visitaaponce.com

Solusi Dilema Penetapan Harga Gabah

Solusi Dilema Penetapan Harga Gabah
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PENETAPAN harga gabah oleh pemerintah merupakan suatu hal yang dilematis. Jika harga gabah terlalu rendah, hal itu akan merugikan petani dan masyarakat akan diuntungkan. Sebaliknya, jika harga gabah terlalu tinggi, hal itu akan menguntungkan petani, tapi menyusahkan masyarakat.

Sejatinya, harga gabah yang terlalu rendah akan menurunkan derajat kesejahteraan petani. Jika hal itu terjadi secara berlarut, dikhawatirkan sektor pertanian akan ditinggalkan, dan mengancam masa depan pertanian. Celakanya, pertanda akan ditinggalkannya sektor pertanian itu dapat diketahui dari hasil Sensus Pertanian (ST) 2003 dan ST 2013. Tercatat, selama 2003-2013 petani berkurang 5,04 juta, dari 31,17 juta pada 2003 menjadi 26,13 juta pada 2013.

Namun, jika harga gabah atau beras terlalu tinggi, akan menggerus daya beli masyarakat dan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan serta menurunkan asupan gizi masyarakat, terutama pada golongan bawah. Pada tahap lanjut, harga beras yang terlalu tinggi akan menyebabkan pengeluaran masyarakat bawah terkonsentrasi pada beras, dan menurunkan pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. Hal itu pada gilirannya akan mengancam kualitas SDM ke depan.

Maka dari itu, pemerintah perlu menetapkan harga gabah secara adil, yang tidak merugikan petani maupun memberatkan masyarakat. Namun, persoalannya ialah bukan perkara mudah menetapkan harga adil dimaksud.

 

Soal harga

Merujuk pada Surat Edaran Badan Pangan Nasional Nomor 47/TS.03.03/K/02/2023 tentang harga pembelian, harga batas atas gabah atau beras di tingkat petani sebesar Rp4.550 per kilogram. Di sisi lain, harga batas bawah gabah atau beras berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 ditetapkan Rp4.200 per kilogram.

Sementara itu, BPS mencatat rata-rata harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Januari 2023 sebesar Rp5.837 per kilogram, atau naik Rp484 jika dibandingkan dengan harga rata-rata GKP pada Januari 2019 (Rp5.353 per kilogram). Itu berarti, tingkat kenaikan harga GKP selama 2019-2023 sebesar 9,04%.

Dengan tingkat inflasi tahunan rata-rata sebesar 5% atau kumulatif sekitar 20% selama 2019-2023, maka harga gabah secara riil menurun. Hal itu tentunya akan berdampak pada penurunan derajat kesejahteraan petani.

Berdasarkan laman Wikipedia, lambatnya perkembangan harga produk pertanian juga pernah terjadi di Amerika Serikat (AS). Harga produk pertanian praktis tidak banyak berubah sejak 1890. Maka, Presiden Franklin D Roosevelt pada 1993 pernah menetapkan perundangan Penyesuaian Pertanian (The Agriculture Adjustment Act). Adapun tujuannya ialah meningkatkan harga produk pertanian dengan cara menurunkan suplai melalui pembatasan output pertanian, seperti jagung, gandum, kapas, kacang-kacangan, susu, dan tembakau.

 

Peran subsidi

Namun, kebijakan yang ditempuh dengan membatasi produk pertanian untuk menaikkan harga dinilai tidak tepat jika diterapkan di Tanah Air. Sebab, meski dapat menaikkan harga, pembatasan produk pertanian akan menimbulkan kelangkaan pangan. Secara faktual, hal itu agak berbeda dengan di AS, yakni ketika terjadi kelangkaan pada satu jenis produk pertanian, masyarakat dapat beralih ke jenis produk pangan lainnya. Diversifikasi pangan dan kemampuan masyarakat yang cukup besar di AS membuat jarang terjadi kerawanan pangan di negara itu.

Sebaliknya, masyarakat di Tanah Air masih belum terbiasa melakukan diversifikasi pangan dan masih bergantung pada beras. Bahkan, ketika cadangan beras menipis, pemerintah segera melakukan impor dan mengadakan operasi pasar untuk meredam kenaikan harga.

Ke depan, cara-cara seperti itu sepatutnya dikurangi. Pemerintah diharapkan fokus meningkatkan produk pertanian, tapi tanpa mengorbankan kesejahteraan petani. Hal itu antara lain dapat ditempuh melalui pemberlakuan subsidi secara cermat, terukur, dan berdampak positif bagi petani.

Subsidi terhadap petani sepatutnya tidak dilakukan secara seragam. Sebab, persoalan yang dihadapi petani berbeda antarwilayah di Tanah Air, seperti soal irigasi, input pertanian, alat pertanian, teknik pengolahan lahan, proses produksi, tenaga kerja, kredit usaha, dan pemasaran.

Secara umum, persoalan yang kerap dihadapi ialah petani di Tanah Air terkepung di antara dua kutub pada masa tanam dan masa panen. Pada masa tanam, petani dihadapkan pada kelangkaan input pertanian seperti pupuk dan bibit, dan jika pun tersedia harganya mahal. Sebaliknya pada masa panen, harga produk pertanian turun.

Maka, salah satu tujuan dari subsidi ialah memutus lingkaran yang menjerat petani demi menurunkan biaya produksi sehingga dapat memperbesar margin keuntungan petani.

Dalam konteks itu, untuk memperbesar efektivitas subsidi tampaknya perlu melakukan outward looking belajar dari penerapan subsidi di negara lain. Secara faktual, pemberlakuan subsidi kini berlaku secara universal dengan total subsidi pada tataran global menurut Food Agriculture Organization (FAO) selama 2013-2018 sebesar US$540 miliar per tahun.

Kebijakan subsidi di Eropa, misalnya, utamanya diberlakukan pada tiga hal. Yaitu, mendukung petani dan produktivitas pertanian, memastikan kelayakan hidup petani serta menghidupan perekonomian perdesaan, membuka kesempatan kerja di perdesaan dan meningkatkan industri pertanian dan sektor terkait (European Comission, 2018).

Tujuan subsidi yang hampir sama juga kini diberlakukan di AS, yakni stabilisasi pasar, membantu petani berpendapatan rendah, dan pengembangan perdesaan (History of Agriculture Subsidies in the US and EU, 2018).

Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu melakukan terobosan demi mencari solusi atas dilema penetapan harga gabah yang adil sehingga tidak merugikan petani dan menyengsarakan masyarakat. Diyakini, salah satu instrumen yang cukup tepat keluar dari dilema itu ialah dengan menerapkan subsidi yang tepat sasaran.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat