visitaaponce.com

Transisi Energi RI Dinilai masih sekadar Kedepankan Aspek Ekonomi

Transisi Energi RI Dinilai masih sekadar Kedepankan Aspek Ekonomi
Aktivitas bongkar muat batu bara kebutuhan smelter nikel di Laut Lasolo, Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (27/2/2023).(Antara/Jojon )

TRANSISI energi yang dilakukan Indonesia dinilai masih sebatas mengedepankan aspek ekonomi, tanpa memerhatikan aspek lingkungan. Hal itu diungkapkan oleh peneliti Dala Institute Hamidah Busyrah.

Ia menyatakan, dalam penelitian bertajuk Nexus Assessment of Indonesia's Energy Sector yang dilakukan Dala Institute, ada tiga aspek yang dinilai untuk melihat kebijakan negara di sektor ketenagalistrikan. Tiga aspek itu ialah transformasi ekonomi, kelestarian lingkungan dan inklusivitas sosial.

"Dari ketiga aspek tersebut, temuan kami menunjukkan bahwa aspek ekonomi saat ini masih mendominasi semua tahap penyusunan rancangan kebijakan transisi energi, terutama didorong oleh fokus pemenuhan kebutuhan listrik nasional dan target PDB demi masuk kategori negara maju pada 2045," kata Hamidah, Senin (17/7).

Baca juga: Komitmen Dunia Atasi Krisis Iklim belum Terlihat Nyata

Padahal, ia menilai sektor ketenagalistrikan Indonesia diharapkan dapat mendukung transformasi ekonomi, inklusi sosial, dan pelestarian lingkungan dalam memenuhi komitmen negara untuk merealisasikan target NDC (nationally determined contribution) yang diumumkan pemerintah pada 2022, khususnya target pengurangan emisi sebesar 32% dalam skenario normal pada 2030 dan pengurangan 43% melalui bantuan internasional.

Menurut data BKPM tahun 2021, pertumbuhan populasi dan perkembangan ekonomi Indonesia telah menyebabkan permintaan listrik yang meningkat pesat di sektor industri dan rumah tangga, meskipun sempat melambat selama pandemi covid-19.

Baca juga: KLHK Sebut Luas Karhutla Tahun Ini Menurun 14,49% Dibanding 2022

Dari 2015 hingga 2030, permintaan energi di Indonesia diproyeksikan akan meningkat sebesar 80%, sedangkan permintaan listrik diperkirakan akan bertumbuh tiga kali lipat.

Data lain dari IRENA tahun 2017 menunjukkan bahwa kondisi ketenagalistrikan Indonesia terkini menawarkan peluang investasi hijau yang dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan PDB dan membuka lapangan pekerjaan.

Akselerasi penerapan energi terbarukan dapat meningkatkan PDB Indonesia antara 0,3% hingga 1,3% pada 2030 karena tingkat investasi yang lebih tinggi di sektor energi.

Meski demikian, studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa kendala teknis, ekonomi, dan politik yang muncul di tengah upaya negara untuk memprioritaskan sustainability, menunjukkan bahwa energi terbarukan saja tidak mungkin akan menggantikan kontribusi utama bahan bakar fosil terhadap bauran energi nasional di sektor ketenagalistrikan dalam waktu dekat.

"Indonesia sendiri memiliki surplus energi karena batu bara, yang menghambat peralihan menuju transisi energi," imbuh dia.

Pendiri dan Direktur Dala Institute Aidy Halimanjaya mengungkapkan, di tingkat kebijakan nasional, pemerintah perlu merancang rencana yang terperinci, praktis, dan kohesif untuk mengintegrasikan tujuan dan target Nexus ke dalam rangkaian pengembangan sistem energi yang sudah ada dan mencerminkannya dalam sebuah dokumen terpadu yang otoritatif dan secara eksplisit menggantikan regulasi sebelumnya yang bertentangan dan kontra produktif, mengingat adanya momentum pergantian pemimpin politik di tahun mendatang.

"Selain itu, juga diperlukan pembangunan kapasitas kelembagaan untuk mengidentifikasi masalah sistemik dan menerjemahkannya ke dalam pengembangan strategi yang dapat mengarah pada reformasi kebijakan energi dan memengaruhi mandat tata kelola," beber dia.

Sementara itu, di tingkat operator, operator tenaga listrik perlu lebih sering berkolaborasi dengan komunitas lokal dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam penerapan praktik energi berkelanjutan.

Operator juga perlu bekerja sama dengan organisasi di tingkat daerah, misalnya, Asosiasi Energi Surya Indonesia, untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan dan mempercepat penyambungan daya listrik di daerah, terutama di permukiman berpenghasilan rendah.

Untuk tingkat implementasi, lanjut dia, pelaksana di akar rumput perlu merumuskan kerangka kerja pemantauan dan evaluasi berdasarkan hasil-hasil berbasis target Nexus untuk memantau kemajuan dan dampak proyek energi terbarukan.

Kerangka kerja harus mencakup metrik pencapaian, namun tidak hanya fokus pada pengukuran numerik tanpa evaluasi mendalam. Personel yang terlibat juga perlu menggali praktik-praktik baik di tingkat proyek guna mengadopsi standar pengamanan dari investor atau pemberi pinjaman, khususnya perihal manajemen risiko dan rencana pemantauan dampak.

“Sudah saatnya sektor ketenagalistrikan Indonesia menjadi motor penggerak yang memicu lebih banyak dukungan dari semua pihak untuk mewujudkan transformasi ekonomi yang menggenggam erat prinsip lingkungan berkelanjutan dan inklusi sosial,” tutup Aidy. (Ata/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat