visitaaponce.com

Menyuarakan Kesejahteraan Pekerja Kreatif

Menyuarakan Kesejahteraan Pekerja Kreatif
Dramatic reading: Tenggat Waktu karya Jati Andito.(MI/M. Iqbal Al Machmudi)

SENIMAN, insan perfilman, copywriter, dan berbagai jenis pekerja kreatif lainnya sering kali tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan upah yang layak, sehingga kesejahteraanya selama ini pun tidak menentu.

"Kami juga pernah lakukan survei pada 2021 dengan sasaran lingkungan pekerja kreatif sekitar 73% khawatir pekerjaan mereka, dan risiko akibat kerja ditanggung mandiri tidak ditanggung pemberi kerja karena tidak masuk dalam BPJS sendiri ini dalam realitanya menanggung sendiri," kata Ketua umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Ikhsan Raharjo di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4).

Padahal hak pekerja sudah disebut oleh undang-undang antara lain hak pekerja layak, bebas diskriminasi, pelatihan kerja, pekerja anak, upah layak, hak spesifik bagi kawan perempuan, jaminan sosial, hal berserikat, dan hak mogok kerja yang diberikan negara.

Baca juga : BPJamsostek Optimistis Capai Rp53,9 Juta Peserta Aktif

"Pekerja kreatif seni dan budaya bisa dilihat UU perfilman, asuransi, jaminan sosial, K3 dan sebagainya. Bahkan Konvensi UNESCO 2005 juga mengatur regulasi tersebut. Namun sudah dirasakan apa belum itu lain hal lain," ucapnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) 2018-2021 upah rata-rata kreatif Indonesia Rp2,2 juta per bulan yang dinilai sangat kurang untuk kebutuhan sehari-hari apalagi orang yang berumah tangga.

"Jadi bila dibandingkan itu sangat rendah lebih rendah dari semua provinsi dan semua sektor industri," ujar dia.

Baca juga : Tiongkok Dituduh Bertindak Diskriminatif terhadap Perempuan Tibet

Namun, Iksan menekankan pada saat ini isu besar yang ada adalah posisi tawaran yang juga rendah. Oleh karena itu Sindikasi berupaya meningkatkan posisi tawar pekerja kreatif sehingga menciptakan pekerja kreatif dan sejenisnya yang memiliki kesejahteraan yang layak.

"Ekosistem seni dan budaya harus dibangun tapi harus diperhatikan juga kesejahteraan, kebutuhan pekerja perempuan, dan sebagainya. Sehingga harus berani menyatakan aspirasi dan dijadikan tuntutan bersama pada stakeholder terkait," ungkapnya.

Di kesempatan yang sama pembuat film dokumenter, Wulan Putri mengatakan beban pekerja kreatif terutama produksi film dokumenter itu adalah sering kali dibebankan tugas yang berganda.

"Ada hal-hal yang dikerjakan menjadi beban berganda sebagai perempuan maupun posisi pekerjaan yang berlipat seperti memenuhi proposal dan keamanan dalam bekerja. Bila mendapat bayaran yang dicover satu posisi tapi sebenarnya kita kerjakan berbagai posisi," jelasnya.

Bahkan, lanjut dia, upaya yang diterima memakan waktu berbulan-bulan melebihi waktu produksi. Keleluasaan mengelola anggaran dalam film dokumenter banyak digunakan pos kerja selalu jobdesk berganda. (Iam/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat