visitaaponce.com

Benua Afrika Terjebak Keramahtamahan Bantuan Tiongkok, Ini Akibatnya

Benua Afrika Terjebak 'Keramahtamahan' Bantuan Tiongkok, Ini Akibatnya
Ilustrasi: Tiongkok menggelontorkan pinjaman ke benua Afrika dan kini negara-negara di Afrika kedaulatannya perlahan hilang.(dok.Ant)

INVESTASI Tiongkok di benua Afrika akhir-akhir ini mengalami peningkatan yang mengejutkan dalam dua dekade terakhir. Proyek infrastruktur mulai dari jalan raya, kereta api, pelabuhan, pusat listrik, industri perikanan hingga komunikasi, sebagian besar dibiayai melalui bank pembangunan China/Tiongkok.

Apabila digabungkan, angka hutang negara-negara di Benua Afrika kepada China sebesar $93 miliar dollar dan diperkirakan akan mencapai $153 miliar dollar tahun-tahun mendatang.

Dalam sebuah laporan oleh Heritage Foundation, terungkap bahwa China hingga hari ini telah membangun dan merenovasi sekitar 186 gedung pemerintahan di Afrika, 24 gedung kepresidenan, 26 gedung  dan kantor parlemen, 32 kantor militer dan 19 gedung kementerian luar negeri.  

Selain besarnya hutang yang harus ditanggung negara, yang dikhawatirkan oleh rakyat Afrika saat ini adalah issue skenario semakin meningkatnya pengawasan yang dilakukan China di berbagai negara di benua tersebut.

Melihat fakta ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) memperingatkan negara-negara dunia khususnya Indonesia, untuk senantiasa waspada dengan jebakan hutang dari China.

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa menyebut kewaspadaan terhadap China bukan tanpa alasan, mengingat tahun 2018 silam, sebuah surat kabar Prancis menyampaikan berita tentang entitas China yang mencuri data sensitif dari gedung Uni Afrika di Addis Ababa, Ethiopia.  

“Dalam laporan berita tersebut, server komputer di gedung itu ditemukan memiliki kumpulan server yang dicurangi yang memungkinkan transfer data kembali ke Shanghai di Cina, bahaya ini,” kata AB Solissa kepada wartawan, Sabtu (5/11/2022).

Sebagai kelanjutan dari strategi yang sama dan perhatian yang jauh lebih serius, China telah memfasilitasi jaringan 4G di Afrika yang 70% telah dibangun dan berencana untuk segera menyebarkan jaringan 5G di seluruh benua Afrika.

Negara seperti Namibia.  Ghana, Angola, Uganda, Guinea Khatulistiwa, dan lainnya termasuk di antara penerima jumlah terbesar hutang untuk pembangunan gedung-gedung resmi pemerintah oleh anak perusahaan China atau langsung oleh pemerintah China.  

“Hebatnya lagi, China memberi sumbangan cuma-cuma peralatan kantor termasuk komputer untuk kementerian dan parlemen di berbagai negara Afrika. Patut dicurigai, ada sesuatu di sini,” tutur AB Solissa.

Banyak pemimpin oposisi pemerintah,  mempertanyakan keputusan pemimpin negara setempat yang menerima peralatan sensitif dari pemerintah China.  

Mereka khawatir mengingat tidak menutup kemungkinan peralatan komputer yang diberikan gratis, rentan terhadap serangan malware China yang dapat mengakses informasi sensitif di negara-negara yang mereka sumbang.

“Bukan hanya pemimpin oposisi, pakar dan ahli keamanan siber juga mempertanyakan apakah negara-negara Afrika memiliki kemampuan untuk mencegah bentuk pelanggaran seperti itu,” terang AB Solissa.

Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan China telah bermitra dengan pemerintah lokal di berbagai negara Afrika untuk transfer teknologi dalam berbagai kesempatan.  

Misalnya, di Zimbabwe, pemerintah bekerja sama dengan Cloud Walk, sebuah perusahaan teknologi China yang berbasis di Guangzhou, untuk membuat program pengenalan wajah massal.  

Banyak aktivis hak asasi manusia menentang rencana tersebut, dan mengindikasikan bahwa kemitraan dengan perusahaan China berisiko terhadap keamanan data warga dan sumber data biometrik yang dapat disalahgunakan oleh otoritas China.  

Demikian pula, di Uganda, kepolisian telah memperoleh CCTV berkemampuan AI dari perusahaan China Huawei, yang menyebabkan kekhawatiran parah di antara warga asli dan aktivis lainnya.  

Ketakutan rakyat ternyata terbukti benar, karena sistem pengenalan wajah telah disalahgunakan untuk memenjarakan lebih dari 836 pendukung pemimpin oposisi Bobi Wine di Uganda.

“Wajar semakin banyak yang mempertanyakan  tujuan China yang tak lain menikmati persaingan politik lokal untuk keuntungan mereka daripada tujuan awal menekan tingkat kejahatan yang Beijing gaungkan pada awal proyek CCTV di Uganda,” jelas AB Solissa.

Peningkatan pembangunan pusat pemerintah serta infrastruktur komunikasi oleh China namun tidak disertai dengan metode pengawasan data yang kuat, tentu saja telah menimbulkan gejolak di Afrika.

Tidak sedikit komunitas global yang menilai ini adalah cara China untuk menggunakan Afrika, untuk mendapatkan keuntungan signifikan atas aspirasi dominasi globalnya.

Mungkin bukan rahasia lagi jika curahan investasi Beijing di Afrika, untuk mengamankan sumber daya alam dan cadangannya yang penting bagi Tiongkok di seluruh benua.  

Proyek infrastrukturnya telah dilaksanakan secara strategis untuk menciptakan jaringan rel kereta api dan pelabuhan sehingga sumber daya penting dapat mencapai pantai China tanpa hambatan.  

Hal ini mengharuskan China untuk juga mengamankan rute maritim penting melintasi rute perdagangan dan oleh karena itu negara-negara di tepi laut telah menerima perhatian penuh China untuk investasi.

“Seyogianya, Afrika dan negara-negara dunia harus menahan diri dari hutang manis China, untuk tetap menjaga kedaulatan wilyah dan mempertahankan penjagaannya di bidang keamanan siber,” pungkas AB Solissa. (OL-13)

Baca Juga: Afrika kian Bergantung pada Tiongkok

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat