visitaaponce.com

Rekam Jejak Diplomasi Menuju NKRI di Museum Linggarjati

Rekam Jejak Diplomasi Menuju NKRI di Museum Linggarjati
Gedung Perjanjian Linggarjati di Kuningan, Jawa Barat.(Dok. MI)

SEBUAH ruangan 5 x15 meter di salah satu rumah di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat menjadi saksi perjuangan diplomasi Bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Pada 11 sampai 13 November 1946, sebuah perundingan pertama antara Republik Indonesia dengan Belanda digelar, yang kemudian dikenal dengan nama Perundingan Linggarjati.

Dalam perundingan itu, pihak Inggris menjadi penengah yang diwakili oleh Lord Killearn. Pihak Indonesia diwakili oleh 4 orang yang dipimpin oleh Soetan Sjahrir, sedangkan pihak Belanda juga diwakili empat orang dengan dipimpin oleh W Schermerhorm. Kedua belah pihak duduk saling berhadapan.

Selain mereka, ada empat orang notulen yang sekaligus menjadi reporter dalam perundingan itu, tiga dari Indonesia dan satu dari Belanda.

Juru Pelihara Museum Linggarjati sekaligus merangkap pemandu wisata lokal, Toto Rudianto mengatakan, perundingan Linggarjati memiliki arti penting bagi perjuangan Indonesia.

Baca juga: Intip Museum Penuh Sejarah Tjong A Fie di Medan

"Ini menunjukkan, perjuangan fisik dan perjuangan diplomasi Indonesia sangat kuat untuk meyakinkan kemerdekaan Indonesia kepada dunia," papar dia, Kamis (26/1).

Ia mengatakan, ada tiga hasil perundingan Linggarjati, yaitu Belanda mengakui secara de facto atas wilayah Jawa, Sumatera dan Madura, Pemerintah Belanda dan Indonesia sepakat membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat pada 1 Januari 1949, dan Republik Indonesia Serikat dan Belanda membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan pesertanya RIS, Nederland, Suriname Curacao dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Toto Rudianto mengatakan, lokasi perundingan Linggarjati dulunya merupakan sebuah hotel. Luas tanah mencapai sekitar 20 hektar, dengan luas bangunan 1.055 m2. Di tempat ini, kita masih bisa melihat jejak-jejak sejarah, dari ruang perundingan, ruang tidur bagi peserta perundingan.

Gedung Linggarjati asalnya tahun 1918 adalah gubuk milik Ibu Jasitem beralih tangan pada 1921 ke seorang berkebangsaan Belanda yang bernama Tersana dan dirombak menjadi bangunan permanen.

Baca juga: Instalasi Seni Jaring Laut Halaman Rumah Jadi Koleksi Baru Museum Bahari

Pada 1930 berpindah kepemilikan dan dijadikan rumah tinggal seorang berkebangsaan Belanda Mr. Jacobus (Koos) Van Johannes. Di tahun 1935 rumah tinggal Mr. Van Johannes dikontrak oleh Theo Huitker untuk dijadikan Hotel yang bernama "Rustoord".

Saat Jepang memasuki wilayah Hindia Belanda tahun 1942, Belanda menyerah tanpa syarat yang mengakibatkan berpindah tangannya wilayah Nusantara dari Belanda ke Jepang, tidak terkecuali wilayah Kuningan. Hotel Rustoord diganti namanya menjadi Hotel "Hokayryokan".

Setelah Indonesia Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, lalu hotel Hokayryokan pun berubah namanya menjadi Hotel Merdeka.

Lokasi perundingan di Linggarjati merupakan usulan dari Maria Ulfah, Menteri Sosial Pertama RI. Usulan ini diutarakan setelah Belanda menolak berunding di Yogyakarta, sedangkan Soekarno-Hatta menolak perundingan dilaksanakan Jakarta sedang diduduki Belanda.

Kuningan menjadi pilihan tepat karena berada di antara Jakarta dan Yogyakarta serta berada di kaki Gunung Ciremai, dengan suasana yang sejuk dan nyaman.

Gedung Perundingan Linggarjati ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Saat ini Gedung Perundingan yang berada di bawah pengelolaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Pemda Kuningan.

Ia mengatakan, gedung saat ini dimanfaatkan sebagai destinasi wisata sejarah. "Jumlah pengunjung sekitar 3 ribu hingga 5 ribuan orang sebulan. Kebanyakan pengunjung adalah anak-anak sekolah," papar Toto Rudianto.

Baca juga: Menanti Wajah Baru Museum Nasional Pascakebakaran

Gambaran Keteladanan dari Museum Linggarjati

Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto mengungkapkan, banyak pelajaran dan keteladanan yang bisa diambil dari kunjungan ke Linggarjati, terutama terkait perjuangan para pemimpin bangsa pada era awal Indonesia merdeka.

Kunjungan ke lokasi bersejarah tempat perundingan Indonesia dan Belanda menandai pentingnya mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan seperti dicontohkan oleh pemimpin.

"Kunjungan ini bagian dari menghikmati jejak kepemimpinan Bung Karno dan Hatta bersama PM Syahrir di tahun awal kemerdekaan, melihat dekat catatan sejarah perundingan Linggarjati soal mendesak Belanda akui kemerdekaan Indonesia," kata Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto di sela-sela kunjungan di Linggarjati bersama awak media yang bertugas di DPRD DIY.

Saat itu, Soekarno ikut mendampingi delegasi Indonesia yang dipimpin Syahrir. Kehadiran Soekarno dalam perundingan tersebut terdokumentasikan lewat foto Soekarno yang tengah berdialog dengan Lord Killearn di ruang istirahatnya di gedung tersebut.

"Perjalanan sejarah bangsa, di Linggajati inilah ada tempat Bung Karno duduk, sebelum perundingan dimulai Betapa hebat peran para tokoh bernegosiasi, berdiplomasi untuk NKRI," kata Eko Suwanto, politisi muda PDI Perjuangan.

Berpijak dari keberadaan dan terawatnya bangunan bersejarah di Kuningan, Jawa Barat, pemda DIY bisa mengikuti dan melakukan kajian serius guna membangun destinasi wisata sejarah.

"Pemda DIY bisa beli hotel di Malioboro, bangun toilet miliaran rupiah, semestinya bisa membuat museum Perjuangan tokoh bangsa, bangun museum kedaulatan negara Jogja Kota Republik, juga bisa. Maka Paniradya Keistimewaan harus serius bangun museum sejarah perjuangan tokoh bangsa Indonesia di Yogyakarta," kata Eko Suwanto.

Komisi A DPRD DIY mendorong pemda DIY untuk mewujudkan museum wisata sejarah tokoh bangsa yang berjuang di masa kemerdekaan RI. Pemda DIY selama ini sudah bangun destinasi wisata sejarah di Selomartani. Tapi belum ada monumen pindahnya Ibu kota dari Jakarta ke Jogja belum ada. Museum perjuangan tokoh bangsa penting.

Sejarah tentang bantuan enam juta gulden pada awal masa kemerdekaan, kisah sejarah ini penting dan pemda DIY perlu sungguh-sungguh serius bangun destinasinya pariwisata. Sejarah maklumat 5 September 1945 belum ada dan perlu ada museum sebagai destinasi wisata sejarah.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat