visitaaponce.com

Vonis Ringan Jaringan Fredy Pratama Inkonsistensi Pemberantasan Narkoba

Vonis Ringan Jaringan Fredy Pratama Inkonsistensi Pemberantasan Narkoba
Bareskrim Polri bersama Kepolisian Thailand bergerak menuju lokasi persembunyian buronan kasus narkoba kelas kakap Fredy Pratama.(Antara Foto)

PERBEDAAN vonis oleh pengadilan terhadap para terpidana kasus narkoba dari jaringan Fredy Pratama mencerminkan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum. Realitas ini menunjukkan inkonsistensi dalam upaya pemberantasan narkoba yang dicanangkan oleh pemerintah.

Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Indonesia Narcotic Watch (INW) Budi Tanjung, dalam keterangannya, Kamis (13/6). Menurut dia, beberapa terdakwa menerima vonis yang sangat rendah, sementara yang lainnya diganjar hukuman sangat berat.

Ia pun tidak menampik bahwa vonis setiap kasus tentu saja berbeda, tergantung fakta dan bukti, konstruksi hukum, serta dakwaan. "Tetapi disparitas, perbedaan penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas tentu menimbulkan pertanyaan," kata Budi.

Baca juga : Polisi Lacak Aset Gembong Narkoba Fredy Pratama di Kalsel

Contohnya, sambung dia, mantan Kepala Satuan Narkoba Polres Lampung Selatan Andres Gustami divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, Lampung, pada Februari lalu. Sementara itu, Wempi Wijaya, salah satu bandar sabu dalam jaringan Fredy Pratama, hanya divonis 12 tahun oleh PN Makassar, Sulawesi Selatan, akhir Mei lalu.

Begitu juga Belly Saputra, salah satu kurir dalam jaringan Fredy, divonis penjara seumur hidup oleh PN Tanjungkarang, pada Mei lalu. Sedangkan Lian Silas, ayah Fredy Pratama, hanya divonis 1,8 tahun penjara oleh PN Banjarmasin, Kalimantan Selatan, April 2024.

Teranyar adalah Adelia Putri Salma, selebgram cantik asal Palembang, Sumatra Selatan. Dia divonis bersalah menampung uang hasil penjualan narkoba milik suaminya yang terafiliasi dengan jaringan Fredy Pratama. Ia dituntut 7 tahun penjara oleh tim jaksa penuntut umum (JPU), tetapi hanya mendapat vonis 5 tahun saja.

Baca juga : Polisi Dalami Keterkaitan Fredy Pratama dengan Buronan Thailand Chaowalit

Ada juga terpidana Wahyu Wijaya yang disebut sebagai orang kepercayaan Fredy. Ia berperan sebagai pengurus pembukuan keuangan Fredy Pratama, selain bertugas sebagai supir pribadi dari bandar kelas kakap tersebut. Ia dituntut 1 tahun penjara tetapi hanya divonis 10 bulan oleh PN Tanjungkarang, pada 3 Juni lalu.

Sementara itu, Mabes Polri bersama Kepolisian Thailand saat ini masih memburu Fredy yang bersembunyi di Negara Gajah Putih tersebut. Fredy Pratama adalah gembong sindikat narkoba terbesar di Indonesia dan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Upaya penangkapan Fredy merupakan kerja sama Polri dengan Kepolisian Malaysia, Kepolisian Thailand, dan Badan Narkotika AS (DEA).

INW menilai inkonsistensi putusan pengadilan dalam kasus sindikat narkoba Fredy Pratama mencerminkan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum, serta menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum. “Kami melihat adanya kesenjangan yang besar dalam penjatuhan hukuman, yang dapat diartikan sebagai bentuk ketidakseriusan dalam penanganan kasus pidana narkoba,” tukas Budi.

Baca juga : Pemerintah Thailand dan Polri Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Kebijakan pemerintah Indonesia yang berusaha tegas dalam memberantas narkoba seharusnya tercermin dalam putusan pengadilan. Namun, dengan adanya vonis yang bervariasi, terdapat kesan bahwa kebijakan tersebut tidak diimplementasikan secara konsisten. “Hal ini bertentangan dengan semangat dan komitmen pemerintah dalam memerangi narkotika.”

Vonis rendah yang dijatuhkan kepada beberapa terdakwa juga dapat mengurangi efek jera dan malah mendorong orang untuk terlibat dalam jaringan narkoba. INW mengingatkan, keseluruhan program pemberantasan narkoba sangat ditentukan oleh penjatuhan hukuman yang setimpal untuk memberikan pesan yang kuat bahwa kejahatan narkotika tidak akan ditoleransi.

Di sisi lain, upaya memberi efek jera harus dilakukan dengan menghadirkan transparansi dan konsistensi dalam proses peradilan kasus narkoba. INW juga menyerukan adanya evaluasi terhadap sistem peradilan dan peraturan perundang-undangan terkait untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kelemahan yang menyebabkan disparitas vonis ini.

Lebih jauh, terang Budi, INW tetap mendukung penuh upaya pemerintah dalam pemberantasan narkotika dan mendorong kolaborasi antara penegak hukum, lembaga peradilan, dan masyarakat dalam memerangi peredaran narkotika. (J-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eksa

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat