visitaaponce.com

Ini Sosok Saslyadi, Ilmuwan Asal Batam Perancang Truk Air dan Prototipe Pesawat Nirawak

Ini Sosok Saslyadi, Ilmuwan Asal Batam Perancang Truk Air dan Prototipe Pesawat Nirawak
Pakar Aircraft Powerplant dari PT Aero Nusantara Indonesia Saslyadi(MI/HO)

INDUSTRI manufaktur pesawat di Indonesia masih dalam tahap pengembangan dan berfokus pada pesawat berukuran kecil hingga menengah serta komponen pesawat, dengan dukungan dari kerja sama internasional. Sementara itu, Eropa dan Amerika Serikat memiliki industri yang jauh lebih besar dan maju, memproduksi pesawat komersial dan militer dalam skala besar dengan fokus kuat pada inovasi dan teknologi. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam sejarah industri, investasi R&D, dan kebutuhan pasar masing-masing wilayah.

Hal itu disampaikan pakar Aircraft Powerplant dari PT Aero Nusantara Indonesia Saslyadi. Ilmuwan aeronautika itu mengatakan tantangan industri transportasi, khususnya pesawat terbang, adalah masih banyaknya bahan baku dan barang jadi yang harus diimport untuk mendukung proses manufaktur. 

Selain itu, politik asing tidak menghendaki Indonesia memiliki industri penerbangan yang maju karena mereka menginginkan Indonesia sebagai pengguna saja.

Baca juga : Harga Produk Industri Naik, Biaya Transportasi hanya Bagian Kecil

“Kalau sebagai user, kita akan tergantung pada mereka, baik komponen maupun perawatannya. Apalagi industri ini juga sangat dipengaruhi kebijakan politik. Seperti sebelumnya proyek drone tempur Indonesia yang digadang-gadang menjadi drone selevel buatan Amerika, harus dimatikan karena politik,” ungkapnya di Jakarta, Kamis (4/7).

Pakar penerbangan asli dari Batam, Kepulauan Riau tersebut mengatakan teknologi yang masih kurang di Indonesia terkait dengan teknologi bahan, permesinan, avionika dan instrumentasinya yang masih import dari luar negeri.

“Kita pernah punya N250 yang sejajar bahkan lebih canggih dari ATR varian buatan Prancis-Italia. Seandainya dulu IMF tidak mendikte Indonesia agar menghentikan proyek N250, mungkin tidak ada ATR yang terbang di udara indonesia, melainkan yang terbang di langit kita adalah N250,” ungkap Saslyadi

Baca juga : Efisensi Naik, Rerata Intensitas Energi Indonesia Capai 3%

Lulusan SMA Negeri 1 serta SMP Negeri 4 di Batam tersebut pernah diminta LAPAN untuk merancang Jet Aircraft Model, sebuah wahana terbang dengan pendorong mesin jet hasil kerja sama dengan peneliti LAPAN yang digunakan sebagai prototipe awal dan model studi untuk di beri roket sebagai pendorong awal.

“Harapannya, dari model ini dapat dikembangkan selanjutnya menjadi sebuah wahana roket jelajah dengan pendorong awal dari roket LAPAN,” ujarnya.

Saslyadi dan timnya pernah bekerja sama dengan Universitas Surya, milik fisikawan Indonesia Yohanes Surya, untuk membuat prototipe wahana terbang tanpa awak dengan panjang pesawat 4 meter dan panjang sayapnya 6 meter. 

Baca juga : Singapura Wajibkan Bahan Bakar Maskapai Penerbangan Rendah Karbon Mulai 2026

Prototipe tersebut mampu membawa muatan hingga 20 kilogram dengan ketinggian jelajah (service celiling) hingga 1 kilometer (low altitude).

“Pesawat ini dirancang untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengawasan dan pemetaan di berbagai daerah di Indonesia.”

Keberhasilan terbang prototipe UAV milik Universitas Surya tersebut ternyata menarik perhatian Kementerian Petahanan RI untuk pengadaan beberapa unit. 

Baca juga : 6 Sektor Industri di Batam Tumbuh Pesat Sepanjang 2023

Dengan menggandeng PT Carita Boat Indonesia sebagai produsen UAV, akhirnya UAV ini diproduksi dengan kode nama Elang Laut 25 atau EL-25. Setelah melalui beberapa tahap pengujian akhirnya Elang Laut 25 secara resmi masuk dan beroperasi di jajaran direktorat topograpi Angkatan Darat.

“Tantangan kemudian datang dari Litbang AD, untuk mengubah sebuah truk jalanan biasa menjadi wahana darat air atau amphibious vehicle. Dengan ketersediaan waktu yang diberikan cukup sempit, akhirnya wahana tersebut dapat diselesaikan, kendaraan bisa berjalan di darat seperti truk pada umumnya dan ketika di air kendaraan dapat bergerak layaknya kapal air,” ungkap lulusan Universitas Suryadarma tersebut.

Saslyadi mengatakan, ide untuk merancang sebuah pesawat biasanya datang dari pemesan yang kemudian dituangkan dalam bentuk konseptual desain, dengan rincian seperti tujuan pembuatan, kapasitas ruang, besarnya beban yang diangkat, kecepatan yang diharapkan, jarak tempuh, ketinggian terbang dan sebagainya.

“Berangkat dari konsep kemudian lanjut design awal atau preliminary design, di sini sudah muncul ukuran-ukuran pesawat, panjang dan lebar badan (fuselage), bentuk penampang sayap, lebar sayap, besaran mesin, penempatan sistem-sistem dan lainnya.”

Perhitungan stuktur, tambahnya, serta beban sayap, aerodynamika, beban mesin, kemudian lanjut ke detail design gambar detail akan muncul namun akan bolak balik ke perhitungan.

“Jika tidak sesuai akan detail design berubah lagi sampai akhir di peroleh bentuk yang final. Kemudian akan dilanjutkan ke prototype construction setelah jadi baru dilakukan pengetesan beban, tes fungsi dan sebagainya. Jika gagal akan kembali ke perhitungan awal, sebelum akhirnay tes terbang dan sertifikasi,” tutupnya. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat