visitaaponce.com

Ketahanan Pangan Dianggarkan Rp108,8 Trilun di 2024, Pengamat Belum Berpihak ke Petani

Ketahanan Pangan Dianggarkan Rp108,8 Trilun di 2024, Pengamat: Belum Berpihak ke Petani
Foto udara lahan pertanian di Desa Darmaraja, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (20/6/2023).(Antara/Adeng Bustomi)

PENGAMAT ekonomi pertanian, Khudori menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo soal alokasi untuk bidang ketahanan pangan dialokasikan sebesar Rp108,8 triliun.

Alokasi itu diprioritaskan untuk peningkatan ketersediaan, akses, dan stabilisasi harga pangan; peningkatan produksi pangan domestik; penguatan kelembagaan petani, dan dukungan pembiayaan serta perlindungan usaha tani, percepatan pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur pangan, pengembangan kawasan food estate, serta penguatan cadangan pangan nasional.

Khudori memandang anggaran ketahanan pangan pada 2024 ini sedikit naik ketimbang anggaran tahun 2013 Rp104,2 triliun. Prioritas pun tidak bergeser jauh dari tahun-tahun sebelumnya. "Dari daftar itu tidak ada prioritas langsung untuk meningkatkan kesejahteraan petani," kata Khudori dalam keterangan tertulisnya, Rabu (16/8).

Baca juga : Sawah Mengering, Petani di Batujajar Bandung Barat Merugi

Orientasi atau tujuan meningkatkan kesejahteraan petani dari tahun ke tahun selalu tertinggal. Orientasi dan prioritas masih pada produksi, ketersediaan, akses, dan stabilisasi harga, yang semua ini orientasi utamanya adalah untuk konsumen.

"Perlu keberanian untuk menggeser prioritas ketahanan pangan itu ke tujuan menyejahterakan petani," kata Khudori.

Baca juga : Anies Baswedan Sambangi Boyolali, Bicara Soal Ketidakadilan yang Dialami Petani

Dari total Rp108 triliun anggaran, dia menduga alokasinya tidak jauh berubah dengan tahun-tahun sebelumnya.

Salah satu alokasi terbesar adalah untuk bantuan pangan, serta bantuan pangan non tunai (BPNT).

"Untuk program ini saja bisa sampai memakan anggaran Rp44 triliun. Alokasi terbesar kedua masih terkait dengan sarana dan prasarana pertanian termasuk jaringan irigasi, bendungan, embung, dan subsidi pupuk," kata Khudori.

Sejauh ini pemerintah mengklaim membangun sekian embung, bendungan, dan jaringan irigasi. Infrastruktur itu dibangun untuk memastikan, salah satunya, ketersediaan air. Logikanya, jika benar infrastruktur pertanian ini dibangun masif mestinya diikuti kenaikan produksi komoditas pangan.

Akan tetapi, kalau dicek, pembangunan infrastruktur pertanian itu belum berdampak maksimal pada peningkatan produksi pangan dalam negeri. Pembangunan infrastruktur pertanian sepertinya tidak linier dengan peningkatan produksi pangan.

"Dugaan saya, ini ada kaitannya dengan hasil audit BPK (berbagai tahun), yang kesimpulannya cukup mengagetkan, yaitu pembangunan infrastruktur (salah satunya irigasi) tidak diketahui benefitnya atau sumbanganya bagi peningkatan produksi pertanian," kata Khudori.

Ini karena sejumlah hal. Misalnya, bendungan sudah dibangun, tapi jaringan irigasi yang memanfaatkan air dari bendungan ini belum ada.

"Akhirnya air yang ditampung di bendungan tidak termanfaatkan dengan baik. Ada pula irigasi primer dan sekunder sudah dibangun, tapi irigasi berikutnya, yakni tersier, belum dibangun. Lagi-lagi air jadi tak tersedia. Ada juga jaringan irigasi dibangun jauh dari wilayah sawah yang dicetak," kata Khudori.

 

Subsidi pupuk tidak tepat sasaran

Demikian pula subsidi pupuk. Sampai saat ini dampaknya belum maksimal karena tidak bisa dipastikan subsidi pupuk itu benar-benar tepat sasaran dan dinikmati petani.

Oleh karena itu, selain alokasi anggaran diperbesar yang tidak kalah penting adalah mengevaluasi aneka anggaran ketahanan pangan itu bagaimana efektivitasnya.

Hal ini untuk memastikan sumbangan alokasi anggaran itu pada peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan petani.(Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat