visitaaponce.com

Mengantisipasi Perubahan Iklim

Mengantisipasi Perubahan Iklim
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

DI awal 1970-an, ketika istilah perubahan iklim belum begitu populer, sekelompok individu yang terdiri atas pengusaha dan intelektual lintas disiplin yang tergabung dalam Club of Rome (Kelompok Roma) mensponsori penelitian untuk mengukur dampak pembangunan. Penelitian dengan menggunakan permodelan komputer itu mempelajari dan memproyeksikan interaksi dari sejumlah faktor, yakni pertumbuhan penduduk, produksi pertanian, industrialisasi, pencemaran lingkungan, dan konsumsi terhadap sumber daya alam yang dilakukan umat manusia di seluruh dunia. Akhir studi selama 18 bulan yang diberi judul The Limits to Growth (Batas- Batas Akhir Pertumbuhan) itu berkesimpulan apabila gerak pertumbuhan tidak dihentikan dan eksploitasi terhadap alam yang terus-terusan, dalam 100 tahun mendatang akan mengakibatkan ambruknya sistem kehidupan, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun lingkungan.

Belum lagi genap setengah abad sejak dirilisnya laporan itu, kita telah melihat dan merasakan ekses dari itu semua. Kian cepatnya laju industrialisasi yang salah satunya menyebabkan lubang ozon kian menganga telah berdampak pada meningkatnya suhu di muka bumi. Belum lama ini, tepatnya pada 10 Agustus lalu, Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC) merilis laporan terkait hal tersebut. Dalam laporan setebal 42 halaman itu disebutkan emisi gas yang membuat suhu bumi menghangat saat ini kemungkinan akan melampaui batasan yang telah ditetapkan hanya dalam waktu 10 tahun. Para penulis laporan ini juga menunjukkan kenaikan permukaan laut mendekati dua meter di akhir abad ini tidak dapat terhindarkan. “Laporan Kelompok Kerja 1 IPCC yang diterbitkan ialah kode merah untuk umat manusia," kata Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, seperti dilansir BBC.

Demi menekan dampak krisis iklim yang lebih buruk di masa mendatang, kelompok pegiat lingkungan Greenpeace menyarankan pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia, harus melakukan berbagai langkah ambisius dalam kebijakan energi dan kehutanan. Menurut catatan Greenpeace Asia Timur, fenomena kenaikan permukaan laut ekstrem dan banjir pesisir yang tinggi di tujuh kota besar Asia, termasuk Jakarta, pada 2030 dapat menimbulkan dampak pada produk domestik bruto sebesar US$724 miliar (Rp10,3 triliun). Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan isu perubahan iklim merupakan bencana global dan dampaknya diperkirakan sama seperti pandemi covid-19. Pandemi covid-19 telah meluas ke seluruh dunia dan menahan mobilitas manusia. Sementara itu, ancaman perubahan iklim beriringan dengan pembangunan. Semakin rakyatnya sejahtera, mobilitas tinggi dan penggunaan energi semakin besar. Maka itu, akan menghasilkan emisi karbon dalam bentuk kenaikan suhu.

Dalam acara ESG Capital Market Summit 2021, Selasa (27/7), Sri Mulyani menyatakan Indonesia harus ikut berpartisipasi menangani risiko perubahan iklim. Indonesia, kata dia, memang seharusnya tidak dalam situasi menunggu dan defensif ketika negara lain membuat regulasi baru. Apa yang dikatakan Ani, demikian Sri Mulyani kerap disapa, benar. Untuk mengatasi perubahan iklim tidak bisa sekadar dengan proyek seremoni menanam pohon yang kerap dilakukan banyak pejabat dan pesohor selama ini. Harus ada kebijakan untuk mengurangi penggunaan energi fosil secara drastis dan beralih ke energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Harus ada target yang lebih ambisius lagi untuk mengurangi emisi karbon. Banjir, badai, serta topan, dan kebakaran hutan yang kian sering, suhu yang semakin panas, dan beberapa bentuk anomali cuaca lainnya yang akhir-akhir ini sering kita lihat dan alami menandakan bahwa kita berkejaran dengan waktu.

Seperti halnya pandemi covid-19, perubahan iklim merupakan fenomena global yang tidak dapat ditanggulangi secara lokal. Harus ada kerja sama baik di tingkat regional maupun internasional. Sebagai warga negara, bentuk partisipasi yang paling mungkin kita lakukan ialah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, mengubah pola konsumsi, baik dalam bidang pangan maupun pakaian. Dr Debra Robert, salah satu ketua IPCC, menyebut jalan kaki, bersepeda, atau menggunakan angkutan umum akan mengurangi emisi karbon. Selain itu juga membuat kita sehat. Aktivis lingkungan belia asal Swedia Greta Thunberg bahkan mulai berhenti membeli baju baru karena industrinya dianggap berdampak pada pencemaran. Pandemi covid-19 yang membatasi mobilitas manusia saat ini kiranya telah mengajarkan kita bagaimana mesin kapitalisme yang rakus dengan berbagai eksesnya terhadap alam dan manusia mesti diredam. Itu jika kita ingin tinggal lebih lama menghuni planet ini.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat