visitaaponce.com

Pengamat Freeport Harus Bayar Denda

Pengamat: Freeport Harus Bayar Denda
Logo PT Freeport Indonesia(Dok Freeport)

PEMERINTAH didorong untuk tegas dan berani memungut denda dari PT Freeport Indonesia (PTFI). Apalagi denda tersebut merupakan kesepakatan yang sebelumnya dibuat oleh kedua pihak.

"Denda itu harus dibayar. Lalu segera selesaikan juga pembangunan smelter itu. Ini juga terkait dengan kepentingan negara dan bangsa, kenapa pemerintah harus bertekuk lutut terus dengan Freeport?" tutur pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi saat dihubungi, Jumat (8/12).

Pemerintah, kata Fahmy, sebetulnya memiliki posisi yang lebih unggul saat ini untuk menarik denda dari perusahaan pengeruk mineral itu. Pertama, pemerintah dapat menarik izin ekspor konsentrat yang dilakukan PT FI bila tak membayar denda dan menyelesaikan pembangunan smelter sesuai dengan kesepakatan.

Baca juga : Soal Denda Smelter, Freeport: Sudah Komunikasi dengan Pemerintah

Kedua, pemerintah juga dapat mengambil sikap untuk menahan, atau bahkan menunda pembicaraan perpanjangan kontrak PTFI mengeruk lebih lama sumber daya alam di Papua. Fahmy mendorong agar pengambil kebijakan berani memanfaatkan daya tawar itu.

"Jangan sampai justru pemerintah yang dikendalikan oleh Freeport. Sebab, kerap kali pemerintah seolah tak berdaya bila berhadapan dengan perusahaan yang 48,8% dimiliki oleh Freeport-Mc.Moran Inc itu," serga Fahmy.

Baca juga : Demi Freeport, Jokowi Revisi Aturan Pengajuan Perpanjangan Kontrak Pertambangan

Pada 2018-2019 lalu, misalnya, berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), PTFI diharuskan membayar denda kepada pemerintah karena kedapatan melakukan pencemaran lingkungan. Namun kata Fahmy, denda itu tak dibayarkan dan pemerintah hanya diam.

Itu serupa dengan temuan BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2023 yang menyebutkan adanya potensi keterlambatan pembangunan smelter Manyar di Gresik oleh PTFI. Dari potensi keterlambatan itu, pemerintah dapat menarik denda senilai US$501,94 juta, setara Rp7,79 triliun (kurs Rp15.334).

"Ini terulang lagi, PTFI abai membangun smelter yang disyaratkan . Padahal dalam divestasi tiga syarat, pertama kepemilikan saham 51% untuk Indonesia. Kedua, membangun smelter. Ketiga, meningkatkan royalti," kata Fahmy.

"Namun pembangunan smelter tidak dipenuhi dalam beberapa tahun, tidak pernah siap, selalu ada alasan. Itu akhirnya mendorong Freeport meminta tetap ekspor konsentrat. Permintaan sudah dipenuhi pada 2020, diundur sampai Juni 2024. Tapi minta lagi, dan pemerintah selalu memberikan permintaan itu," sambungnya.

Itu menurut Fahmy menunjukkan betapa lemahnya pemerintah Indonesia dihadapan Freeport-Mc.Moran, diduga karena pemerintah takut pada ancaman yang diberikan oleh Freeport seperti pemberhentian produksi, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.

Padahal ancaman itu kata Fahmy hanya gertak sambal semata. Pasalnya, Freeport-Mc.Moran merupakan perusahaan terbuka yang melantai di bursa Amerika Serikat. Bila ancaman itu benar dilakukan, otomatis harga jual saham akan terjun bebas dan jauh lebih merugikan. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat