visitaaponce.com

Antisipasi Naiknya Harga Jagung Akibat El Nino, Industri Pan Ternak Mulai Cari Subsitusi

Antisipasi Naiknya Harga Jagung Akibat El Nino, Industri Pan Ternak Mulai Cari Subsitusi
Kebutuhan jagung untuk pakan ternak nasional(Antara/Anis Efizudin)

BADAN Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan puncak kemarau sebagai dampak dari El Nino akan terjadi pada September, Oktober dan November. Dampak dari El Nino salah satunya adalah kenaikan harga bahan pakan ternak seperti jagung, yang akan mengakibatkan naiknya harga produk perunggasan.

Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Timbul Sihombing mengungkapkan, industri pakan ternak memerlukan terobosan dan inovasi untuk mengatasi lonjakan harga jagung sebagai dampak dari El Nino. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan sumber bahan baku alternatif.

“Dua bulan lalu kami dari asosiasi diundang oleh Pemerintah Korea Selatan untuk hadir di sana. Mereka memperkenalkan produk lalat hitam sebagai bahan baku pakan ternak. Di sana sudah menjadi industri, bayangkan lalat yang kecil-kecil itu sudah diproduksi ton-tonan dan mereka sudah punya asosiasi,” kata Timbul dalam webinar El Nino Datang Lagi: Bagaimana Antisipasi Sektor Pertanian dan Perunggasan,” Selasa (20/6) di Jakarta.

Baca juga : Industri Pengolahan Belum Maksimal Topang  Ketahanan Pangan

Meski harga lalat hitam mahal, kata Timbul, namun dengan kandungan protein 40-50 persen maka lalat hitam bisa menjadi alternatif sumber protein pengganti bahan pakan ternak yang lain.

Kata dia, pemerintah Korsel sangat mendukung semua pelaku industri untuk menggunakan lalat hitam sebagai alternatif bahan baku pakan. Saat ini, lalat hitam sudah diproduksi berton-ton dan dijual ke sejumlah perusahaan.

Baca juga : Kemendag Sebut Kenaikan Harga Telur Ayam Disebabkan Harga Pakan yang Cukup Tinggi

“Harganya memang masih mahal sekitar 3-5 dolar tapi ini bisa menjadi alternatif. Meskipun tidak akan menggantikan bahan baku pakan ternak, tapi bisa menjadi substitusi sebagian,” jelas Timbul.

Timbul menambahkan, substitusi bahan pakan ternak lainnya adalah nasi pecah, mie pecah dan biskuit pecah. Kata Timbul, industri pakan ternak sudah mulai mencari substitusi bahan baku pakan karena harga jagung pada triwulan pertama 2023 mulai naik.

Menurut Timbul, jagung masih menjadi bahan utama pakan ternak yaitu sekitar 40-50 persen. Kenaikan harga jagung tentu akan membuat biaya produksi pakan ternak ikut melonjak. 

Apalagi, pemerintah sudah melarang impor jagung sejak 2016. Faktor itulah yang membuat industri pakan ternak mulai mencari alternatif bahan baku pakan.
 
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian sudah mengantisipasi dampak El Nino tahun ini. Pengawas Mutu Hasil Pertanian (PMHP) Muda, Direktorat Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Devied Apriyanto Sofyan mengatakan, Kementan sudah memetakan daerah rawan kekeringan dan pemantauan kondisi iklim harian. Daerah tesebut dibagi menjadi tiga zona yaitu hijau, kuning dan merah.

“Untuk daerah zona hijau, pemerintah akan melakukan pengawasan dan pengawalan serta antisipasi terjadi kekurangan air. Untuk daerah zona kuning, pemerintah akan membangun dan memperbaiki embung, biopori, DAM, parit dan lain-lain untuk peningkatan ketersedian air irigasi. Sedangkan untuk daerah zona merah, pemerintah akan menyiapkan sumur dalam untuk irigasi, diversifikasi pangan untuk antisipasi dampak El Nino dan mengoptimalkan lahan sawah rawa,” kata Devied.

Guru Besar IPB University yang juga Ketua Umum Assosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa mengatakan, dampak El Nino paling besar akan menimpa produksi padi. 

Berdasarkan pengalaman El Nino pada 2015 dan 2019 lalu, para petani padi mulai beralih menanam jagung ketika terjadi musim kemarau panjang sebagai dampak El Nino.

“Petani kita sebenarnya sudah adaptif terhadap cuaca. Apabila terjadi kemarau panjang maka petani akan beralih menanam yang tidak memerlukan banyak air seperti jagung. Ini yang membuat harga jagung pada saat ini yang hampir mencapai Rp6.000 per kg,” kata Dwi Andreas.

Kata Dwi Andreas, tugas peningkatan produksi bukan hanya tugas Kementerian Pertanian tapi juga Kementerian Keuangan. Karena, kata Dwi, tarif impor pangan Indonesia untuk beberapa komoditas itu 0 persen. Ini membuat petani Indonesia harus berhadapan langsung dengan produk dari petani luar negeri.

“Harga produksi petani jangan sampai berbenturan dengan harga produksi pangan internasional sehingga petani bisa bergairah lagi untuk menanam komoditas pangan,” pungkas Dwi Andreas. (RO/Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat