visitaaponce.com

Waspada Skema Ponzi dalam Perdagangan Digital

Waspada Skema Ponzi dalam Perdagangan Digital
Iqbal Musyaffa(Dok pribadi)

KEINGINAN untuk mendapatkan keuntungan melalui aktivitas ekonomi seperti perdagangan dan investasi seringkali berujung pahit. Bukan cuan yang diraih, tapi kerugian yang didulang dengan raibnya pundi-pundi rupiah.

Kisah pilu dihadapi oleh seorang ibu rumah tangga bernama Nita (32) yang baru-baru ini menjadi korban dari aktivitas perdagangan digital. Dia bertindak sebagai reseller dengan menjual produk elektronik jenis air fryer, microwave, serta produk minyak kesehatan untuk bayi.

Banyak konsumen yang tertarik untuk membeli barang yang dijajakannya karena harga jual yang ditawarkan hanya setengah dari harga produk pada umumnya di pasaran. Sebagai reseller, dia berhasil menghimpun dana dari konsumen hingga lebih dari Rp35 juta rupiah.

Dana tersebut kemudian dia setorkan kepada reseller besar yang kemudian disalurkan kepada orang yang mengaku menjadi pemasok utama produk-produk tersebut bernama T. Orang tersebut mengaku mendapatkan barang dengan harga murah dengan sistem MOQ (minimum of quantity yang biasa digunakan dalam dunia bisnis daring dengan sistem jasa titip (jastip).

Namun, akhir-akhir ini baru terkuak bahwa T melakukan proses bisnis dengan skema ponzi. Bahkan, T melarikan diri dengan diduga membawa uang hingga puluhan miliar rupiah dan keberadaannya saat ini belum diketahui. Akibatnya, Nita harus mengganti dana konsumen yang sudah dia himpun. Nita juga masih berusaha untuk bisa mendapatkan kembali dananya yang sudah dia setorkan ke reseller besar.

Modus yang dilakukan oleh T adalah dengan membuka pre-order barang-barang elektronik yang dijualnya. Dia menjual barang-barang tersebut dengan harga murah. Seperti contohnya air fryer dengan harga pasaran Rp900 ribu per unit dia jual hanya Rp500 ribu kepada reseller besar di bawahnya. Reseller tersebut kemudian menjual dengan harga Rp545 ribu kepada reseller di bawahnya yang langsung menjual kepada konsumen (end user).

Dalam praktiknya, T sebenarnya membeli barang elektronik yang dijualnya dengan harga pasaran normal yang kemudian hanya mendistribusikan sebagian barang pesanan kepada reseller di bawahnya secara acak. Hal itu untuk menciptakan kepercayaan kepada konsumen bahwa proses transaksi tersebut berjalan normal dan aman. Sisa barang yang belum terdistribusi dia janjikan untuk segera dikirim secara bertahap. Seiring waktu, konsumen yang sudah membeli barang elektronik tersebut tak kunjung menerima barang yang dipesannya hingga berbulan-bulan. Modus seperti ini dikenal sebagai praktik dari skema Ponzi.

Memahami skema Ponzi

Praktik skema Ponzi sering kali terjadi tanpa disadari oleh masyarakat. Pada 2017 mencuat kasus skema Ponzi yang dilakukan oleh agen perjalanan First Travel yang membuat puluhan ribu calon jamaah umrah gagal menunaikan ibadahnya. Pada saat itu, First Travel menawarkan jasa perjalanan umrah dengan harga Rp14 juta, harga yang relatif murah untuk perjalanan umrah. Namun, pada akhirnya hanya sebagian kecil dari jumlah jamaah umrah yang berhasil diberangkatkan, dan sisa jamaah lainnya harus mengubur mimpinya untuk umrah dan merelakan uang yang sudah dibayarkan menguap sia-sia.

Belum lama ini juga ramai kasus investasi binary option yang digaungkan oleh Indra Kenz, Doni Salmanan, serta afiliator lainnya yang masyarakat sebut sebagai 'sultan' karena jumlah kekayaannya yang bombastis. Agar kasus serupa tidak terulang di kemudian hari, masyarakat perlu memahami modus bisnis yang menggunakan skema Ponzi. 

Hal itu merupakan modus investasi palsu yang membayarkan keuntungan kepada investor dari uang mereka sendiri atau uang yang dibayarkan oleh investor berikutnya, dan bukan dari keuntungan yang diperoleh dari proses bisnis yang dijalani.

Modus skema ini pada umumnya merayu calon investor ataupun pembeli dengan iming-iming keuntungan yang lebih besar dari produk investasi lain, ataupun menawarkan produk yang dijual dengan harga lebih murah dari harga pasar. Oleh karena itu, demi keberlangsungan dari pengembalian profit yang tinggi tersebut memerlukan aliran dana yang berasal dari investor ataupun pembeli baru. Biasanya para investor ataupun pembeli baru yang akan menjadi korban dari skema tersebut.

Skema Ponzi dicetuskan oleh Charles Ponzi yang mengemuka pada 1920. Praktik bisnis yang menggunakan skema Ponzi akan runtuh akibat beberapa sebab, di antaranya promotor yang menghilang ataupun melarikan diri dengan membawa uang yang dihimpunnya.

Kemudian, skema ini memerlukan investasi yang terus menerus untuk membiayai keuntungannya, sehingga saat investasi melambat skema ini juga akan runtuh akibat dari kesulitan promotor untuk membayar keuntungan yang dijanjikan. Bahkan menimbulkan kepanikan dengan banyaknya investor yang meminta pengembalian dananya. Skema Ponzi juga dapat runtuh akibat dari kondisi ekonomi yang terjadi.

Jangan mudah tergiur

Regulasi untuk mencegah aktivitas ekonomi menggunakan skema Ponzi sebenarnya sudah ada seperti dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 yang melarang pelaku usaha distribusi menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan barang. Selain itu, dalam Pasal 21 huruf k Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70 Tahun 2019 tentang Distribusi Barang Secara Langsung juga sudah mengatur bahwa perusahaan yang telah memiliki surat izin usaha perdagangan dilarang melakukan kegiatan dengan membentuk jaringan pemasaran dengan menggunakan skema piramida.

Dalam Pasal 31 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70 Tahun 2019 tersebut menjelaskan perusahaan yang menerapkan skema piramida (skema Ponzi akan dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis hingga pencabutan surat izin usaha perdagangan). Beberapa pihak menilai regulasi terkait larangan praktik skema Ponzi masih belum kuat, sehingga terus bermunculan kasus yang menimbulkan kerugian materil akibat dari praktik tersebut.

Setiap orang pasti mengharapkan keuntungan yang besar dari aktivitas ekonomi yang dilakukan seperti melalui investasi dan perdagangan baik online ataupun offline. Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk melancarkan aksinya dengan menjual janji surga keuntungan yang besar.

Perkembangan zaman yang semakin pesat khususnya di era digitalisasi saat ini nyatanya justru dimanfaatkan oleh praktik bisnis yang menggunakan skema Ponzi dengan modus dan jenis usaha yang kian beragam. Maraknya praktik penjualan digital baik melalui e-commerce ataupun perorangan juga dapat disusupi oleh praktik yang menggunakan skema Ponzi, khususnya pada layanan jasa penitipan pembelian barang (jastip).

Oleh karena itu agar dapat terhindar dari jebakan sistem ini, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan pada penawaran yang mengiming-imingi keuntungan besar yang tidak realistis. Jangan mudah percaya untuk membeli barang yang ditawarkan dengan harga sangat murah dibandingkan harga aslinya dalam menggunakan sistem jastip. 

Masyarakat juga perlu berhati-hati dalam melakukan aktivitas jual dan beli secara online. Apabila ingin membeli barang secara online khususnya menggunakan layanan jastip, cari tahu kredibilitas penyedia layanan terlebih dahulu.

Konsumen Indonesia harus semakin berdaya sehingga bisa terhindar dari aktivitas ekonomi khususnya perdagangan yang merugikan, dengan memahami hak dan kewajibannya, serta kritis dan berani menyampaikan pendapat apabila mendapati ada indikasi praktik-praktik yang bisa merugikan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat