visitaaponce.com

Fenomena Perundungan di Indonesia, Penyelesaian Butuh Kolaborasi Banyak Pihak

Fenomena Perundungan di Indonesia, Penyelesaian Butuh Kolaborasi Banyak Pihak
Puluhan orang yang tergabung dalam Koalisi Peduli Anak Indonesia (KPAT) menggelar kampanye anti-bullying.(MI/Adi Kristiadi)

DUNIA pendidikan belakangan ini diterpa isu-isu tidak sedap berkaitan dengan maraknya kasus bullying atau perundungan yang terjadi di beberapa daerah dan sekolah di Indonesia. Seperti yang terjadi di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, seorang siswa SMPN 2 Cimanggu berinisial FF yang berumur 14 tahun menjadi korban perundungan dan penganiayaan oleh dua pelaku berinisial WS, 14, dan MK, 15. Akibatnya, FF harus mengalami cedera parah dan dilarikan ke rumah sakit. Kedua pelaku pun akhirnya harus berurusan dengan hukum untuk  mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Banyaknya kasus perundungan di Indonesia menarik perhatian banyak kalangan. Ketua Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani, menilai situasi ini menempatkan Indonesia pada situasi darurat perundungan. Oleh karena itu, DPR RI mendorong peran aktif pemerintah untuk mencari solusi berkaitan dengan kasus-kasus perundungan yang terjadi di sekolah-sekolah dan mencemari nama baik pendidikan di Indonesia.

Perundungan bukanlah fenomena baru dan memang sudah banyak terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia dan dapat dialami siapa pun. Fenomena perundungan bukanlah suatu hal yang dapat dianggap remeh, sebab perundungan dapat berdampak besar terhadap kesehatan mental para korbannya. Bahkan, tidak sedikit yang akhirnya mengalami masalah kesehatan fisik serius serta kondisi traumatis yang parah. Dampak lebih jauh dari perundungan dapat berakibat fatal, korban dapat mengalami depresi berat hingga bahkan kematian.

Mengenal apa itu perundungan

Perundungan dapat didefinisikan sebagai sebuah tindakan agresif yang dilakukan seseorang secara sengaja dan berulang kali dengan maksud dan tujuan menyakiti maupun membuat orang lain yang menjadi sasarannya merasa tidak nyaman. Menurut Unicef, perundungan disebut sebagai pola perilaku, bukan insiden yang terjadi sekali-kali. Pelaku perundungan cenderung berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti anak-anak yang memiliki badan lebih besar, lebih kuat, serta dianggap populer sehingga dapat menyalahgunakan posisinya.

Baca juga: Polisi Pastikan Kasus Siswa Jatuh Dari Lantai 4 Sekolahnya Murni Kecelakaan

Unicef menjelaskan bahwa para pelaku perundungan sering kali menyasar anak-anak yang berasal dari masyarakat yang terpinggirkan, dari kalangan keluarga berpenghasilan rendah, memiliki ukuran tubuh atau penampilan yang berbeda dari anak pada umumnya, penyandang disabilitas atau anak-anak migran dan pengungsi. Mereka yang termasuk dalam klasifikasi-klasifikasi tersebut dinilai sebagai kelompok yang paling rentan menghadapi risiko lebih tinggi untuk menjadi korban perundungan.

Perundungan dapat terjadi dalam banyak bentuk, seperti perundungan fisik, verbal, sosial, rasial, agama, seksual, disabilitas, hingga terjadi dalam bentuk daring seperti melalui media elektronik maupun siber atau bisa disebut dengan cyber bullying.

Baca juga: Jadi Korban Intimidasi sejak Kecil, YouTuber Asal Korsel Ini Meninggal Dunia

Alasan seseorang melakukan perundungan terhadap orang lain pun beragam. Utamanya mereka ini mencoba mendominasi para korban dan meningkatkan status sosial mereka. Para pelaku yang melakukan perundungan biasanya memiliki harga diri yang rendah dan merasa bahwa diri sendiri lebih baik. Mereka juga tidak memiliki rasa empati dan penyesalan sama sekali ketika melakukan perundungan terhadap orang lain. 

Kasus perundungan di Indonesia

 

Pendapat Ketua DPR RI Puan Maharani yang menyebut Indonesia ada dalam situasi darurat perundungan bukanlah tanpa alasan. Sebab, angka kasus perundungan mengalami peningkatan. Menurut data yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kasus perundungan di Indonesia selama 2022 mencapai 226 kasus. Angka ini meningkat apabila dibandingkan dengan 2020, yaitu 119 kasus dan 2021 yang hanya mencapai 53 kasus. Berdasarkan kasus-kasus tersebut, kasus perundungan fisik menjadi jenis kasus yang paling banyak dialami pelajar di Indonesia dengan persentase mencapai 55,5%.

 

Persentase korban perundungan di Indonesia pun beragam, dari jenjang SD, SMP, SMA, Mts, hingga pondok pesntren. Berdasarkan data yang dirilis oleh FSGI, pada 2023, kasus perundungan di Indonesia pada periode Januari-Juli 2023 mencapai 16 kasus. Total korban perundungan selama periode tersebut mencapai 43 orang. Kemudian untuk periode Januari-September 2023, rilis data FSGI mencatat adanya kenaikan kasus perundungan signifikan hingga mencapai 23 kasus. Berdasarkan data terakhir yang dirilis tersebut, jenjang pendidikan dengan kasus perundungan terbanyak ada di tingkat sekolah menengah pertama (SMP) yang mencapai angka 50%, bahkan 2 orang tercatat meninggal dunia, akibat kasus perundungan selama periode Januari-September 2023.

 

Tingginya kasus perundungan di Indonesia pun mendapat perhatian dari Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin. Wapres RI mengatakan bahwa banyaknya kasus dipicu oleh masih kurangnya perhatian dan pengawasan. Dirinya pun menegaskan bahwa pemerintah saat ini berusaha untuk mencari akar penyebabnya dan akan menggiatkan program revolusi mental serta menambahkan bahwa pemerintah berupaya menyusun program penanganan secara terpadu dengan melibatkan seluruh lembaga terkait.

Langkah Kemendikbud-Ristek, dorong impelementasi program Roots

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan-Riset dan Teknologi Nadiem Makarim tidak menepis isu terkait maraknya kasus perundungan di Indonesia. Menurut hasil Asesmen Nasional (AN) 2021, sebanyak 25% peserta didik di Indonesia mengalami berbagai bentuk perundungan, dan sebanyak 24,4% peserta didik lainnya juga berpotensi menjadi korban perundungan. Kondisi ini menempatkan Indonesia memiliki urgensi besar untuk mengatasi perundungan di lingkungan pendidikan.

Mendikbud-Ristek menegaskan bahwa pihaknya akan mendorong implementasi dari Program Roots untuk mengatasi kasus perundungan di lingkungan pendidikan. Program Roorts ialah program pencegahan perundungan berbasis sekolah yang telah dikembangkan sejak 2017 oleh pemerintah Indonesia, akademisi, serta praktisi pendidikan dan perlindungan anak dengan menjalin kerja sama dengan Unicef Indonesia.

Program Roots memiliki fokus pada terhadap upaya mengatasi perundungan di sekolah dengan melibatkan teman sebaya. Beberapa siswa yang memiliki pengaruh terhadap teman-teman di sekolahnya melalui program ini akan dibentuk menjadi agen perubahan yang dapat memberikan dampak positif terhadap tindak perundungan. Kemendikbud-Ristek akan mendorong berbagai sekolah di Indonesia untuk menerapkan program Roots Indonesia, dan memperluas gerakan dan manfaat dari program tersebut.

Sejak 2021, program Roots disebut sudah melakukan pendampingan terhadap 7.369 sekolah di tingkat SMP, SMA, dan SMK dari 489 kabupaten/kota di seluruh 34 provinsi di Indonesia. Program ini juga sudah melatih sebanyak 13.754 fasilitator guru antiperundungan di jenjang SMP, SMA, dan SMK, sekaligus berkontribusi terhadap pembentukan 43.442 siswa agen perubahan antiperundungan dengan peran untuk menyebarkan pesan dan perilaku baik di lingkungan sekolah.

Langkah tepat dan solusi nyata dibutuhkan agar kasus perundungan di Indonesia tidak terus meningkat. Perlu diingat bahwa perundungan dalam bentuk apa pun bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan sedikit pun, sebab dampak dari perundungan dapat berbahaya tidak hanya bagi fisik, tetapi juga psikis korban.

Perlu peran, kolaborasi, serta kesadaran banyak pihak di lingkup pemerintah, orangtua, dan guru untuk dapat memberikan pengawasan dan contoh yang baik ke anak-anak didik sehingga mereka dapat memperlakukan orang lain dengan baik dan penuh hormat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat