visitaaponce.com

Utang Negara-Negara Berkembang kepada Tiongkok Rp20.079 Triliun

Utang Negara-Negara Berkembang kepada Tiongkok Rp20.079 Triliun
Grafik peringkat korupsi dan kebebasan pers untuk negara-negara yang telah menandatangani perjanjian MOU dengan Beijing terkait dengan "Inis(AFP/John Saeki.)

TIONGKOK telah meminjamkan US$1,3 triliun atau Rp20.079 triliun untuk proyek-proyek infrastruktur negara-negara berkembang di Asia hingga Amerika Latin. Utang itu digelontorkan Tiongkok dalam program Belt and Road Initiative (BRI) atau Insiatif Sabuk dan Jalan.

Dana itu untuk mendukung pembangunan sekitar 21 ribu proyek infrastruktur di seluruh dunia. Ini juga dianggap sebagai inti dari kebijakan luar negeri Presiden Xi Jinping.

Hal ini sering dibandingkan dengan Marshall Plan Amerika Serikat (AS) untuk Eropa setelah Perang Dunia II. BRI telah memberikan Rp20.079 triliun atau setara dengan 1,2 triliun euro dalam bentuk pinjaman selama sekitar satu dekade terakhir.

Baca juga: Harga Minyak Dunia Naik Jelang Pertemuan OPEC+

BRI telah membantu memulihkan rute perdagangan kuno antara Tiongkok dan seluruh dunia, sehingga dijuluki Jalur Sutra Baru. BRI juga meningkatkan pengaruh global Beijing yang membuat AS dan Jerman cemburu.

Para kritikus mengatakan bahwa BRI menjerat negara-negara berkembang dengan utang yang tidak dapat dikelola dan meninggalkan jejak karbon yang sangat besar. Beberapa negara, termasuk Filipina, telah menarik diri dari proyek-proyek tersebut.

Baca juga: IMF Serukan Italia, Prancis, Spanyol Atasi Utang dan Defisit

Beberapa pihak merujuk pada strategi Tiongkok yang menawarkan kontrak kepada perusahaan-perusahaan milik negara untuk membangun proyek-proyek infrastruktur. Itu sering kali mengarah pada biaya konstruksi yang tidak jelas sehingga negara-negara tersebut harus berjuang keras untuk menegosiasikannya kembali.

Meskipun Tiongkok telah berkomitmen untuk terus menginvestasikan miliaran dolar AS dalam proyek-proyek baru, hari perhitungan kini telah tiba. Tagihan dari 10 tahun terakhir atas banyak pinjaman tersebut kini telah jatuh tempo.

Baca juga: Laut Gaza Punya Cadangan Gas 1 Triliun Kaki Kubik

Laporan yang diterbitkan awal bulan ini oleh AidData memperkirakan bahwa 80% dari pinjaman yang diberikan oleh Tiongkok di negara-negara berkembang ialah kepada negara-negara yang mengalami kesulitan keuangan. Lembaga riset yang berbasis di AS ini memperkirakan bahwa total utang yang belum dilunasi, tidak termasuk bunga, setidaknya mencapai US$1,1 triliun atau Rp16.990 triliun.

Meskipun tidak memberikan jumlah pinjaman yang menjadi macet, laporan ini hanya menyatakan angka pembayaran yang tertunggak melonjak. Para penulis laporan ini juga mencatat bahwa 1.693 proyek BRI berisiko dan 94 proyek telah dibatalkan atau ditangguhkan.

AidData menghitung bahwa lebih dari separuh pinjaman BRI saat ini telah memasuki masa pembayaran kembali pokok pinjaman. Pada saat suku bunga dasar global telah meningkat tajam, beban pembayaran harus ditanggung oleh negara-negara pengutang menjadi lebih besar.

Para penulis laporan tersebut menemukan bahwa Tiongkokk, dalam beberapa kasus, telah menaikkan suku bunga dua kali lipat sebagai denda atas keterlambatan pembayaran dari 3% menjadi 8,7%. Ketika Tiongkok pertama kali mulai menawarkan pinjaman kepada negara-negara berkembang awal abad 21, kurang dari seperlima proyek-proyek yang dijaminkan, dibandingkan dengan hampir dua pertiga saat ini.

Laporan Bank Dunia awal tahun ini menemukan bahwa Beijing memberikan miliaran pinjaman dana talangan kepada negara-negara berkembang. Tiongkok sekarang mengadopsi strategi baru untuk mengurangi risiko dari gelombang pinjaman bermasalah. Itu dengan pinjaman penyelamatan yang membantu menopang keuangan pemerintah yang dipinjami dan sering kali bank-bank sentral mereka.

Tiongkok menghabiskan sekitar US$80 miliar atau Rp1.235 triliun per tahun untuk memberikan pinjaman kepada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara AS membelanjakan sekitar US$60 miliar atau Rp.926 triliun untuk pembiayaan pembangunan serupa setiap tahun.

Sebagian besar karena pembiayaan proyek-proyek sektor swasta oleh Korporasi Pembiayaan Pembangunan Internasional AS (DFC). Salah satu contoh pembiayaan AS ialah rencana pembangunan terminal peti kemas pengiriman air dalam di Pelabuhan Kolombo Sri Lanka, dengan biaya setengah miliar dolar, yang diumumkan awal bulan ini.

Negara kepulauan di Samudra Hindia ini sedang berjuang untuk pulih dari krisis keuangan dan ekonomi yang mengerikan dan komitmen pinjaman yang ada pada BRI Tiongkok telah menghambat upaya untuk menyelesaikan masalah keuangannya. Beijing meminjamkan uang tunai untuk membangun Pelabuhan Hambantota, di pantai tenggara Sri Lanka, bersama dengan bandara dan kota di atas tanah reklamasi. Namun, proyek-proyek ini tidak cukup menguntungkan untuk membayar kembali pinjaman tersebut.

Dua tahun lalu, negara-negara G7 meluncurkan inisiatif Build Back Better World atau B3W, upaya lain dari AS dan sekutunya untuk mengimbangi BRI. Bulan lalu, Uni Eropa mengadakan pertemuan puncak pertama untuk program Global Gateway-nya yang juga dipandang sebagai alternatif dari BRI dan diharapkan dapat membantu mempertahankan pengaruh Eropa, terutama di negara-negara berkembang.

Selama pembicaraan, kesepakatan senilai hampir US$76 miliar atau Rp1.174 triliun ditandatangani dengan pemerintah di seluruh Eropa, Asia, dan Afrika. Dukungan Uni Eropa, yang pada akhirnya dapat mencapai €300 miliar atau Rp5.074 triliun, akan membantu proyek-proyek yang berkaitan dengan mineral mentah yang penting, energi hijau, dan koridor transportasi.

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan bahwa Global Gateway akan memberikan pilihan yang lebih baik kepada negara-negara berkembang untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Meskipun ia tidak mengkritik BRI Tiongkok, ia mencatat bahwa pilihan-pilihan lain untuk pembiayaan sering kali harus dibayar dengan harga yang mahal.

Dalam laporannya, AidData juga memperingatkan AS dan sekutunya agar tidak mencoba bersaing dengan BRI Tiongkok. Karena Beijing beralih dari proyek-proyek konstruksi berskala besar ke penagihan utang. Namun, penulis laporan tersebut mengatakan bahwa kegagalan banyak proyek BRI memang menawarkan peluang untuk memikat negara-negara yang terkena dampak, seperti Sri Lanka, untuk kembali menjadi nasabah negara-negara Barat. (DW/Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat