visitaaponce.com

Pakar PLTSa Hasilkan Emisi Gas Rumah Kaca Lebih Tinggi Dibanding PLTU Batu Bara

Pakar : PLTSa Hasilkan Emisi Gas Rumah Kaca Lebih Tinggi Dibanding PLTU Batu Bara
Petugas melakukan pengawasan mesin pengolahan sampah menjadi energi listrik di Solo, Jawa Tengah(Antara/Mohammad Ayudha)

DALAM mengurangi timbulan sampah, salah satu langkah yang dilakukan pemerintah ialah dengan membangun sejumlah teknologi pembakar sampah seperti RDF, yang dapat dimanfaatkan sebagai energi.

Namun demikian, Climate and Clean Energy Campaign Officer GAIA Asia Pasific Yobel Novian Putra menyebut bahwa solusi tersebut justru malah akan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Bahkan, Yobel menyebut bahwa emisi gas yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga sampah (PLTS) justru lebih tinggi daripada yang dihasilkan oleh PLTU batu bara.

"Insenerator sampah sangat polutif dibanding dengan sumber energi lainnya. Berdasarkan kajian awal yang dilakukan oleh GAIA, sebenarnya kenapa PLTS itu terlihat lebih kecil karena emisi gas yang dihitung hanya dari fosilnya. Belum dari organik dan sampah makanannya," kata Yobel dalam diskusi bertajuk Towards Zero Waste to Zero Emission yang dilaksanakan di Bakoel Coffee, Jakarta Pusat, Senin (6/3).

Yobel membeberkan, sampah bukanlah satu bahan yang didesain untuk diolah menjadi energi. Berbeda dengan batu bakar yang dengan satu kali pengolahan bisa langsung menghasilkan energi. Karenanya, pengolahan sampah menjadi energi merupakan solusi yang menurutnya semu dan malah akan membuang-buang energi itu sendiri.

Bahkan, ia menyebut bahwa negara-negara seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat telah mengeluarkan aturan tentang penghentian biaya untuk insenerator sampah.

"Taksonomi pembiayaan berkelanjutan Uni Eropa melarang pembiayaan insenerator sampah karena merusak tujuan mitgasi perubahan iklim. Tapi di Indonesia itu malah digunakan," imbuh dia.

Pada kesempatan itu, Yuyun menyebut bahwa sebagian besar sampah di Indonesia merupakan sampah organik. Berdasarkan data KLHK, pada 2022 komposisi sampah organik mencapai 41,27%. Untuk mengolah sampah itu menjadi energi, dibutuhkan proses yang panjang.

Baca juga : PLN Indonesia Power Jadi Tuan Rumah Seminar Bahas Solusi Pembangkit Listrik untuk Transisi Energi

"Sampah organik kan kebanyakan basah. Dan kalau mau mengeringkan harus ada energi lagi. Terus nilai kalornya rendah. Supaya bisa dibakar menjadi energi, kan harus pakai bahan bakar lagi," kata Yuyun.

"Kan lucu sekali untuk membakar sampah harus pakai energi lebih tinggi seperti solar, batu bara, dan lain-lain," imbuh dia.

Selain itu, ia menyebut bahwa abu dari hasil pembakaran sampah bisa memunculkan senyawa dioksin yang dapat berpengaruh pada lingkungan sekitar.

Ketimbang menggunakan energi terbarukan yang malah menimbulkan masalah baru, ia menilai semestinya masalah sampah di Indonesia harus diselesaikan dari hulu. Dimulai dari peraturan tentang pengurangan produk plastik oleh produsen.

Dari sisi masyarakat, ia juga menilai bahwa semestinya pemilahan sampah plastik dan pengelolaan sampah organik harus dilakukan masyarakat secara sadar.

"Tidak perlu masyarakat itu apa-apa diiming-imingi insentif. Lakukan saja sebagai tanggung jawab diri sendiri agar sampah di Indonesia bisa dikurangi," pugkas dia. 

Baca juga : Penambahan Pembangkit EBT 368,5 MW Butuh Investasi Rp26,8 Triliun

(Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat