visitaaponce.com

Program Susu dan Makan Jadi Andalan, Benarkah Bantu Cegah Stunting

Program Susu dan Makan Jadi Andalan, Benarkah Bantu Cegah Stunting?
Program susu dan makan siang untuk stunting dinilai tidak tepat(MI/Usman Iskandar)

PROGRAM pengentasan stunting yang ditawarkan calon presiden (capres) Prabowo Subianto dinilai tidak tepat. Karena pada dasarnya upaya pencegahan stunting harus dimulai pada 1000 hari pertama kehidupan anak sejak dalam kandungan hingga berusia 2 tahun.

Hal ini membuktikan bahwa pemahaman definisi stunting yang salah, penanganannya pun salah.

Stunting atau tengkes adalah kondisi terjadinya gangguan gizi kronik yang berlangsung dalam rentang 1000 hari pertama kehidupan anak sejak dalam kandungan hingga berusia 2 tahun, yang ditandai dengan tinggi badan menurut umur berada di bawah rata-rata. Akibatnya kecerdasan di kemudian hari tidak optimal dan risiko penyakit kronik seperti hipertensi, diabetes, sindrom metabolik, kanker serta obesitas.

Baca juga: Atasi Stunting, Pemkab Gunungkidul Lakukan Intervensi

Ahli Gizi Masyarakat Tan Shot Yen menekankan bahwa definisi stunting harus dibenahi terlebih dahulu dengan begitu penanganan dan pencegahanya pun tepat sasaran.

"Definisi stunting itu mesti dibenahi dulu. Stunting bisa dicegah melalui pendekatan spesifik melalui perbaikan gizi ibu dan anak dan pendekatan sensitif dengan semua kontribusi yang menyebabkan tumbuh kembang anak tidak optimal seperti pola asuh, kebersihan, literasi orang tua, sarana air minum dan sanitasi, imunisasi, dan sebagainya," kata Tan Shot Yen saat dihubungi, Rabu (3/1).

Baca juga: Peduli Stunting di Flotim, Bank NTT Sumbang Rp50 Juta

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik telah menegaskan perubahan paradigma 4 sehat 5 sempurna yang tidak relevan lagi menjadi gizi seimbang.

"Dengan demikian, jelas bahwa susu bukan faktor penyempurna gizi apalagi menjadi kebutuhan primer di masa pertumbuhan," tegas dia.

Satu-satunya asupan gizi terbaik dan terlengkap di usia 0-6 bulan adalah Air Susu Ibu (ASI). Menyusu

eksklusif menjadi pedoman nasional dan direkomendasikan WHO sebagai hak anak di 6 bulan pertama kehidupannya berlanjut hingga 2 tahun atau lebih, dengan Makanan Pendamping ASI yang memadai secara kualitas dan kuantitas sejak usia 6 bulan.

Tan Shot Yen menjelaskan jika anak sudah mengalami stunting maka bukan lagi ranah orang awam melainkan harus konsultasi dan pengawasan oleh dokter serta ahli gizi.

"Jika sudah terlanjur stunting, maka harus di tangan dokter. Benahi semua kontributornya, bukan sereceh dijejali susu karena bisa berdampak pada anaknya bisa diare dan sebagainya," ujar dia.

Diketahui bahwa intoleransi laktosa adalah ketidakmampuan mencerna laktosa dalam susu atau makanan dari produk susu, dengan gejala berupa nyeri pada perut, kembung dan diare. Sementara di Indonesia prevalensi gangguan pencernaan akibat intoleransi laktosa di Indonesia cukup tinggi dan meningkat sesuai pertambahan usia, yaitu sebesar 21,3% pada usia 3-5 tahun, 57,8% pada usia 6-11 tahun dan 73% pada usia 12- 14 tahun.

Gangguan lain yang bisa timbul pada anak setelah mengonsumsi susu adalah alergi susu sapi.

World Health Organization (WHO) tidak merekomendasikan penggunaan susu formula, termasuk UHT untuk anak usia di atas dua tahun. Sejak tahun 2013, WHO telah menegaskan bahwa pemberian susu formula lanjutan tidak perlu karena kandungan gizinya tidak sesuai dengan kebutuhan anak.

Agar anak tumbuh sehat WHO menekankan pentingnya penegakan menyusui secara optimal, bukan pemberian susu formula. Yaitu dimulai dengan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), menyusui secara eksklusif selama enam bulan pertama, lalu melanjutkan pemberian ASI hingga anak berusia dua tahun atau lebih sembari memberikan makanan pendamping ASI yang bergizi alami sejak anak usia 6 bulan. (Z-10)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat