visitaaponce.com

Refleksi Piala Dunia, antara Dominasi Kekuatan Tradisional dan Keberpihakan Sejarah

Refleksi Piala Dunia, antara Dominasi Kekuatan Tradisional dan Keberpihakan Sejarah
Hasan Sadeli(Dok pribadi)

AJANG gemerlap Piala Dunia telah berlalu sejak sepekan lalu. Pentas akbar sepak bola sejagat itu dimenangkan salah satu poros kekuatan tradisional Piala Dunia yakni Argentina. Keberhasilan negeri itu bukan saja sukses kontestan perwakilan dari Amerika Selatan yang telah lama memimpikan gelar juara. Melainkan juga keberhasilan sekaligus penegasan atas eksistensi dan dominasi kekuatan tradisional di Piala Dunia yang telah berlangsung selama delapan dekade lamanya.
   
Dominasi itu tidak terbantahkan hingga gelaran Piala Dunia merampungkan edisi ke-22 di Qatar. Untuk diketahui bahwa sebutan terhadap beberapa tim yang dicap sebagai kekuatan tradisional di Piala Dunia adalah sebutan istimewa. Kata beberapa di sini menunjukan bahwa tidak semua tim punya label terhormat semacam itu. Meskipun gelar juara dunia didominasi oleh kontestan yang berasal dari Eropa dan Amerika Selatan, tidak berarti seluruh kontestan yang berasal dari kedua benua tersebut menyemat label sebagai kekuatan tradisional. 

Sebagai contoh, dari 51 negara merdeka yang terdapat di Eropa hanya ada lima negara saja yang pernah menyabet gelar juara dunia yakni Jerman dan Italia masing-masing empat kali, Prancis (2), serta Inggris dan Spanyol masing-masing satu kali. Sedangkan di Amerika Selatan yang mencakup 12 negara berdaulat dan 3 wilayah teritori hanya dimenangkan oleh Brasil (5), Argentina (3), dan Uruguay (2).
 
Apakah seluruh negara yang pernah mencicipi gelar paling bergengi di muka bumi itu merupakan deretan negara yang menjadi kekuatan tradisional di Piala Dunia? Sayangnya tidak. Mari kita telaah dan cermati bersama. 

Memperjelas definisi 

Kekuatan tradisional adalah predikat prestisius yang menuntut beberapa parameter di antaranya konsistensi sebagai langganan juara, keikutsertaan, serta capaian tinggi lainnya di setiap gelaran turnamen di luar gelar juara. Misalnya meraih peringkat sebagai runner up atau sekurang-kurangnya peringkat ketiga. Tetapi dari beberapa aspek tadi yang paling utama ialah konsistensinya sebagai langganan juara.

Dengan lain perkataan tidak semua negara yang pernah mencicipi gelar juara dunia bisa dianggap sebagai kekuatan tradisional di Piala Dunia. Inggris dan Spanyol misalnya tidak termasuk kategori sebagai tim yang menjadi langganan juara Piala Dunia. Kedua negara ini baru mengoleksi masing-masing satu trofi sepanjang 22 kali gelaran Piala Dunia.
 
Nama selanjutnya adalah Urugay. Kendati Uruguay berhasil menyabet dua trofi Piala Dunia, tetapi konsistensinya sebagai langganan juara tidak terlihat lagi. Uruguay meraih dua gelar ketika trofi bergengsi ini masih bernama Jules Rimet. Dengan lain perkataan bahwa dua gelar juara itu diraih pada masa yang benar-benar lampau yang dari aspek jumlah kontestan juga tidak sebanyak seperti sekarang.
 
Ringkasnya, label kekuatan tradisional agaknya kurang begitu cocok disematkan terhadap tim atau negara yang sejauh ini tidak memperlihatkan konsistensinya sebagai langganan juara. Atau sekurang-kurangnya hampir langganan juara. Meskipun Uruguay, Spanyol, dan Inggris pernah menjuarai Piala Dunia, tetapi konsistensi yang diperlihatkan sebagai gejala atau tanda yang jelas tidak benar-benar Nampak. 

The Real kekuatan tradisional

Gejala paling nampak justru diperlihatkan oleh negara yang juga mengoleksi dua trofi Piala Dunia yakni Prancis. Berbeda dengan Uruguay, Prancis terlihat lebih konsisten sebagai penantang serius dalam beberapa dekade. Prestasi tertinggi Prancis sebelum menjadi juara di 1998 dan 2018 adalah pernah meraih peringkat tiga di 1958 dan 1986. 

Prancis juga pernah menjadi runner up di 2006 dan 2022. Prancis menjadi negara Eropa ketiga yang paling banyak menembus babak final yakni sebanyak empat kali. Catatan itu hanya kalah dari dua raksasa Eropa lainnya yaitu Jerman delapan kali dan Italia enam kali. 

Di atas Prancis terdapat Argentina sebagai juara edisi terbaru yang mengoleksi tiga trofi. Ketiga trofi itu diraih Argentina di 1978, 1986, dan 2022. Argentina juga pernah menjadi runner up sebanyak tiga kali yang berarti bahwa negeri ini menembus partai puncak sebanyak enam kali. Catatan gemilang yang ditorehkan Argentina dalam beberapa gelaran Piala Dunia membuatnya sangat layak dijuluki sebagai kekuatan tradisional di Piala Dunia. 

Kini tibalah saatnya kita mencapai jajaran tim yang menjadi kekuatan tradisional yang sebenarnya di Piala Dunia. Deretan tim tersebut tidak lain adalah Brasil (5), Jerman (4), dan Italia (4). Ketiga nama ini terkenal dengan konsistensinya sebagai langganan juara. Bagaimana tidak, dari 22 trofi yang telah diperebutkan, 13 di antaranya dimiliki oleh ketiga negara tersebut. Kendati Brasil, Jerman, dan Italia pernah mengalami masa-masa pahit dan naik turun (up and down), tetapi mereka merupakan langganan juara paling konsisten. 

Dominasi di tiap dekade

Catatan sejarah yang ditorehkan oleh Brasil, Jerman, dan Italia akan sulit dibantah. Mereka adalah raja Piala Dunia di setiap dekade. Fakta sejarah menunjukan bahwa tiada satu dekade berlalu tanpa salah satu dari mereka mengangkat trofi. 

Piala Dunia yang telah berlangsung selama delapan dekade ini telah mementaskan dua sampai tiga kali Piala Dunia dalam satu dekade dengan rincian; dekade pertama tiga kali (1930, 1934, dan 1938). Memasuki 1940an, Piala Dunia ditiadakan karena kondisi dunia yang tengah diliputi perang. Karena itu dalam kalender Piala Dunia, dekade kedua baru dimulai di 1950an. Pada dekade kedua ini Piala Dunia digelar selama tiga kali yakni 1950, 1954, dan 1958.

Selanjutnya pada dekade ketiga, dua kali (1962 dan 1966). Dekade keempat tiga kali (1970, 1974, dan 1978). Dekade kelima dua kali (1982 dan 1986). Dekade keenam tiga kali (1990, 1994, dan 1998). Dekade ketujuh dua kali (2002 dan 2006). Dekade kedelapan tiga kali (2010, 2014, dan 2018). 
 
Pada dekade pertama ada Italia yang juara di 1934 dan 1938. Dekade kedua ada Jerman yang juara di 1954 dan Brasil di 1958. Selanjutnya, dekade ketiga Brasil juara 1962. Dekade keempat Brazil juara di 1970 dan Jerman di 1974. Dekade kelima Italia juara di 1982. Dekade keenam, Jerman juara di 1990 dan Brasil di 1994. Dekade ketujuh, Brasil juara di 2002 dan Italia di 2006. Sedangkan pada dekade kedelapan ada Jerman yang juara di 2014.

Praktis selama delapan dekade, ketiga tim yang menjadi kekuatan tradisional itu saling bergantian mencantumkan nama mereka masing-masing. Tren tersebut belum terpatahkan hingga kini. Jika tren ini berlanjut, Piala Dunia 2026 dan 2030 seharusnya dimenangkan oleh Jerman, Brasil, atau Italia.
 
Keberpihakan sejarah 

Catatan sejarah mentereng yang ditorehkan oleh tim-tim yang menjadi kekuatan tradisional di Piala Dunia seolah menunjukan bahwa sejarah punya keberpihakan yang besar terhadap mereka. Di lain sisi, kesempatan untuk meruntuhkan dominasi kekuatan tradisional bukannya tidak pernah ada. Kesempatan itu pernah datang khususnya seperti yang terjadi di 2002 dan terakhir di 2022. 

Pada dua edisi tersebut, dunia sepak bola berpeluang untuk menampilkan final yang dimainkan oleh tim di luar kekuatan tradisional atau tim nonunggulan. Ketika itu terdapat dua tim nonunggulan yakni Turki dan Korea Selatan yang berhasil menembus babak semi final Piala Dunia 2002. Sayangnya kesempatan besar itu kemudian sirna setelah Turki disingkirkan Brasil dan Korea Selatan disingkirkan Jerman.
 
Peluang untuk menghadirkan final yang dimainkan oleh dua tim nonunggulan kembali terbuka pada Piala Dunia Qatar 2022. Sayangnya, diskursus dunia tentang potensi final yang dimainkan dua tim nonunggulan dan potensi lahirnya juara baru harus sirna. Kroasia dan Maroko harus mengakui keperkasaan dua super power macam Argentina dan Prancis yang akhirnya melenggang ke partai puncak. 

Kenyataan ini membuat penulis meyakini bahwa kekuatan tradisional telah mengalami perluasan definisi, dari yang semula sebagai langganan juara kemudian bertransformasi sebagai 'isme' yang begitu kuat dan sukar untuk digoyahkan. Piala Dunia edisi terakhir yang sudah rampung minggu lalu semakin menegaskan bahwa tradisionalisme sekali lagi menjadi raja yang tidak tergoyahkan. 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat