visitaaponce.com

Kebijakan Pemerintah Kendalikan Konsumsi Rokok Tidak Jelas

Kebijakan Pemerintah Kendalikan Konsumsi Rokok Tidak Jelas
YLKI menilai kebijakan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok tidak jelas dan semakin tidak akan terwujud.(Freepik)

KETUA Pengurus Harian Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan masih ada beberapa masalah krusial yang belum ditangani pemerintah terkait konsumsi rokok. 

"Arah kebijakan pemerintah belum jelas, untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan rumah tangga miskin dan anak anak remaja. Hal ini terbukti secara politis justru terjadi turbulensi dalam pengendalian tembakau oleh pemerintah, dalam 3-4 tahun terakhir ini," ungkapnya kepada Media Indonesia dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Jumat (2/6).

Menurut Tulus, janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan mengamandemen Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan gagal total.

Baca juga: Waspada! Menghirup Asap Rokok Memicu Kanker Paru-Paru

"Padahal upaya untuk amandemen sudah dituangkan dalam sebuah Perpres dan juga Keppres 25/2022. Hingga kini upaya mengamandemen PP mangkrak, sekalipun Menkes telah berganti, dari Menkes Terawan ke Menkes Budi Gunadi Sadikin. Apalagi memasuki tahun politik, maka upaya untuk mengamandemen PP 109/2012 akan makin muskil, bak sebuah mimpi di siang bolong," kata Tulus.

Dia menegaskan, amandemen PP 109/2012 menjadi kebutuhan mendesak, mengingat konsumsi tembakau atau rokok makin eskalatif di Indonesia. Jumlah perokok dewasa mencapai 35% dari total populasi, dan prevalensi merokok pada anak anak mencapai 9,1%. Angka ini akan terus bertambah, jika pemerintah terus melakukan pembiaran dalam pengendalian konsumsi rokok.

Baca juga: Begini Perbandingan Rokok Elektrik dan Rokok Tembakau

Tulus juga merasa ada upaya penghilangan pasal tembakau sebagai zat adiktif pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.

"Sejarah seperti berulang, manakala pada 2009/2010 ada upaya konkret untuk menghapus Pasal 113 di UU 36/2009 tentang Kesehatan. Pasal 113 ini mengatur tembakau sebagai zat adiktif. Namun upaya itu gagal," kata Tulus.

"Jika RUU Kesesehatan mengamputasi pasal zat adiktif untuk tembakau, maka akan terjadi kekosongan hukum di level UU yang berdimensi pengendalian tembakau. Hal ini merupakan lonceng kematian bagi pengendalian tembakau di Indonesia," sambungnya.

Tulus mendorong keberpihakan pemerintah dalam pengendalian tembakau. Dia meminta pemerintah untuk tidak merenggut masa depan remaja dan anak-anak dan digadaikan untuk kepentingan industri rokok serta kepentingan jangka pendek lainnya dalam hal ini pemilu.

Dia menegaskan, keuntungan yang diperoleh dari industri rokok tak seberapa ketimbang nilai investasi bagi kepentingan dan masa depan generasi muda, yang diimpikan sebagai generasi emas.

"Mengingat konsumsi rokok yang makin masif, berkelindan dengan masalah ekonomi, sosial dan berbagai penyakit tidak menular lainnya. Bukan generasi emas yang akan dicapai, tapi justru generasi cemas, karena digelayuti berbagai penyakit degeneratif yang sangat serius," tegas Tulus.

Selain itu, menurutnya persoalan stunting juga tak bisa dipisahkan dari pola konsumsi rokok pada rumah tangga miskin. Dia menekankan bahwa prevalensi stunting yang masih bertengger pada 24,5% tak akan menurun jika pola konsumsi rumah tangga miskin masih disandera oleh dominannya konsumsi rokok.

"Mereka butuh makanan pokok, bukan rokok! Demikian, Pak Presiden Jokowi," tandasnya. (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat