visitaaponce.com

Harus Tahu Kerugian Biaya Akibat Gangguan Mental 2x Lebih Besar dari Gangguan Fisik

Harus Tahu: Kerugian Biaya Akibat Gangguan Mental 2x Lebih Besar dari Gangguan Fisik
Perawat merapikan tempat tidur untuk pasien gangguan jiwa(ANTARA FOTO/Hasrul Said)

GURU Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof Hasbullah Thabrany mengungkapkan gangguan mental menimbulkan kerugian dan beban biaya yang tak sedikit. Dikatakan bahwa kerugian itu lebih besar hingga dua kali lipat dari berbagai gangguan fisik.

“Indonesia belum punya basis data nominal yang akurat berapa kerugian biaya kesehatan yang ditimbulkan akibat gangguan mental, tapi melihat tingginya angka yang mengalami depresi dan stress hingga gangguan jiwa, angkanya diprediksi besar,” jelasnya.

Untuk itu, Hasbullah berharap program penelitian kolaborasi mengenai pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat melalui sistem Low Intensity Physiological Intervention (LIPI), yang digagas oleh Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, dapat mengefisiensikan anggaran akibat gangguan mental.

Baca juga : Jujur dan Beri Dukungan, Pertolongan Pertama bagi Penderita Depresi

“Selama ini Indonesia belum pernah menghitung dampak kerugian akibat gangguan mental secara menyeluruh, baru ada penyakit yang sifatnya fisik. Tapi ke depan kami berharap sistem LIPI ini dapat mengefisiensikan biaya kerugian yang ditimbulkan akibat gangguan mental. Dalam waktu dekat, tim peneliti akan mengeluarkan hasil datanya,” jelas Hasbullah.

Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia Irmansyah mengatakan bahwa melalui data riset Kesehatan Dasar terbaru, prevalensi orang dengan gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,18%. Sementara prevalensi depresi pada kelompok usia di atas 15 tahun sebesar 6,1% atau satu dari 16 orang di Indonesia, namun kesenjangan pelayanan kesehatan jiwa masih besar.

“Hal itu terlihat dari jumlah pasien yang mendapat pengobatan. Dari sekitar 84,9 persen orang dengan gangguan jiwa berat, hanya 48,9 persen yang rutin berobat. Bahkan, pada kasus depresi, hanya 9 persen yang menerima pengobatan,” ungkapnya.

Baca juga : Tega Lukai Ibu Kandung, Pelaku Dapat Bisikan Bunuh Diri

Sementara jumlah tenaga medis yang menangani masalah kesehatan jiwa pun terbatas. Saat ini jumlah psikiater di Indonesia hanya 1.220 orang. Dengan jumlah itu, satu psikiater mesti melayani 300.000 penduduk, sedangkan target yang harus dicapai yakni 1 berbanding 30.000 orang.

Selain itu, Irmansyah mengatakan bahwa pelayanan pengobatan gangguan kesehatan mental di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, salah satunya ialah lebih banyak menekankan pada sistem medical pemberian obat. Namun, layanan berbasis bimbingan konseling atau psikologi masih sangat kurang.

“Maka dari itu, intervensi LIPI ini dapat menjadi salah satu solusi atas masalah kesenjangan penanganan masalah kesehatan jiwa di masyarakat dan mendukung pelayanan pengobatan kesehatan jiwa berbasis masyarakat dan meminimalkan rawat inap di rumah sakit. Perlu adanya keterlibatan keluarga dan dukungan lingkungan sekitar dalam memberi layanan humanis tanpa diskriminatif,” ungkapnya.

Baca juga : Evaluasi Pembinaan Mental Personel Polri

Berbagai Dampak Kecemasan dan Depresi

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia Prof Budi Anna Keliat mengatakan ada berbagai dampak dan kerugian yang diakibatkan dari gangguan kecemasan dan depresi, mulai dari meningkatkan kasus bunuh diri yang mencapai 971 kasus di tahun 2023 hingga menyebabkan negara mengalami kerugian hingga 1 triliun USD.

“Tak hanya sampai disitu, depresi juga mengakibatkan kondisi pekerja tidak produksi sehingga ada 36 hari kerja yang hilang dalam setahun, bahkan 10% pekerja mengambil cuti dan 94% gejala kognitif dari depresi menyebabkan penurunan fungsi kerja dan produktivitas. Hal itu menyebabkan kerugian negara hingga 1 triliun USD,” tuturnya.

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Maria Endang Sumiwi juga menyampaikan bahwa saat ini seluruh dunia sedang melakukan transformasi kesehatan jiwa untuk mendekatkan akses dan menjangkau masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat.

Baca juga : PPDS Lebih Merasa Burnout Dibanding Depresi

“Kesehatan jiwa berbasis masyarakat tetap perlu memastikan layanan kesehatan jiwa yang komprehensif. Melalui Integrasi Layanan Primer (ILP), layanan kesehatan jiwa digeser menjadi berbasis masyarakat. Selain itu, framework upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat dimulai dari upaya yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Kesehatan jiwa dan disabilitas link dengan layanan kesehatan,” jelasnya.

Jika strategi ini tidak dilaksanakan dengan tepat, maka fokus penanganan akan berada di sisi hilir, sehingga harapan menjaga kesehatan orang agar tidak mengalami gangguan kesehatan mental akan terlambat melalui pendekatan.

“Perlu adanya skrining awal agar gejala gangguan kesehatan jiwa dapat diatasi sebelum menjadi parah. Mulai dari lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan kerja, perlu dirumuskan bagaimana cara untuk mendeteksi gejala gangguan kesehatan mental lebih awal,” ungkapnya. (Dev/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat