Biaya Akreditasi Rp50 Juta Tiap Prodi, PTS Anggap Kemahalan
BIAYA akreditasi perguruan tinggi (PT) yang mahal masih menjadi tantangan bagi perguruan tinggi swasta (PTS) di tanah air. Harus membayar hingga Rp50 juta per program studi (prodi) merupakan beban tersendiri bagi PTS menengah kecil di tengah sulitnya kondisi ekonomi Indonesia.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko mengatakan bahwa pihaknya sudah sering menyampaikan hal ini pada pemerintah dan DPR RI melalui Komisi X. APTISI keberatan dengan pembayaran biaya akreditasi yang mahal dan bahkan seluruh PTS sempat berdemonstrasi.
"Memang kesulitan ekonomi selama 7 tahun terakhir ini berdampak pada eksistensi PTS. Ditambah dengan pandemi covid-19 berdampak pada pembayaran uang kuliah yang macet hingga 50% pada PTS menengah kecil, serta dampaknya adalah DO karena orang tua terkena PHK, dan menganggur," ujarnya kepada Media Indonesia, Senin (20/2).
"Kesulitan bertubi-tubi ini, tidak ada rasa empati yang tinggi terhadap kondisi PTS, khususnya PTA kecil dan program studi yang mahasiswanya sedikit," keluh Budi.
Dijelaskannya, kondisi sulit yang dialami PTS seakan tidak mendapat respons dari pemerintah. Masalah yang terus disuarakan PTS itu dibiarkan berlarut-larut tanpa ada solusi yang tepat.
Menurut Budi, pemerintah memang memberi bantuan. Akan tetapi hal itu masih jauh dari harapan dan persyaratannya cukup rumit. Padahal di Indonesia ada ribuan PTS dengan skala menengah kecil yang sudah turut membantu mencerdaskan bangsa.
Persoalan yang dihadapi PTS bukan sekadar biaya akreditasi yang mahal saja. Pelaksanaaan akreditasi oleh LAM PT juga tidak melalui sosialisasi. "Seperti BAN PT saat pergantian borang akreditasi mereka memberikan kesempatan sampai 2 tahun lebih untuk sosialiasi sampai PT atau prodi memahami. LAM ini tidak melakukan proses sosialisasi. Seolah-olah pemerintah ingin cepat memindahkan beban pembiayaan akreditasi dari BAN PT ke LAM PT, karena sebelumnya seluruh biaya akreditasi dibiaya oleh pemerintah," ungkapnya.
Baca juga: 90% Kanker Bisa Dikendalikan Jika Terdeteksi Dini
Lebih lanjut, Budi menerangkan bahwa pembiayaan yang mahal dalam akreditasi adalah transportasi dan akomodasi Asesor. Dan hal ini sebenarnya bisa dimanipulasi dari visitasi daring. Namun adahal yang perlu dicermati bahwa.pemerintah menggelontorkan dana sangat tinggi kepada PTN untuk bisa masuk WCU : AUR, Webometrics, 4ICU, QS University Ranking
Times Higher Education (THE), World University Ranking, dan Peringkat Perguruan Tinggi versi Dikti.
Padahal lembaga pemeringkatan itu tidak ada satu pun yang mendatangi kampus sedunia. Justru mereka menilai dari big data yang tentu saja lebih murah dan praktis.
"Jika saja LAM PT memulai dengan konsep big data, tidak perlu kita membayar akreditasi, karena mereka akan menilai perguruan tinggi hanya dari big data," kata dia.
Oleh karena itu APTISI mendorong pemerintah agar LAM PT diarahkan pada konsep penilaian seperti lembaga-lembaga pemeringkat tersebut. Sehingga PT direpotkan seperti sekarang alias hanya berkutat di administrasi saja.
Kedepan dibutuhkan pengelola LAM PT yamg cerdas dan kreatif dan bukan hanya orientasi pada bisnis. LAM PT harus memahami kondisi dan permasalah PT khusunya PTS yang 70% lebih kondisinya memprihatinkan.
"Terlihat pemerintah lepas tangan atas masalah ini, dan juga banyak PTS mulai menikamati akan kesulitan ini, dan memang akhirnya PTS kecil harus tutup karena pembiayaan semakin meningkat di sisi lain pemerintah sekarang terlalu banyak utang dan harus menghemat. Jadi yah pasrah saja kita terima apa adanya, mari kita menikmati hidangan lezat yang memang dimaui oeh semua pihak. Buktinya tidak ada yamg protes, walaupun misalnya LAM Kesehatan selama ini belum pernah melaporkan keuangnya ke publik," tutur Budi.
APTISI terus mendorong konsep big data untuk akreditasi mengingat biayanya sangat murah, bahkan tidak perlu mengelurakn biaya. "Satu hal yang menarik adalah satu-satunya di dunia akreditasi perguruan tinggi yang dipaksa ya Indonesia, dengan 2 pakasaan akreditasi institusi dan prodi. Di belahan dunia lain akreditasi itu sukarela. Biasanya dengan dipaksa maka tidak ada kesadaran, tetapi jika sukarela mereka akan didorong untuk tangung jawab akan kualitas," tutupnya.(OL-4)
Terkini Lainnya
Akreditasi Internasional FIBAA, Komitmen UNJ Tingkatkan Mutu Pendidikan
Akreditasi Unggul Permudah Lulusan Terserap Pasar Kerja
Program Studi Akuntansi Universitas Bunda Mulia Raih Akreditasi Unggul
Gelar Wisuda ke-79, Rektor UMJ: Nilai Tawar Kampus Lebih Tinggi
LL Dikti III DKI Jakarta Ultimatum 110 PTS, Ancam Sanksi Jika Tidak Akreditasi Hingga Agustus 2024
Potensi Wisata Medis Dalam Negeri Besar, Rumah Sakit Didorong Raih Akreditasi Internasional
Universitas Mercu Buana Lahirkan Dua Guru Besar
CORE UPJ 2024 Sukses Diskusikan Perkembangan Teknologi dan Komunikasi
Banyak Anak Indonesia Diterima di Universitas Kelas Dunia, Tanda Kualitas Pendidikan Nasional Terus Membaik
UI Jadi Tuan Rumah Konferensi Internasional The Digital Universitas Asia 2024
Empat Siswa asal Banyumas Tembus Perguruan Tinggi Top Luar Negeri
Pelantikan Ketua IKAWIGA, Alumni Miliki Peran Strategis bagi Perguruan Tinggi
Pemilu Iran: Pertarungan Dua Kubu Politik yang Sangat Berjarak
Spirit Dedikatif Petugas Haji
Arti Penting Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap