visitaaponce.com

Tak Hanya Negara Asia, Negara Afrika juga Terjerat Utang Tiongkok

Tak Hanya Negara Asia, Negara Afrika juga Terjerat Utang Tiongkok
Mantan tahanan politik Tiongkok, Jianli Yang, yang juga dikenal sebagai penyintas Pembantaian Lapangan Tiananmen 1989.(Berit Roald/AFP )

SEBAGAIMANA telah banyak diinformasikan bahwa pertumbuhan pesat yang terjadi di Tiongkok saat ini sebagai kesuksesan Tiongkok dalam mengekslpoitasi dari negara-negara yang berutang pada Tiongkok.  

Tidak hanya negara-negara di Asia yang terjerat utang, kini target jebakan utang atau debt trap dari Tiongkok sudah merambah hingga ke Kawasan Afrika Sub-Sahara, terbukti dengan pinjaman miliaran dolar yang Beijing gelontorkan melalui mekanisme Belt and Road Initiative (BRI).

Negara di Afrika Sub Sahara Terjerat Utang Tiongkok

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Tiongkok melalui perusahaan milik negara yang didanai negara, telah menggelontorkan sejumlah besar uang ke Afrika sub-Sahara, yang merupakan rumah bagi lebih dari 1,1 miliar orang atau lebih dari 75% dari perkiraan populasi Tiongkok.

Baca juga: Penderitaan Muslim Uighur tak Kunjung Berakhir

Hal ini semakin dipercepat dengan peluncuran Inisiatif Sabuk dan Jalan Tiongkok oleh Pemimpin Beijing, Xi Jinping pada tahun 2013, untuk menciptakan lebih banyak ‘kolaborasi internasional’.

Jianli Yang Bongkar Borok Tiongkok

Dugaan liciknya cara Tiongkok untuk terus menumbuhkan ekonomi negaranya ini, diungkap oleh mantan tahanan politik Tiongkok, Jianli Yang, yang juga dikenal sebagai penyintas Pembantaian Lapangan Tiananmen 1989.

Dalam beberapa dekade setelah Pembantaian Lapangan Tiananmen tahun 1989, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pesat hampir tak tertandingi dalam sejarah peradaban manusia. 

Baca juga: Perusahaan Tiongkok Tinggalkan Myanmar Setelah Diprotes Warga

Jianli Yang mengungkap bahwasanya bantuan dana segar Tiongkok merupakan bagian dari upaya Beijing untuk mendominasi sektor sumber daya alam Afrika, menyingkirkan pengaruh Barat, dan mempromosikan pendekatan Partai Komunis China.

Waspada dengan Segala Bentuk Kerja Sama dengan Tiongkok

Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengingatkan negara-negara dunia untuk senantiasa waspada dengan segala bentuk kerjasama yang ditawarkan oleh Beijing.

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa menilai terus tumbuhnya ekonomi China termasuk saat ekonomi dunia tengah turun seperti gegara Pandemi Covid-19, bukanlah sesuatu keajaiban yang sering dicitrakan Beijing sebagai keajaiban Tiongkok.

Baca juga: Ketegangan Tiongkok-Taiwan Terus Mencuat

“Wajar jika banyak yang sependapat dengan pandangan Jianli Yang, yang menyebut keajaiban China menjadi keniscayaan karena rendah sistem pemerintahan otokratis China yang memicu terjadinya korupsi, rendahnya penerapan HAM,” kata AB Solissa dakam keterangan pers, Senin (1/5).

Selain dua faktor tersebut, lanjut AB Solissa, Jianli Yang menyebut rendahnya peraturan terkait pengelolaan lingkungan dan moralitas rendah, telah membuat hampir sebagian besar individu di Beijing telah kehilangan simpati, empati dan sisi kemanusiaan lainnya.

Bahayanya, dalam laporan Jianli Yang, Tiongkok disebutkan telah menyebarluaskan model negara dan bangsanya ke Afrika. 

Hal ini membuat Partai Komunis China (PKC) jauh lebih kompetitif di Afrika (dalam hal kemampuannya untuk terlibat dalam penjualan pengaruh) daripada di negara demokrasi Barat seperti Amerika Serikat dan Kanada.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Keterlibatan Beijing di Afrika menimbulkan beberapa tanda bahaya, tidak hanya karena niat eksploitatif pemerintah Tiongkok, tetapi juga karena menjadikan Aftika sebagai “model Tiongkok”, khususnya pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan korupsi terhadap orang Afrika. 

“Menurut laporan Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia nirlaba yang berbasis di London baru-baru ini, dari 1.690 tuduhan pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan investasi Tiongkok di seluruh dunia, 181 dilaporkan di Afrika,” ungkap AB Solissa.

Baca juga: Hubungan AS-Tiongkok Memanas, Negara Lain Diminta Beri Respons

Dari data yang dimiliki CENTRIS dan bisa diakses siapun dari Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia nirlaba yang berbasis di London, menyebutkan sebagian besar pelanggaran hak azazi  manusia ini terjadi di sektor pertambangan dan konstruksi Afrika. 

Menurut laporan tahun 2017, 60% hingga 87% perusahaan Tionglok mengaku membayar ‘tip’ atau suap untuk mendapatkan lisensi. 

Pada tahun 2019, pengadilan federal di New York menghukum mantan Menteri Dalam Negeri Hong Kong Patrick Ho tiga tahun penjara karena perannya dalam skema untuk menyuap pejabat Afrika untuk meningkatkan perusahaan energi Tiongkok terkemuka yang merupakan bagian dari inisiatif Belt and Road global Beijing.  

Baca juga: Benua Afrika Terjebak 'Keramahtamahan' Bantuan Tiongkok, Ini Akibatnya

Seperti yang ditunjukkan oleh bukti dalam kasus tersebut, Patrick Ho membayar pejabat tinggi Afrika untuk mendukung operasi CEFC China Energy dan China National Petroleum Corp di Uganda dan Chad Afrika.

“Kurangnya respons terkoordinasi dari komunitas internasional terhadap perilaku mengerikan Tiongkok di Afrika dapat merusak upaya apa pun untuk mempromosikan demokrasi, kebebasan, dan supremasi hukum di benua terpadat kedua di dunia itu,” jelas AB Solissa.

“Ini sangat berbahanya dan dunia internasional harus concren, bahu-membahu mengantisipasi setiap langkah Beijing ini, ” pungkas AB Solissa. (RO/S-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat