visitaaponce.com

Konsistensi Regulasi Penting untuk Mengatasi Masalah Sawit

Konsistensi Regulasi Penting untuk Mengatasi Masalah Sawit
Ilustrasi(MI)

KETUA Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP Apkasindo), Gulat ME Manurung, menekankan pentingnya konsistensi regulasi dalam mengatasi berbagai persoalan di dalam industri kelapa sawit nasional, salah satunya adalah terkait harga.

Berdasarkan catatan Apkasindo, dari 2015-2023, rata-rata harga CPO Internasional Rotterdam dan PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) setiap tahunnya menunjukkan dinamika yang tidak konsisten.

"Inkonsistensi ini bermula dari Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia,” ujar Gulat melalui keterangan tertulis, Selasa (12/3).

Baca juga : Hilirisasi Kelapa Sawit, Mi Lentrek Kaya Beta Karoten

Menurutnya, catatan penting dari perjalanan harga CPO sejak 2015 hingga saat ini adalah kenaikan harga yang signifikan yaitu 42,04%. Sedangkan kenaikan harga TBS dari tahun 2015-2023 hanya 27,27%.

Di 2023, harga CPO Rotterdam justru turun sebesar 25,98% dan harga CPO KPBN turun sebesar 12,09% dibandingkan harga pada 2022. Akibat dari penurunan harga CPO selama periode 2023 ini harga TBS juga terdampak. Harga TBS turun 10,20%.

Menggeliatnya harga CPO di awal 2020 sampai dengan 2022 tidak terlepas dari kebijakan mandatori Biodisel B30. Imbasnya, harga CPO terdongkrak tajam selama 2020-2022. Strategi ini berhasil menjaga keseimbangan CPO domestik dengan global. Selain itu, hal ini berhubungan erat dengan kenaikan harga TBS Petani pada periode tersebut.

Baca juga : DPR: Perlu Dukungan Legislasi untuk Pertahankan Industri Kelapa Sawit

"Cenderung naiknya harga CPO sejak mandatori B30, telah berdampak ke ketersediaan minyak goreng domestik, terutama sejak awal 2023," katanya.

Kelangkaan minyak goreng ini telah mengakibatkan pemerintah terpaksa mengambil kebijakan pelarangan ekspor CPO tanggal 28 April 2022, yang langsung mengakibatkan ambruknya harga CPO domestik di saat bersamaan harga CPO dunia melonjak tajam akibat larangan ekspor tersebut.

Untuk mendongkrak harga CPO, dikatakan Gulat, pemerintah kembali meningkatkan serapan CPO domestik dengan menaikkan mandatori B30 menjadi mandatori B35 per awal Agustus 2023, namun upaya ini tidak banyak menolong mendokrak harga CPO domestik dan dampaknya sampai dengan akhir tahun 2023 masih berbekas.

Baca juga : Holding Perkebunan Nusantara Rencanakan Penggabungan 13 PTPN

"Walaupun rendahnya harga CPO domestik pascalarangan ekspor juga dipengaruhi faktor-faktor lain tentunya,” tuturnya.

Pihaknya berpandangan terdapat sejumlah strategi kondisi ekonomi, sosial sawit dan lingkungan selama 2015-2023 tadi tak lagi terjadi. “Perlu dilakukan langkah-langkah afirmasi di tahun 2024 ini dengan beberapa poin strategis yang harus dilakukan oleh pemerintah dan stakeholders sawit lainnya.

"Dari sisi pemerintah, dibutuhkan konsistensi regulasi terkait hulu-hilir sawit, segera menerbitkan regulasi dukungan pendirian PKS petani sawit, percepatan pendirian Pabrik Mini Minyak Goreng (Pamigo) dan Pabrik Minyak Makan Merah (M3) yang dikelola koperasi menggunakan dana dari BPDPKS," sebut Gulat.

Selain itu, perlu dilakukan penuntasan klaim kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap perkebunan sawit rakyat dengan pendekatan histori kebun sawit yang berpatokan ke UU Pokok Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 dan UU Cipta Kerja, penuntasan revisi Permentan 01 tahun 2019 dengan mengadopsi usulan tiga organisasi petani sawit, yakni Apkasindo, Samade, dan Aspekpir. (RO/Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat