visitaaponce.com

Proyek Infrastruktur Rumah Sakit dengan Penerapan Prinsip Syariah

Proyek Infrastruktur Rumah Sakit dengan Penerapan Prinsip Syariah
(Dok. Pribadi)

PANDEMI telah berlangsung lebih dari dua tahun dan periode pemulihan saat ini bukanlah waktu yang biasa dan mudah bagi kita semua. Pandemi covid-19 bukan hanya krisis kesehatan global, melainkan juga pemaksaan penghentian berbagai aktivitas ekonomi dan pasar keuangan untuk periode yang cukup lama. Dampak signifikan telah terjadi di seluruh dunia karena penurunan produktivitas akibat penutupan bisnis dan pembatasan perdagangan, penurunan kesehatan publik, hingga hilangnya nyawa. Itu termasuk melambatnya industri pariwisata. Selain itu, pada saat kita hampir mencapai masa akhir pandemi, dunia sekarang menghadapi ketegangan dan ketidakstabilan geopolitik yang signifikan, terutama dengan adanya konflik di Eropa Utara.

Transisi pandemi yang kemudian akan menjadi endemi serta mulai bangkitnya perekonomian memerlukan berbagai motor penggerak guna mengakselerasi pertumbuhan yang lebih cepat. Pada akhir April 2022, Menteri Keuangan RI menyebutkan bahwa dibutuhkan sedikitnya Rp6.645 triliun untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur nasional sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) Nasional 2020-2024, dan kapasitas APBN hanya mampu memenuhi sepertiga dari anggaran tersebut.

Oleh karena itu, berbagai inovasi instrumen pembiayaan sangat dibutuhkan, antara lain kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU), serta skema kreatif lainnya. Di sisi lain, pandemi juga semakin mendorong kesadaran semua pihak, betapa signifikannya pemenuhan daya dukung infrastruktur kesehatan. Tulisan ini akan mencoba menyuguhkan bagaimana prinsip syariah bisa diaplikasikan pada proyek infrastruktur kesehatan, khususnya rumah sakit, yang menerapkan skema KPBU.

Skema KPBU untuk pembangunan, atau pengembangan rumah sakit merupakan inovasi pembiayaan yang sangat tepat kala pemulihan pascapandemi sekarang ini. Pilihan tersebut tidak hanya berperan sebagai opsi penyelamatan kesehatan publik, tetapi juga bisa menjadi akselerator pembangunan pada saat terbatasnya ruang fiskal akibat pandemi. Terdapat empat rasionalisasi yang mendukung pernyataan tersebut. Pertama, rumah sakit yang dibangun atau dikembangkan dengan skema KPBU ditanggung biayanya oleh badan usaha atau lembaga keuangan mitra mereka. Adanya penanggungan pembiayaan itu tidak hanya akan mempercepat penyediaan layanan kesehatan publik yang sangat kritis dibutuhkan masyarakat. Namun, juga akan membuka ruang fiskal pemerintah.

Oleh karenanya, alokasi anggaran pemerintah yang terbatas dapat lebih dioptimalkan untuk alokasi lain guna penanganan dampak sistemis pandemi, sementara pembangunan rumah sakit dapat terus berjalan. Pembiayaan tersebut tentu harus dikembalikan pemerintah kepada badan usaha dengan beberapa pilihan, antara lain skema pembayaran secara bertahap dalam jangka panjang, dengan mekanisme pembayaran ketersediaan layanan. Jadi, pemerintah menetapkan standar pelayanan minimum (SPM) rumah sakit yang wajib dipenuhi badan usaha kemudian atas ketersediaan layanan itu, pemerintah akan membayar selama periode tertentu.

Kedua, adanya standar layanan yang harus dipenuhi badan usaha selama masa konsesi itu menjadikan KPBU mampu mendorong pembagian alokasi risiko secara proporsional antara pemerintah dan badan usaha. Pembagian alokasi itu baik untuk risiko terkait dengan pembangunan fisik rumah sakit hingga risiko-risiko penyediaan layanan dan penggunaan infrastruktur oleh masyarakat selama masa kerja sama.

Ketiga, dalam hal kewajiban pengembalian investasi, terdapat pendampingan dan penjaminan dari lembaga penjaminan pemerintah sejak tahap penyiapan hingga tahap serah terima infrastruktur di akhir masa konsesi kerja sama. Keempat, penyediaan rumah sakit yang berkualitas akan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan bangkitan ekonomi, khususnya pada lokasi tempat infrastruktur tersebut berada, baik pada saat proses pembangunan maupun hingga penyediaan layanan ketika fisik sudah terbangun dan beroperasi penuh.

 

Penerapan prinsip syariah

Pembangunan atau pengembangan rumah sakit umum yang biasanya berskala besar dengan skema KPBU tentu akan sangat menarik cukup banyak badan usaha dan lembaga keuangan, baik dalam maupun luar negeri, karena prospeknya yang menguntungkan secara finansial. Peluang itu tentu menjadi celah potensi yang harus dioptimalkan bagi lembaga pembiayaan syariah, termasuk pemerintah daerah yang konstituennya mendorong penerapan syariah di wilayah administratif mereka.

Penerapan prinsip syariah untuk penyelenggaraan rumah sakit di Indonesia telah diatur Dewan Syariah Nasional melalui fatwa nomor 107/DSN-MUI/X/2016. Dalam fatwa tersebut, telah diatur cukup komprehensif pedoman aplikasi syariah untuk operasional rumah sakit. Pengaturan itu, misalnya, terkait dengan akad dan hubungan hukum syariah antara rumah sakit dan berbagai pihak terkait seperti pasien, pemasok peralatan laboratorium, serta perusahaan farmasi.

Lebih jauh, fatwa itu juga mengatur pedoman penempatan dan pengembangan dana rumah sakit, termasuk ketentuan bila terdapat sewa-menyewa dan jual-beli dengan pihak ketiga. Sebuah rumah sakit dapat memperoleh sertifikat dari Dewan Syariah Nasional bila telah memenuhi prinsip-prinsip syariah dalam pelayanan dan manajemen mereka.

Untuk skema KPBU pembangunan dan/atau pengembangan rumah sakit, terdapat tiga hubungan antarpihak yang menerapkan prinsip syariah. Pertama, badan usaha yang memberikan pelayanan melalui pembangunan fisik rumah sakit serta penyediaan peralatan kesehatan, dapat menerapkan akad ijarah al mausufah fii al dzimmah (IMFZ) dengan karakter al ijarah muntahiya bittamlik (IMBT). Prinsip IMFZ diadopsi mengingat aset ijarah rumah sakit yang sifatnya akan disewakan belum berwujud terbangun. Namun, spesifikasi serta standar layanan yang harus dipenuhi badan usaha telah disepakati pada saat akad.

Selama masa kerja sama, pemerintah akan membayar ketersediaan layanan (availability payment) sesuai dengan capaian kinerja badan usaha dalam memenuhi SPM yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Adanya pemenuhan SPM sebagai dasar pembayaran itu sangat menguntungkan pemerintah karena saat mulai pembayaran baru dihitung ketika layanan sudah bisa dipergunakan dan dimanfaatkan masyarakat sebagai pengguna. Oleh karenanya, badan usaha dituntut untuk terus-menerus menjaga kualitas capaian SPM karena akan memengaruhi pembayaran selama masa kerja sama.

Di lain pihak, pemerintah juga dituntut untuk menjaga stabilitas kebijakan serta tata aturan yang diterapkan, termasuk kewajiban yang dipersyaratkan dalam perjanjian. Adanya pembagian risiko untuk kedua pihak itu pada akhirnya memberi manfaat yang besar bagi masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan publik. Pada akhir masa konsesi kerja sama, akan dilakukan transfer kepemilikan aset ijarah dari badan usaha kepada pemerintah. Oleh karena itu, karakter akad IMBT juga turut diadopsi dalam satu rangkaian proyek rumah sakit umum, yang menggunakan skema KPBU.

Di banyak proyek KPBU, badan usaha yang bermitra dengan pemerintah umumnya mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan. Penerapan prinsip syariah untuk KPBU rumah sakit tentu mengharuskan badan usaha memperoleh sumber pembiayaannya dari lembaga keuangan syariah. Pilihan akad atas pembiayaan itu dapat menggunakan berbagai pilihan opsi, antara lain mudarabahmusyarakah, wakalah bil istismar, atau istihna'.

Terakhir, sebagaimana disebutkan sebelumnya, sebuah proyek KPBU di Indonesia dapat memperoleh penjaminan pemerintah, yang dalam hal ini melalui BUMN di bawah Kementerian Keuangan RI, yaitu PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) (persero). Penjaminan tersebut dapat menggunakan akad kafalah atau kafalah bil ujrah. Dalam akad ini, PT PII (persero), serta Kementerian Keuangan berkedudukan sebagai penjamin (kafiil), sedangkan pemilik proyek yang dalam hal ini bisa pemerintah pusat atau pemerintah daerah berkedudukan sebagai terjamin (makful anhu). Penjaminan itu diberikan atas jaminan pelaksanaan kewajiban pembayaran dari pemerintah kepada badan usaha, atas pemenuhan penyediaan layanan infrastruktur sesuai dengan SPM. Oleh karena itu, dalam akad itu badan usaha berkedudukan sebagai penerima jaminan (makful lahu).

 

Tantangan persepsi publik dan peran strategis NU

Derasnya arus informasi, terutama selama masa pandemi yang semakin mendorong masyarakat mengakses lebih banyak media dari berbagai latar belakang, selain berkontribusi terhadap penyebaran pengetahuan, melahirkan tumbuhnya persepsi-persepsi keliru dan kurang tepat di masyarakat. Kerja sama pemerintah dengan badan usaha, misalnya, sering kali disalahartikan 'penjualan' aset publik terhadap pihak lain, terlebih bila terdapat pendanaan asing di dalamnya. Oleh karena itu, pemerintah tidak dapat berdiri sendiri dalam upaya meluruskan persepsi keliru tersebut mengingat skema KPBU yang mengadopsi skema syariah itu merupakan inovasi keuangan publik, yang berlandaskan hukum-hukum Islam, tentu lembaga seperti Nahdlatul Ulama (NU) menjadi semakin strategis.

Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU sudah malang melintang berkontribusi aktif untuk mengawal pembangunan keagamaan, pendidikan, dan sosial di negara ini. Terpilihnya pimpinan baru NU pada akhir 2021 membawa harapan besar, bahwa selain penggerak keislaman, NU bisa menjadi lokomotif kebangkitan ekonomi umat.

Besarnya sumber daya yang dimiliki NU untuk menggaungkan berbagai inovasi ekonomi dalam rangka akselerasi pembangunan, khususnya yang berbasis syariah, tentu akan semakin mengukuhkan bangsa Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan pascapandemi.

Komprehensifnya ketersediaan pilihan beberapa akad syariah, yang menaungi hubungan para pihak dalam suatu proyek KPBU rumah sakit sebagaimana diuraikan di atas, tentu harus dipandang sebagai peluang besar, terlebih pascapandemi sekarang ini. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, lebih-lebih pemerintah daerah yang membawahkan rumah sakit umum daerah seyogianya memanfaatkan skema KPBU berbasis syariah itu sebagai pelecut akselerasi pembangunan infrastruktur kesehatan mereka.

Namun, berbagai upaya itu tentu tidaklah bisa berjalan lancar bila tidak diiringi pengawalan para ulama. Mereka merupakan corong yang sangat strategis untuk memberikan pemahaman yang tepat kepada umat sehingga turut serta mendukung percepatan pembangunan melalui berbagai inovasi keuangan, seperti skema KPBU berbasis syariah itu.

 

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat