visitaaponce.com

Sahabat Salim Said Kesadaran Intelektual Plus Politik

Sahabat Salim Said: Kesadaran Intelektual Plus Politik
Tokoh pers dan film nasional, Salim Said.(Dok. Medcom)

REKTOR Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini merupakan salah satu sahabat Salim Said. Diketahui Salim Said meninggal pada Sabtu (18/5) malam dan dimakamkan tadi siang, Minggu (19/5).

Didik menyampaikan sejumlah kesan dan catatan terhadap sahabatnya itu. "Pertama, yang perlu dicatat dalam diri Salim Said ialah kesadaran intelektual yang tinggi dan tekun dalam bidangnya: politik militer dan politik secara luas. Meskipun Salim Said dikenal sebagai penulis film dan menekuni dunia wartawan, tetapi kesadaran intelektualnya dalam bidang politik militer lebih bergelora," ujarnya dalam keterangan resmi, Minggu (19/5).

Bidang perfilman sudah, lanjut Didik, ditinggalkan atau setidaknya dikurangi Salim ketika menekuni disertasi PhD dan sesudahnya. Meskipun tidak ikut arus intelektual kekinian, demam scopus, tetapi seluruh pengetahuannya tentang politik militer sangat mendalam dan detail. Itu didapat dari gabungan atau blending antara riset kualitatif mendalam dengan wawancara investigative, ciri dari gaya majalah Tempo.

Baca juga : Cara Salsabila, Putri Asma Nadia Tulis Cerita Anak yang Menarik

Yang kedua, kesadaran politiknya yang sangat kuat, terutama blending dengan kesadaran nasionalismenya. Seluruh analisanya terhadap politik Indonesia meletakkan posisi dngan jelas ideologi yang berkembang sejak orde lama: kelompok kiri, nasionalis, dan Islam.

"Contoh terakhir diskusi pribadi dengan saya tentang Islam, yang tersambung dengan pemikiran Cak Nur, Islam yes partai Islam no, di masa lalu. Menurutnya, pikiran Cak Nur itu adalah pembebasan terhadap warga muslim di Indonesia yang bebas dalam berpolitik tidak harus, wajib memilih partai Islam. Dengan pemikiran Cak Nur, tidak perlu golongan Islam yang satu mengafirkan yang lain karena tidak memilih partai Islam. Sebab, tidak ada jaminan juga partai Islam bersih dari korupsi dan bisa memperjuangkan kesejahteraan, kebebasan, dan demokrasi," paparnya.

Catatan dari kesadaran intelektualnya terlihat dari ribuan buku yang menjadi harta paling berharga bagi diri Salim. Didik mengaku datang ke lantai 2 rumah Salim yang cukup luas. Itu pun tidak mampu menampung buku-buku miliknya. Menurut Salim, buku-buku itu dikumpulkan puluhan tahun setiap perjalanan dan seminar-seminar ke luar negeri.

Baca juga : Figur Oposisi RD Kongo Umumkan Aliansi dengan Pemberontak M23

Suatu ketika akhir 2022, Salim menelepon Didik berbicara khusus mengenai buku-bukunya. "Saya sudah tua dan buku-buku ini tidak ada pewarisnya dan sejak saat ini saya perlu konsultasi dengan Didik agar buku ini aman, berguna, dan manfaat untuk siapa saja," kata almarhum saat itu. Memang niat ini sudah disampaikan secara publik dan sudah diserahkan ke perpustakaan nasional sebagian tetapi tidak diteruskan karena digeletakkan begitu saja. 

"Sahabat saya, rektor UII Yogyakarta, Prof Fathul Wahid, juga menelepon saya, tertarik untuk mendapatkan buku-buku tersebut, yang kemudian bertemu keduanya. Saya menjadi saksi serah terima dengan syarat ketat: ruangan khusus (karena memang banyak sekali 10 ribu buku), mudah dijangkau yang baca, ruang baca, dan lain-lain. Saya juga ikut melihat proses pengiriman bertahap, ikut ke Yogyakarta," kisah Didik. 

Apa yang menarik? Pada usia hampir 80 tahun Salim Said dengan kesadaran intelektualnya menyadari bahwa kumpulan buku-buku bacaannya yang berat ialah kekayaan pribadi sekaligus kekayaan intelektual yang berguna. Sebelum tiba waktu Tuhan menentukan nasibnya, kekayaan itu harus selamat. Saat ini ribuan buku akademik bermutu itu tersimpan rapih di UII, Salim Said Corner, Perpustakaan Pusat, dan pasti bermanfaat secara akademis. 

Baca juga : Dari Politik hingga Sinema: Mantan Kanselir Austria Sebastian Kurz Kembali jadi Pusat Perhatian

Didik berharap para akdemisi senior yang pasti banyak sekali koleksinya meniru Salim Said. Ia sempat sedih warisan Prof Dawan Rahardjo belum sempat terwariskan seperti ini. Universitas Paramadina punya program ini yaitu akademisi senior dapat mewariskan buku-bukunya untuk menjadi kekayaan universitas.

Meskipun pendapatan terbatas, seorang intelektual sudah pasti mencintai buku dan banyak sekali koleksinya. Sudah setahun terakhir ini, sebagai contoh, ribuan koleksi buku Faisal Basri menghiasi dinding-dinding kantor lembaga think tank INDEF. 

Salim Said kecewa dengan pensiun dubes yang sangat kecil, tidak manusiawi, berada di bawah gaji buruh kasar. Ia sempat berharap saya membantu untuk menjadi penasihat perusahaan media agar nilai jurnalisme di media itu ada bobotnya sekaligus bisa menjadi tambahan membeli obat untuk komplikasi sakitnya.

"Itulah perjalanan seorang maestro intelektual, yang saya pandang paling hebat, paling detail, dan paling mendalam pengetahuannya tentang politik militer di Indonesia, bahkan juga negara lain," pungkasnya. (Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat