visitaaponce.com

Bangun Infrastruktur Jangan Didasari Keinginan Pihak Tertentu

Bangun Infrastruktur Jangan Didasari Keinginan Pihak Tertentu
Bandara Ngloram Blora terlihat lenggang tanpa aktifitas penerbangan komersial(MI/Akhmad Safuan)

PEMBANGUNAN infrastruktur seperti bandara mestinya tak dilakukan berdasarkan keinginan pihak tertentu. Perlu beragam kajian menyeluruh agar kemanfaatan dari sarana itu dapat dirasakan masyarakat luas dan tak terbengkalai.

Dengan begitu, fungsi dan tujuan dari bandara untuk menghidupkan perekonomian kawasan terkait dapat dirasakan secara nyata. Demikian disampaikan Pengamat kebijakan publik PH&H Public Policy Interest Group Agus Pambagio saat dihubungi, Sabtu (19/8).

Hal itu berkaitan dengan kondisi tiga bandara di Pulau Jawa, yaitu Bandara Jenderal Besar Soedirman di Purbalingga, Bandara Ngloram di Blora, dan Bandara Wiriadinata di Tasikmalaya. Ketiganya nyaris tak berfungsi meski telah dibangun untuk melayani masyarakat.

Baca juga: Bandara Kertajati Siap Beroperasi Penuh Mulai 29 Oktober 2023

"Itu (kajian menyeluruh) harus dilakukan. (Tapi) yang terjadi, itu tidak dilakukan. Sembarangan saja. 'Oh di sana ada tokoh pimpinan bangsa ini', dibangun infrastruktur. Atau ada swasta perlu, dibangun. Maka jadi lah tiga bandara itu, demikian juga di Sumenep. Akhirnya tidak ada yang naik, karena membuatnya itu ngasal," kata Agus.

Pemerintah, lanjut dia, semestinya juga mengikuti ketentuan yang berlaku. Dalam hal pembangunan bandara, misalnya, ada ketentuan jarak yang telah diatur oleh Menteri Perhubungan. Setelah ketentuan tersebut dipatuhi, harus ada perencanaan matang sebelum memutuskan melakukan pembangunan bandara.

Baca juga: Menhub: Bandara Baru Mentawai akan Beroperasi Tahun Ini

"Jadi selain mengikuti aturan yang ada, harus dilihat jarak bandara yang ada sekarang di Jawa itu berapa. Kalau mau menambah, mesti lihat di mana," tutur Agus.

"Populasinya (di sana) berapa, kalau ada bandara apa ada yang naik? Apakah perekonomian masyarakatnya tumbuh atau tidak? Analisa itu terkait teknis dari hidrologi, sipil dan lainnya. Ada yang penting juga terkait kajian lingkungan, antropologi sosial. Itu harus ada," lanjutnya.

Namun kenyataannya pemerintah abai pada aturan mengenai jarak pembangunan bandara. Bandara Jenderal Besar Soedirman, misalnya, hanya berjarak sekitar 60 kilometer dari Bandara Cilacap. Padahal, mengacu Peraturan Menteri Perhubungan 6/2013, jarak antar bandara di Pulau Jawa ditetapkan dalam radius 200 kilometer.

Dampak lain dari ketidakpatuhan itu merambat pada persoalan biaya-biaya operasional seperti perawatan hingga gaji pegawai. Karena sepi pengunjung, bandara tersebut minim memiliki penumpang.

Dus, hampir tak ada pemasukan untuk memenuhi kebutuhan operasional. Hal tersebut kemudian mendorong ide agar daerah-daerah sekitar bandara urunan untuk mendukung pembiayaan operasional. Agus menilai hal itu tak layak dan mestinya tidak dilakukan.

"Bandara Soedirman itu mengajak kabupaten-kabupaten untuk patungan. Itu kan menyalahi aturan. Masak uang APBD untuk bayar penumpang pesawat?" tuturnya.

Karenanya, agar hal serupa tak terjadi di kemudian hari, pemerintah diminta untuk melakukan perencanaan dengan baik. Kajian menyeluruh mutlak dilakukan agar sarana infrastruktur yang terbangun tak berakhir serupa dengan tiga bandara tersebut.

"Bikin infrastruktur itu harus jelas. Jangan hanya asal terbangun tapi tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat dan meningkatkan perekonomian. Yang ada sekarang ini belum bisa menjawab hal itu," pungkas Agus. (Mir/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat