah kerusakannya. Juga yang paling banyak korban jiwanya. Dari situ, kemudian saya bisa mengambil keputusan, termasuk sasaran-sasaran utama operasi tanggap darurat yang mesti segera dilakukan.

Tiga pimpinan daerah memberikan laporan singkat kepada saya, yaitu Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Azwar Abubakar, Pangdam Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI Endang Suwarya dan Kapolda Aceh Inspektur Jenderal Bachrumsyah. 

Baca juga : Tim USK dan Unsam Temukan Dampak Buruk Sedimen Tsunami Bagi Pertanian Aceh

Roman muka ketiga pejabat tersebut nampak tegang dan juga lelah. Saya diberitahu bahwa isteri Mayjen Endang Suwarya hampir tidak selamat akibat hantaman gelombang tsunami yang sangat kuat, sementara salah satu anak Gubernur Azwar Abubakar belum diketahui posisinya. Suara mereka nampak bergetar ketika memberikan laporannya.

Saya menyimak dengan seksama semua laporan dan penjelasan yang diberikan kepada saya. Setelah saya ajukan sejumlah pertanyaan penting, akhirnya saya bisa menyimpulkan dan sekaligus menyampaikan pernyataan sebagai berikut:

"Ini sebuah bencana nasional. Hakikatnya juga krisis nasional. Oleh karena itu yang harus kita jalankan adalah manajemen krisis. Baik pada tingkat Pusat, maupun Daerah". Semuanya membenarkan. Kemudian saya sampaikan arahan saya lebih lanjut."Karena jajaran Pemerintah Daerah saya anggap lumpuh total, maka Pemerintah Pusat akan mengambil alih".

Baca juga : Organisasi Wartawan Mengenang 17 Tahun Tsunami Aceh melalui Pameran Foto

Seusai rapat, d ihadapan staf khusus dan ADC, saya sampaikan bahwa Presiden harus turun langsung ke lapangan. Tak cukup hanya menerima laporan semata. 

Sebagai Kepala Pemerintahan tugas dan kewajiban saya bukan hanya meninjau dan menangani permasalahan yang ada di lapangan semata, tetapi juga bertanggung jawab bahwa pemerintah memiliki kebijakan dan tindakan nasional yang tepat. Tentu termasuk pula dukungan sumber daya anggaran yang diperlukan. Dalam pikiran saya yang harus pemerintah lakukan adalah manajemen krisis tingkat strategis dan berdimensi nasional.

3 Prioritas Penanganan Bencana Tsunami

Sepanjang malam, saya menyusun dan menentukan prioritas dan tindakan penting yang harus segera dilakukan. Setelah saya lakukan analisis secara mendalam, saya tetapkan 3 prioritas yang harus dilakukan secara terpadu dan bersamaan. Tidak saling menunggu.

Baca juga : SBY Restui AHY Jadi Menteri ATR/BPN

SBY pun mengeluarkan instruksi dan menetapkan tiga prioritas dalam penanganan bencana tsunami yaitu, Operasi tanggap darurat untuk menyelamatkan jiwa korban, memberikan bantuan kemanusiaan, dan memulihkan infrastruktur. Pengerahan TNI dan Polri untuk membantu operasi tanggap darurat. Penghentian kontak tembak antara TNI dan GAM agar operasi tanggap darurat dapat berjalan lancar.

 

Aceh Luluhlantak Rata Dengan Tanah

 

Baca juga : Anies-Muhaimin Menang Telak di Sejumlah TPS Banda Aceh

MI/Agung Wibowo

 

Baca juga : Pemilu 2024 SBY Pulang Kampung Nyoblos di Pacitan

Esok harinya, 28 Desember 2004, saya sudah mendarat di Banda Aceh. Keadaan lebih menyedihkan lagi. Sepertinya semuanya rata dengan tanah. Kecuali sejumlah masjid, termasuk masjid Baiturrahman.

Setelah cukup berkeliling dan meninjau langsung daerah-daerah yang paling terdampak, termasuk keadaan masyarakat dan infrastruktur yang rusak berat, saya segera menuju ke Posko Sementara yang bertempat di Pendopo Gubernuran. Sejumlah tokoh masyarakat yang turut hadir juga saya persilahkan untuk bicara. Memang semuanya amat emosional. Bingung, sedih dan seperti tidak tahu apa yang harus dikerjakan.

Dalam situasi seperti itulah ~ sebagaimana yang telah saya perkirakan ketika saya berada di Lhokseumawe ~ saya harus memberikan instruksi dan arahan secara teknis. Sama sekali saya tidak berbicara yang sifatnya nasional dan strategis. Betul-betul operasional dan teknis. Persis seperti seorang Bupati, atau Dandim, ataupun Kapolres memberikan pengarahan kepada komandan-komandan bawahannya. Pertimbangan saya, kehidupan lokal yang lumpuh harus digerakkan dulu. Kepercayaan mereka harus mulai dibangkitkan. 

Baca juga : Diduga Kelelahan, Dua Petugas KPPS Pidie Aceh Meninggal Dunia

Bantuan Asing

Banyak tawaran bantuan dari negara-negara sahabat. Jumlahnya besar, dan saya kira angka yang paling besar yang diterima oleh sebuah negara di abad ke-21 ini. Persoalannya adalah selalu ada pro dan kontra di dalam negeri. Tetapi, tanpa ragu-ragu saya memutuskan untuk menerima bantuan itu demi masyarakat Aceh dan Nias yang amat menderita. Saya juga berjanji untuk mengelola anggaran itu secara transparan dan akuntabel, serta bebas dari korupsi. 

Komitmen dan pledging internasional itu mengalir dan dalam jumlah yang besar setelah pemerintah berhasil menyelenggarakan Konferensi Internasional yang kemudian disebut dengan Tsunami Summit. Di situ saya paparkan tentang skala kerusakan yang terjadi, termasuk jumlah korban jiwa yang tewas dan hilang. Setelah itu saya persilahkan jika ada pihak-pihak yang secara ikhlas dan tanpa syarat ingin membantu Indonesia. Berkali-kali saya ucapkan bahwa "Indonesia tidak meminta-minta, tetapi jika ada bantuan kemanusiaan tentu kami terima". Besaran kontribusi internasional untuk Indonesia itu mencapai sekitar 7 milyar dolar AS.

Kemudian, banyak sekali kontingen militer negara sahabat yang telah berada di sekitar Aceh dan Nias, dan juga yang telah bersiap di negaranya untuk segera berangkat ke Indonesia. Persoalannya, sebagaimana halnya bantuan internasional, ada yang alergi dan bahkan menolak kehadiran militer asing tersebut. Alasannya bermacam-macam. Katanya Indonesia, khususnya Aceh, akan menjadi sasaran intelijen asing. Juga dikhawatirkan tentara asing itu akan membantu GAM. Dan masih ada sejumlah alasan. 

Baca juga : Ada Libur Nasional dan Cuti Bersama, Polda Aceh Sesuaikan Jadwal Pelayanan SIM 

Dengan tegas saya katakan kekhawatiran itu tidak perlu ada. Di dunia ini tindakan membangun sebuah negara yang mengalami musibah bencana alam itu amat biasa. Atas dasar itu, dengan tegas saya mengizinkan kehadiran kontingen tentara negara sahabat itu dengan catatan mereka tetap dibawah kendali Indonesia, khususnya pemerintah dan pimpinan TNI.

Ternyata apa yang dilakukan oleh tentara asing itu amat menguntungkan kita. Alutsista dan perlengkapan mereka untuk mengatasi bencana lebih lengkap. Mereka banyak membantu pelaksanaan operasi tanggap darurat. Tidak ada yang melakukan operasi intelijen. Tidak ada yang membantu GAM. Bahkan mereka memiliki pandangan yang baik terhadap TNI kita yang dinilai profesional, bersahabat dan tidak ada wajah represif sebagaimana yang dicitrakan selama ini.

Pascabencana Tsunami, Aceh Damai

Berkenaan dengan situasi keamanan di Aceh sendiri. De facto konflik bersenjata masih ada. Oleh karena itu secara sungguh-sungguh saya melakukan analisis dan kalkulasi. Akal sehat dan keyakinan saya mengatakan tidak mungkin GAM akan melakukan serangan-serangan terhadap TNI maupun tentara asing. Kalau itu dilakukan istilahnya mereka bunuh diri. 

Baca juga : KIP Aceh Coret 3 Caleg Pemilu 2024. Ini Sebabnya

Itulah yang mendasari pertimbangan saya agar TNI sementara menghentikan operasi militernya dan kemudian fokus pada operasi tanggap darurat. Kecuali kalau TNI diserang, saya instrusikan untuk dilakukan pembalasan dan pengejaran sampai dapat. Tentu keputusan, kebijakan dan instruksi saya ini tinggi risikonya. Saya bisa salah. Tetapi keputusan itu tetap saya ambil. Adalah sejarah yang mencatat bahwa tidak terjadi serangan GAM, baik terhadap TNI maupun kontingen militer asing, selama pelaksanaan operasi tanggap darurat.

Sebelumnya telah saya katakan bahwa semua keputusan, kebijakan dan tindakan yang saya ambil ini ada pro dan kontranya. Risikonya pun tinggi. Tetapi, sekali lagi harus saya ambil dan lakukan. Dalam hal ini saya terus bersinergi dan berbagai pekerjaan dengan Wapres Jusuf Kalla. Pak JK cukup kontributif, banyak inisiatif dan sungguh membantu saya sebagai Kepala Pemerintahan. 

Operasi tanggap darurat tsunami Aceh berlangsung dalam kondisi yang sangat rumit. Selain besarnya jumlah korban dan luas yang terdampak, perlu diingat bahwa pada saat itu Aceh adalah daerah konflik bersenjata. Jajaran TNI/Polri dan PMI yang menjadi tumpuan harapan tidak punya peralatan memadai serta minim dana bencana dalam yang dianggarkan dalam APBN 2004.

Baca juga : Gempa Magnitudo 4,4 Guncang Pidie Jaya Aceh

Satu lagi, yang juga telah ada dalam pikiran saya, di Banda Aceh lah saya ulangi seruan saya agar Pemerintah dan GAM dapat duduk bersama untuk mencari jalan bagi pengakhiran konflik. Atas pertolongan Allah, nampaknya jalan itu terbuka cukup lebar.

Setelah Pemerintah dan GAM duduk bersama dan mencari jalan bagi pengakhiran konflik. Seruan SBY tersebut akhirnya membuahkan hasil dan konflik Aceh dapat diselesaikan secara damai pada tahun 2005. Sejarah mencatat bahwa hanya dalam waktu 8 bulan akhirnya konflik Aceh bisa diselesaikan secara damai dan bermartabat.  

19 Tahun Berlalu, SBY Kembali ke Aceh Ziarah ke Kuburan Massal Tsunami

Baca juga : Ulama Aceh Minta Presiden Jokowi Selesaikan Masalah Rohingya

Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan ziarah ke kuburan massal korban bencana gempa dan tsunami Aceh 2004 di Siron, Kabupaten Aceh Besar. (Medcom.id/Fajri Fatmawati)
 

Sembilan belas tahun silam sudah, kini SBY kembali menginjakkan kakinya kembali ke Aceh untuk melakukan ziarah ke kuburan massal korban bencana gempa dan tsunami Aceh 2004 di Siron, Kabupaten Aceh Besar. Ziarah tersebut dilakukan menjelang peringatan 19 tahun tsunami Aceh yang akan jatuh pada 26 Desember 2023.

Dalam ziarah tersebut, SBY didampingi putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Sekjen Demokrat, Ketua dan kader Demokrat Aceh, serta para ulama.

Baca juga : Pengungsi Rohingya yang Diusir Mahasiswa Aceh Sempat Mogok Makan, Tuntut Tempat Layak

SBY mengatakan, tsunami Aceh merupakan sejarah yang tidak mungkin dilupakan, dengan suara lirih dan air mata yang keluar menetes dari pelupuk matanya, seakan ia kembali merasakan situasi genting tempo dulu saat tsunami menerjang Aceh. Ia pun mengajak semua pihak untuk kembali mengenang tragedi besar tersebut.

"Mari kita berdoa dan memohon pertolongan Allah SWT untuk melakukan segala sesuatu yang mesti dilakukan di tanah Tuhan ini," kata SBY, Senin, 25 Desember 2023.

Ziarah SBY ke kuburan massal korban tsunami Aceh merupakan bentuk penghormatan dan mengenang tragedi besar yang pernah terjadi di Aceh. Ia juga mengajak semua pihak untuk bersama-sama membangun Aceh yang lebih baik.

Baca juga : Polresta Banda Aceh Tetapkan Dua Tersangka Baru Penyelundupan Rohingya

"Perjalanan setelah tragedi tsunami dan perdamaian Aceh, hari ini yang perlu dilakukan adalah menyelesaikan masalah yang ada dengan baik," tuturnya.

Tsunami Aceh menjadi ujian pertama bagi SBY sebagai pemimpin. Namun, SBY berhasil melewati ujian tersebut dengan baik dan menunjukkan kepemimpinan yang tegas dan penuh empati. Peristiwa tsunami Aceh meninggalkan pelajaran berharga bagi SBY dan seluruh rakyat Indonesia, ia belajar tentang pentingnya kerja sama, solidaritas, dan ketangguhan bangsa Indonesia dalam menghadapi musibah.

Meskipun kala itu banyak pihak yang belum memahami benar situasinya, sehingga pemerintah dianggap lambat bereaksi. Namun, Operasi tanggap darurat tsunami Aceh diakui PBB sebagai yang terbaik menajemennya dan kini menjadi role model bagi operasi serupa di berbagai penjuru dunia.

Peristiwa 19 tahun silam menjadi pelajaran berharga, menyadarkan kita bahwa daratan Aceh surga rawan bencana. Kini Aceh kembali bangkit, berdiri tegak menguatkan literasi dan mitigasi. (MGN/Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat