visitaaponce.com

Biaya UKT Mahal Jadi Penyebab Utama APK Perguruan Tinggi Rendah

Biaya UKT Mahal Jadi Penyebab Utama APK Perguruan Tinggi Rendah
JALUR MANDIRI: Peserta Seleksi Mandiri Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMMPTN) Barat tahun 2023 berhasil lulus di Universitas Syiah Kuala.(MI/ Amir MR)

   INDONESIA saat ini sedang menghadapi rendahnya Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi. APK pada 2023 adalah 31,45 dan pada 2024 yakni 39,37% di bawah rata-rata global yang 40%. Artinya, masih ada 68,55% siswa lulusan SLTA yang tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi. Bahkan, lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia (43%), Thailand (49,29%), dan Singapura (91,09%).

   Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan pengamat pendidikan, Cecep Darmawan mengatakan ada beberapa kendala rendahnya APK tersebut, salah satu yang utama yakni faktor ekonomi karena biaya kuliah yang tinggi dan tidak terjangkau masyarakat paqda umumnya.

   “Masih ada 69% anak-anak SLTA yang tidak melanjutkan kuliah. Hal ini terjadi setiap tahun, jika ada tiga kelas, hanya satu kelas yang melanjutkan kuliah semester, dua kelas lainnya tidak. Angka ini harus segera diintervensi oleh pemerintah untuk ditingkatkan lewat berbagai program,” jelas Cecep saat dihubungi Media Indonesia pada Minggu (25/2).

Baca juga : Tolak Pinjol Jadi Opsi Bayar UKT, Komisi X DPR Usul Perbaharui Struktur Anggaran Pendidikan

   Diketahui, APK PT digunakan untuk mengukur berapa banyak penduduk usia 17-24 tahun yang menempuh pendidikan tinggi. Negara dengan APK PT lebih tinggi punya peluang menjadi negara maju karena kualitas SDM-nya tinggi. Asumsi yang digunakan untuk menjadi negara maju, APK PT harus tinggi.

  “APK ini juga naiknya tidak terlalu signifikan dan sangat lambat sehingga harus ada loncatan agar kita tidak tertinggal dari bangsa lain. Bagaimanapun APK ini mempengaruhi kualitas SDM di masa depan khususnya pada 2045 kita juga menggabungkan generasi emas. Harusnya ini menjadi perhatian khusus dibuat grand desain target dan tujuan ke depan,” ujarnya.

   Faktanya ada 60% lebih siswa yang tidak bisa melanjutkan kuliah dengan berbagai alasan tetapi saya punya keyakinan bahwa paling besar karena soal biaya. Hal itu seharusnya menjadi perhatian khusus oleh Kemendikbud Ristek dan berbagai lembaga/kementerian di bidang pendidikan.

Baca juga : 803.853 Peserta Ikuti UTBK-SNBT 2023, Hari Pertama Lancar

   “Ada beberapa program yang harus ditinjau misalnya program beasiswa yang tampaknya belum masif karena perguruan tinggi hanya diberi kewajiban oleh UU untuk memberikan bantuan kepada 20% mahasiswa yang kurang mampu. Ke depannya, kuota dan penerima beasiswa ini harus dinaikkan untuk menaikkan angka APK,” jelasnya.

   Cecep juga menyoroti mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang menjadi faktor mahalnya berkuliah sehingga berdampak pada penurunan APK kuliah. Segala daya upaya harus dilakukan untuk meningkatkan APK PT, salah satunya dengan memberikan dukungan finansial bagi para mahasiswa.

   “UKT program studi di berbagai jurusan harusnya memiliki nilai nominal yang sama, tetapi justru pada kenyataannya ini sangat berbeda. Antara satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lainnya sangat senjang, seharusnya jika ada perbedaan nominal pun jangan terlalu mencolok,” jelasnya.

Baca juga : Polemik Pembatalan Rektor UNS Harus Dijelaskan ke Publik secara Gamblang

   Salah satu cara peningkatan APK PT bagi negara berkembang, seperti dilakukan Korea Selatan dan China, awalnya adalah melakukan investasi simultan di pendidikan tinggi dan industri dalam negeri. Persoalan biaya kuliah tinggi ini dikatakan bisa dilihat dari rekonstruksi pandangan pemerintah dalam memanfaatkan 20% dana pendidikan dalam APBN sesuai dengan amanat UUD.

   “Pendidikan adalah ranah publik dan negara yang harus mengutamakan. Seharusnya struktur pembiayaan pendidikan itu diperbaiki sehingga standar biaya pendidikan minimal 20% dari amanat UUD itu hanya hanya untuk operasional pendidikan dan inventaris, jangan termasuk di dalamnya untuk menggaji guru dan dosen serta nomenklatur lain-lainnya. Jaddi 20% itu hanya untuk operasional dan investasi pendidikan untuk sekolah maupun pendidikan tinggi,” jelasnya.

   Cecep juga mengungkapkan pentingnya bagi perguruan tinggi terus mengkaji nominal UKT bagi mahasiswa secara rutin minimal setahun sekali. Bagaimanapun, menurut Cecep, UKT jangan sampai memberatkan bagi mahasiswa.

Baca juga : Kampus Swasta Minta Jangan Ada Kesenjangan Pendanaan dengan Negeri

“Perguruan tinggi UKT memiliki beberapa kelompok yang seharusnya setiap tahun harus dikaji ulang. Sehingga harus ada pemutakhiran UKT yang dilakukan setiap tahun atau bahkan setiap semester. Ini cukup rumit, tetapi jika dilakukan justru akan lebih membantu dan memberi ruang bagi para siswa melanjutkan pendidikannya supaya partisipasi itu bisa meningkat,” jelasnya.

   Selain itu, agar Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) yang diharuskan mengelola operasional secara mandiri dengan bertumpu pada investasi harus lebih kreatif dalam mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil riset bukan dengan mengkomersialisasikan UKT mahasiswa menjadi mahal.

   “UKT seharusnya menjadi opsi terakhir, sehingga perguruan tinggi harus secara mandiri mencari pemasukan tetapi bukan dari mahasiswa tetapi dari pola kerjasama, CSR, hasil riset, hak prem, hak cipta, dan inovasi yang dipatenkan bagaimana intellectual capital bisa dijual menjadi pemasukan bagi perguruan tinggi, salah satunya untuk memberikan bantuan kepada mahasiswa yang tidak mampu,” jelas Cecep.

   Selain itru, rendahnya APK bisa diatasi oleh pemerintah dengan mengarahkan sebagian besar lulusan SMA/SMK sederajat untuk tak hanya fokus pada jenjang S1 melainkan bisa menjadikan jenjang diploma sebagai pilihan karena durasi kuliah lebih cepat dan mudah masuk ke dunia kerja.

   “Faktor pemahaman harus diciptakan bahwa melanjutkan pendidikan tidak harus selalu pada jalur atau S1 akademik. Tetapi, ada juga pendidikan vokasi yang bisa diarahkan pemerintah bagi masyarakat yang mungkin kurang mampu dalam finansial,” jelasnya. (H-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat