visitaaponce.com

Biaya Berobat Mahal, BPJS Diminta Perkuat Skrining Katastropik

Biaya Berobat Mahal, BPJS Diminta Perkuat Skrining Katastropik
Layanan BPJS Kesehatan(Antara)

SEJUMLAH penyakit katastropik seperti jantung, kanker, strok, dan gagal ginjal mendominasi pembiayaan kesehatan di Indonesia. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diminta memperluas skrining penyakit katastropik tersebut karena kasusnya semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Hal itu menjadi salah satu masukan yang mengemuka saat dilakukannya acara BPJS Kesehatan Mendengar, pada Rabu (10/3). Dalam acara itu, sejumlah fasilitas kesehatan, asosiasi kesehatan, dan organisasi profesi memberikan masukannya untuk kepemimpinan Ali Ghufron Mukti, Dirut BPJS Kesehatan yang baru dilantik 22 Februari 2021 lalu.

Dalam paparannya, Ketua Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assesment) Budi Wiwieko mendorong BPJS Kesehatan untuk dapat melakukan optimalisasi pengembangan dan pemanfaatan mahadata (big data) kesehatan guna mendukung pemilihan topik dan percepatan pelaksanaan studi.

"Saya berharap BPJS Kesehatan dapat mendukung pengembangan studi HTA untuk metode penapisan (screening) dan intervensi dini penyakit katastropik, mengalokasikan dana khusus BPJS Kesehatan untuk studi HTA, serta melakukan kolaborasi dalam mempublikasikan hasil studi kepada masyarakat," katanya.

Penyakit katastropik merupakan penyakit yang membutuhkan biaya tinggi dalam penggobatannya dan memiliki komplikasi yang dapat mengancam jiwa.

Lebih dari 20% pembiayaan kesehatan yang ditanggung JKN saat ini dihabiskan untuk penyakit-penyakit katastropik (berbiaya tinggi). Data 2018, total pembiayaan JKN untuk penyakit katastropik sebesar Rp20,4 triliun, paling besar untuk penyakit jantung Rp10,5 triliun dan kanker Rp3,4 triliun

Upaya preventif juga ditekankan oleh Ketua Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) Pusat Adang Bachtiar, khususnya dalam menjaga sustainabilitas kinerja jaminan kesehatan nasional kartu Indonesia sehat (JKN-KIS) di era pandemi Covid-19.

Ia memandang penting edukasi dan sosialisasi kesehatan keluarga lewat penguatan peran Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), membangun sistem informasi kesehatan satu data dengan P-Care sebagai basis data tata kelola pengetahuan, serta menciptakan program-program BPJS Kesehatan yang mampu memprediksi perilaku dan kebutuhan kesehatan.

Sementara, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Kuntjoro Adi Purjanto meminta BPJS Kesehatan untuk menyempurnakan aplikasi dan teknologi informasi dalam mempercepat proses bisnis rumah sakit.

“Misalnya, melakukan percepatan proses klaim lewat implementasi verifikasi elektronik. Harapan kami, ke depannya semua rumah sakit dapat menjadi mitra BPJS Kesehatan, serta rujukan tidak lagi dibatasi jarak namun berbasis kompetensi dan kapasitas pelayanan. Kami juga berharap BPJS Kesehatan bersama pihak-pihak terkait bisa segera melakukan aktivasi tim pencegahan kecurangan,” ujarnya.

Tarif baru
Dalam kesempatan itu, penyesuaian tarif kapitasi dan tarif INA CBG’s menjadi sorotan terbanyak. Ketua Asosiasi Klinik Indonesia (ASKLIN) Eddi Junaidi meminta BPJS untuk mengkaji tarif kapitasi yang baru, setelah enam tahun tidak mengalami perubahan. Sementara, biaya obat, alat kesehatan, barang medis habis pakai, dan sebagainya mengalami kenaikan yang luar biasa, terlebih di saat pandemi Covid-19.

“Harapan kami, tarif kapitasi bisa ditinjau sesuai dengan nilai keekonomian saat ini. Masukan lainnya, harapan kami setiap BPJS Kesehatan melakukan kredensialing, sebaiknya libatkan asosiasi fasilitas kesehatan karena mereka juga akan melakukan pembinaan terhadap fasilitas kesehatan. Kemudian, kami harap ada toleransi penilaian Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan (KBK),” ujar Eddi.

Hal senada diungkapkan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Klinis (DPK), Agus Purwadianto. Menurutnya, problematika JKN-KIS masih berpusat di tarif pembayaran, apalagi terdapat perbedaan tarif INA CBG’s antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya.

Ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA) Jawa Timur, Atok Irawan juga menilai, besaran tarif INA CBG’s harus disesuaikan untuk mendukung cashflow rumah sakit yang sehat.

“Kami juga berharap BPJS Kesehatan bersama pemangku kepentingan terkait bisa mengkaji kenaikan tarif kapitasi dokter gigi di FKTP dengan memperhatikan kenaikan inflasi dan biaya Alat Pelindung Diri (APD) semasa pandemi Covid-19,” timpal Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Ugan Gandar.

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto mengatakan bahwa kehadiran Program JKN-KIS hendaknya dipandang sebagai investasi jangka panjang yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dibutuhkan kebersamaan dan kekompakan seluruh stakeholders JKN-KIS untuk menjaga mutu layanan, termasuk dalam menerapkan kebijakan.

“Saran kami, komunikasi BPJS Kesehatan dengan IDI dan stakeholders lainnya harus ditingkatkan. Misalnya, jika akan membuat regulasi, sebaiknya kita bahas bersama terlebih dulu. Jika ada masalah, kita selesaikan dengan mediasi dan audit medis terlebih dulu sebelum menerbitkan regulasi di bidang pelayanan,” katanya.

Sertifikasi tenaga kesehatan
Masukan yang tak kalah penting juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes) M Subuh. Ia menyoroti pentingnya sertifikasi tenaga kesehatan di faskes.

“BPJS Kesehatan bisa meningkatkan kapasitas FKTP melalui rujukan horizontal, melakukan penjaminan mutu atau sertifikasi kompetensi tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, melakukan penyempurnaan kredensialing bersama Dinas Kesehatan dan Puskesmas, melakukan integrasi pembiayaan kesehatan, serta mengaktifkan upaya pencegahan kecurangan dengan mengalokasikan dana khusus bagi tim pencegahan kecurangan di daerah dan ada kerangka target kerja yang jelas,” katanya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti menyampaikan apresiasinya atas masukan-masukan tersebut. Ia mengaku segera menindaklanjutinya dan memasukkannya dalam rencana strategis BPJS untuk lima tahun ke depan.

"Kita akan memetakan dan memprioritaskan sesuai dengan kapabilitas, kompetensi, dan sumber daya yang ada. Kami akan mengkoordinasikannya juga dengan kementerian lembaga lain,” ucap

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Tubagus Achmad Choesni mengapresiasi kegiatan BPJS Kesehatan Mendengar yang mengawali kerja direksi BPJS Kesehatan baru.

“Tidak mudah mengelola JKN-KIS dengan kompleksitas yang beragam. Segala masukan ini nantinya akan dipertimbangkan untuk menjadi aturan yang sistematik. Dewas direksi BPJS Kesehatan harus selalu berpegang pada Undang-Undang SJSN dalam bertugas, harus bersatu padu bekerja keras dan cerdas, dengan menerapkan tata kelola organisasi yang baik,” pesannya. (H-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat