visitaaponce.com

BRIN Tepis Rencana PLTN Komersial di 2032

BRIN Tepis Rencana PLTN Komersial di 2032
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko.(Antara)

KEPALA Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menepis rencana pengoperasian komersial pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di 2032. Menurutnya, dibutuhkan waktu sekitar 10 tahun sejak pembangunan hingga beroperasinya PLTN di Tanah Air.

"Untuk PLTN ditargetkan running (beroperasi) di 2032, sejujurnya itu cukup ambisius. Karena PLTN itu normalnya 10 tahun. Mulai dari pembangunannya hingga commissioning (uji coba)," kata Tri dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VII DPRI RI, Rabu (29/11).

BRIN, ungkapnya, telah bekerja sama dengan dua perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yakni ThorCon Power dan NuScale Power untuk membangun PLTN skala kecil atau small modular reactor (SMR) di Indonesia. Namun, karena terkendala finansial, proyek PLTN tersebut belum diketahui pasti kapan mulai dibangun.

Baca juga: Potensi PLTA di Indonesia Belum Berhasil Dioptimalkan

"Ini masih dalam proses yang cukup jauh karena masalah finansial dari pihak NuScale dan ThorCon," imbuhnya.

Selain dua perusahaan tersebut, BRIN juga telah melakukan kerja sama riset dengan Institute of Nuclear and New Energy Technology (INET) Tsinghua University asal Tiongkok terkait pengembangan reaktor nuklir.

Lebih lanjut, Kepala BRIN menjelaskan PLTN yang bisa dikembangkan di wilayah dengan industri dan populasi besar seperti Jawa ialah reaktor nuklir berskala besar. Sedangkan, untuk reaktor tipe SMR cocok untuk menyuplai listrik di daerah terpencil (remote area). Daerah-daerah yang kurang terjangkau elektrifikasi masih mengandalkan diesel sebagai pembangkit listrik.

Baca juga: Pemahaman Para Capres Mengenai Ketahanan Energi Listrik Dinilai Minim

"Jadi, ada dua opsi. Untuk industri yang besar dengan listrik yang memadai, itu seharusnya pakai PLTN skala besar. Kalau lokasi yang remote, kami menyarankan membawa teknologi SMR," jelas Tri.

Tri berharap masyarakat yang berada di daerah terpencil tidak menolak kehadiran PLTN tipe SMR. PLTN dianggap memiliki resiliensi yang lebih handal ketimbang menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).

"Realistisnya dengan kondisi saat ini SMR berada di remote area. Harapannya ada penerimaan yang lebih tinggi dari masyarakat. Ini berbeda kalau (PLTN) di Jawa karena listriknya memadai. Sementara, kalau diesel itu maintenance besar dan sering terjadi pemadaman," pungkasnya.

PLTN Komersial di 2032

Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi menjelaskan dalam draft Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), PLTN baru beroperasi secara komersial di 2032.

NuScale Power, ungkap Yudo, menyanggupi soal rencana pembangunan PLTN SMR di 2032.

"Kalau lihat draf RPP KEN itu malah waktunya ke 2032. Kita juga sudah berbicara dengan NuScale dan mereka bersedia kalau di 2032 bisa," kata Yudo beberapa waktu lalu.

Ia memastikan pembangunan PLTN pertama kali di Indonesia ialah berskala kecil yang diterapkan di pulau-pulau kecil. NuScale, klaim Yudo, memiliki pengalaman dalam pembangunan proyek PLTN SMR di sejumlah negara seperti di Amerika Serikat dan Romania.

"Untuk skenario awal kita tahu diri tidak ngegas membangun (PLTN) yang besar. NuScale sudah pengalaman membangun SMR, jadi lebih aman dan cocok di tempat terpencil di Indonesia," jelasnya.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat