visitaaponce.com

Kewarganegaraan Ganda, Pemilu, dan Indonesia Masa Depan

Kewarganegaraan Ganda, Pemilu, dan Indonesia Masa Depan
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PADA 17 Agustus 2023 lalu, kita berpesta merayakan hari ulang tahun ke-78 kemerdekaan Indonesia. Perayaan ini sekaligus menjadi pengingat semangat para pejuang kemerdekaan Indonesia yang gugur dalam memperjuangkan Tanah Air. Di setiap tanggal yang sama, setiap tahun, kita selalu menatap balik, merenungi kembali apa arti kemerdekaan sesungguhnya yang diimpikan para pendiri bangsa. Dan, setiap kali kita merenungi itu, selalu yang muncul ialah cita-cita pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.

Saya, setiap kali merenungi kalimat para pendiri bangsa ini, selalu bertanya, apakah kita sudah cukup besar hati mengakui kemerdekaan bangsa kita sendiri? Atau setidaknya kemerdekaan anak-anak bangsa kita? Anak-anak bangsa yang lahir dari rahim ibu-ibu bangsa atau yang di darahnya mengalir jiwa Merah-Putih dari bapak-bapak bangsa kita. Sebab, sampai sekarang, 78 tahun setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Ir Soekarno, kita masih belum juga bisa menentukan bagaimana nasib anak-anak bangsa kita yang dulu pernah terbuang dari tanah airnya sendiri.

Sejak 58 tahun silam, ketika pemerintahan Orde Baru mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno, banyak anak bangsa kita yang terkungkung jalur pulangnya. Mimpi mereka untuk kembali mencium tanah lempung Indonesia tak sudi menjadi nyata lantaran dianggap sebagai orang-orang yang menentang pemerintahan Orde Baru, atawa dianggap tidak mendukung pemerintahan Soeharto. Mereka terbuang-terusir dari negaranya sendiri. Nasib mereka tidak menentu di negara-negara Barat dan Eropa.

Sampai sekarang, sejak peristiwa paling memilukan dalam sejarah Indonesia itu terjadi, mereka masih juga belum bisa pulang ke dalam dekapan tanah yang melahirkan mereka. Puluhan tahun, bahkan nyaris setengah abad, keinginan mereka untuk pulang tidak mampu kita ejawantahkan. Mungkin saja, hanya mungkin, setelah setengah abad berlalu, kini darah mereka pun tidak hanya mengalirkan warna Merah-Putih. Boleh jadi kini sudah bercampur biru, oranye, kuning, ungu, atau warna-warna lainnya. Dan, negara kita tidak bisa, atau belum bisa, menerima pencampuran warna itu.

Pemerintah kita memang sudah berupaya untuk memulangkan anak-anak bangsa yang terbuang dari negara-negara tempat mereka bersuaka sekarang. Membujuk mereka untuk kembali menjadi Merah-Putih. Tetapi bagaimana mungkin kita mengurai warna yang telah bercampur-campur itu menjadi hanya merah dan putih? Saya membaca, pengakuan para eksil atau diaspora dalam wawancara dengan sejumlah media, menginginkan warna mereka tetap bercampur. Mereka ingin dwikewarganegaraan. Wajar, setelah nyaris setengah abad berlalu, tentu tidak mudah mengurai warna-warna lain yang telah bercampur dalam darah mereka itu.

Di sisi lain, permintaan ini pastilah berat bagi pemerintah Indonesia. Sebab, sampai sekarang rezim hukum kita hanya mengakui kewarganegaraan tunggal atas dasar keturunan dan dwikewarganegaraan terbatas alias affidavit. Kita menampik fakta bahwa kini ada 6 juta-15 juta jiwa orang Indonesia yang hidup di luar negeri. Hanya 4 juta di antaranya tercatat sebagai WNI. Jumlah mereka teramat banyak untuk tidak kita anggap sebagai sebuah hal yang penting.

Data ini semestinya menjadi pertimbangan Indonesia untuk mulai membahas kemungkinan menerima permintaan para diaspora. Sistem dwikewarganegaraan perlu dipertimbangkan untuk mencapai cita-cita para pendiri bangsa. Toh, fakta secara internasional menunjukkan sudah banyak negara yang mau mengakomodasi sistem kewarganegaraan ganda. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Profesor Satya Arinanto mencatat, ada 44 negara yang kini telah menerapkan sistem kewarganegaraan ganda. Di antaranya, Turki, Amerika Serikat, Italia, Australia, Kanada, dan Prancis.

Sistem yang sama agaknya penting untuk mulai diadopsi Indonesia. Para diaspora perlu mendapat perhatian sebagai segmen warga negara khusus yang keberadaannya, suaranya, dan keahliannya bisa mengubah arah pembangunan Indonesia di masa depan. Sebab, faktanya, mereka memang telah dan bisa memainkan peran penting bagi pembangunan Indonesia.

Banyak dari mereka yang merupakan orang-orang dengan keahlian tinggi dalam bidang tertentu, dan sebagian lain merupakan warga negara superkaya alias high-networth. Kekayaan dan keahlian yang mereka dapat menjadi modal tambahan bagi Indonesia untuk menentukan arah pembangunan di masa depan.

Dalam konteks bernegara, jumlah diaspora yang cukup besar juga penting dalam menentukan arah kepemimpinan bangsa di masa mendatang. Apalagi, sebentar lagi Indonesia juga akan memasuki pesta demokrasi besar pada 2024. Di mana saat itu, seluruh rakyat Indonesia diberi hak untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya di pemerintahan. Jumlah diaspora yang besar, boleh jadi akan cukup memengaruhi hasil akhir perolehan suara pada kontestasi Pemilu 2024.

Adopsi sistem kewarganegaraan ganda bisa menjadi jalan keluar bagi aspirasi dan tuntutan para diaspora maupun eksil yang telah lama merindukan untuk mencium tanah airnya sendiri. Sistem ini akan secara alamiah memecahkan persoalan anak-anak bangsa yang selama ini tertunda, khususnya bagi mereka yang pernah terbuang. Misalnya, persoalan kesejahteraan bagi warga pro Indonesia eks Timor Timur. Kemudian kemudahan proses pendataan dan pencatatan WNI yang kini telah didata oleh Indonesia Diaspora Network. Plus, persoalan anak-anak bangsa lainnya yang lahir dari keluarga eks WNI yang sampai sekarang tidak bisa pulang ke Indonesia.

Sistem dwikewarganegaraan juga bakal berdampak positif bagi Indonesia untuk mencari bakat-bakat unggul dalam berbagai bidang, termasuk cabang olahraga. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), misalnya, bisa mencari bakat-bakat unggul sepak bola berdarah Indonesia di luar negeri untuk mengisi skuad timnas Indonesia. Indonesia juga bisa saling bertukar keilmuan, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan para diaspora berkualitas intelektual tinggi yang kini lebih memilih mengabdi di luar negeri.

Secara nyata, sistem ini bisa mulai dijajaki dengan menjalin komunikasi ke beberapa negara yang juga sudah menerapkan sistem serupa, misalnya Turki, Prancis, Amerika Serikat, Italia, dan beberapa negara lain. Asas resiprositas alias timbal balik dapat diterapkan sebagai langkah awal mengejawantahkan sistem ini. Saya dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memulai wacana ini dengan membuka pintu dialog bersama organisasi diaspora dan ahli-ahli hukum.

Ke depan, saya dan PKB juga akan berbicara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Legislasi DPR untuk mulai mencanangkan RUU dwikewarganegaraan. Saya dan PKB akan mendorong agar RUU dwikewarganegaraan bakal menjadi agenda prioritas DPR pada 2023 dan 2024. Meski ini tidak akan mudah, karena mungkin akan banyak elemen politik yang menolak atas alasan keamanan, saya dan PKB berkomitmen bakal menjadi garda terdepan untuk memperjuangkan RUU dwikewarganegaraan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat