visitaaponce.com

Kampanye Pileg yang Terpinggirkan

Kampanye Pileg yang Terpinggirkan
(Dok. Pribadi)

TAHAPAN penyelenggaraan pemilu serentak 2024 telah memasuki fase krusial, yakni tahapan kampanye yang dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Kampanye menjadi momentum untuk peserta pemilu menarasikan visi, misi, dan program termasuk upaya untuk meraih simpati pemilih sehingga bisa terbangun koneksi dengan rakyat atas janji yang disampaikan.

Dalam perspektif komunikasi politik dan ruang publik Jurgen Habermas (2007), kampanye merupakan komunikasi politik strategis untuk membangun diskursus publik, yang memungkinkan perseteruan gagasan dan argumentasi sehingga terwujud kampanye inklusif dan komunikasi dua arah (two way communication).

Masa tahapan kampanye yang telah berlangsung selama satu pekan ini, hasil pemantauan Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, perhatian publik lebih besar ke pemilihan presiden jika dibandingkan dengan pemilihan legislatif. Sebagian besar pemilih belum menentukan pilihan mereka untuk pemilihan legislatif.

Hal itu juga diperkuat oleh jajak pendapat Kompas, yakni sekitar 76,5% responden lebih tertarik mengikuti kampanye pemilihan presiden-wakil presiden. Sementara itu, hanya 12,3% responden yang lebih tertarik dengan kampanye calon anggota legislatif dan sisanya cenderung menjawab di tengah-tengah, yakni mengaku tertarik pada keduanya.

Potret itu tentu tidak mengejutkan sebab hasil evaluasi pemilu serentak 2019 menunjukkan bahwa pemilu lima kotak hanya memberikan insentif tingkat partisipasi pemilih. Namun, untuk efek ekor jas dan kecerdasan pemilih belum terbukti (Nurhasim, 2019). Begitu pun dengan hasil evaluasi pasca-Pemilu 2019 yang dirilis LIPI mencatat, mencoblos lima surat suara (Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) menyulitkan pemilih sehingga sebagian besar perhatian publik tertuju pada proses pemilu presiden jika dibandingkan dengan pemilu legislatif.

Selain itu, angka disparitas surat suara tidak sah di Pemilu 2019 cukup tinggi, yaitu mencapai 17,5 juta dari surat suara untuk pemilihan anggota DPR, atau setara dengan 11,12% dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya di pemilu. Jumlah suara tidak sah itu melampaui rata-rata dunia soal surat suara tidak sah di pemilu yang hanya berada di angka 3%-4%.

 

Tantangan kampanye pileg

Masa tahapan kampanye yang sangat pendek, 75 hari memiliki dampak bagi pemilih yang tidak memiliki cukup waktu mengenali rekam jejak kandidat legislatif yang jumlahnya puluhan ribu. Caleg DPR RI yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebanyak 9.917 orang yang tersebar di 84 daerah pemilihan untuk memperebutkan 580 kursi. Sementara itu, untuk caleg DPD RI sejumlah 668 orang yang tersebar di 38 provinsi untuk berebut 152 kursi. Belum lagi caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Waktu kampanye yang singkat juga memiliki implikasi yang serius untuk peserta pemilu. Mereka tidak dapat menjangkau daerah lebih luas serta mempersuasi pemilih yang beragam. Sejatinya, dengan situasi pemilu yang sangat besar dan dinamis, kondisi geopolitik, budaya, multikultur, ditambah lagi terdapat banyak partai politik dan calon, serta daerah pemilihan yang luas, dibutuhkan durasi kampanye yang panjang. Hal itu bertujuan agar calon pemilih bisa mengenal peserta pemilu (Gumay, 2022).

DEEP memantau aktivitas kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas di daerah masih sepi dari caleg, baik itu DPD RI, DPR RI, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota. Hanya alat peraga kampanye yang terlihat dan terpasang di sepanjang jalan. Banyaknya caleg yang ikut berkontestasi di pemilu serentak 2024 memang tidak mudah untuk menjadikan top of mind di pemilih.

Aaker dalam karyanya berjudul Building Strong Branding (2002), untuk mencapai pada puncak dan dikenal, membutuhkan brand awareness atau adanya kesadaran. Dalam membangun brand awareness setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan, di antaranya pesan yang disampaikan harus mudah diingat, memiliki simbol, publicity, serta pesan yang disampaikan berulang-ulang.

Hal itu menjadikan tantangan tersendiri untuk partai dan caleg yang baru maju di Pemilu 2024 dengan tahapan kampanye yang pendek. Ada kecenderungan caleg berkampanye di akhir tahapan kampanye, yang membuat pemilih tidak memiliki referensi yang kuat dari caleg. Dengan kondisi dinamika kondisi perilaku pemilih di Indonesia terutama dalam jangka waktu dua pemilu terakhir, yakni Pemilu 2014 dan 2019, kita menghadapi fakta politik dan menguatnya kefiguran dalam kontestasi politik. Fenomena itulah yang menyebabkan mengapa party ID di Indonesia lemah.

Hasil survei nasional yang dilakukan Indikator Politik Indonesia (2021) menunjukkan bahwa sekitar 92,3% pemilih merasa tidak dekat dengan pemilih. Rendahnya party ID dan ketokohan yang menguat menjadi indikasi terjadinya pragmatisme politik. Hal itu tentu berdampak buruk terhadap wajah perhelatan Pemilu 2024.

MI/Seno

 

Minimnya informasi caleg

Kondisi tersebut juga diperparah dengan minimnya informasi caleg yang disuguhkan KPU di website infopemilu.kpu.go.id pasca-DCT ditetapkan sehingga masyarakat tidak bisa mengetahui informasi caleg secara komperhensif, baik itu dari riwayat pendidikan, politik gagasan, pengalaman di politik dan organisasi, maupun informasi lain yang dibutuhkan pemilih.

KPU beralasan bahwa hal itu ialah informasi yang dikecualikan dan perlindungan data pribadi. Padahal, Komisi Informasi Pusat menyampaikan informasi yang dikecualikan setidaknya harus memenuhi tiga asas, yakni sifatnya terbatas, telah dilakukan uji konsekuensi, dan sifat informasinya tidak permanen.

Sejauh ini, uji konsekuensi terhadap daftar riwayat hidup caleg belum dilakukan untuk melihat seperti apa dampak positif dan negatif dari informasi yang ditetapkan dalam format berkekuatan hukum. Hal itu yang kemudian menjadi polemik di kalangan masyarakat sipil karena ada keterbatasan komunikasi informasi sehingga timpang. Hanya secara teknis sebetulnya jika ada informasi yang dikecualikan tutup saja, tetapi informasi lainnya dibuka karena publik juga ada right to know, hak untuk tahu calon wakil rakyat yang hendak dipilihnya.

Publik juga harus bisa memastikan bahwa yang bersangkutan itu memenuhi syarat sebagai caleg. Narasi pemilu inklusif dan terbuka yang kerapkali digaungkan seakan menjadi paradoks tatkala ketertutupan masih menjadi kendala utama dalam membangun demokrasi yang mapan.

Temuan dan penelusuran yang dilakukan beberapa media, terdapat adanya 18 orang dari total 27 mantan terpidana kasus korupsi yang telah ditetapkan sebagai calon DPR RI Pemilu 2024, status hukumnya disembunyikan. Ketika sejak awal para caleg sudah tidak jujur bagaimana hendak membangun demokrasi yang sehat dan menciptakan fairness kontestasi antarsatu peserta pemilu dengan peserta pemilu yang lain.

Hal itu tentu membutuhkan konfirmasi dari penyelenggara pemilu karena jangan sampai pemilih digiring untuk melemahkan gerakan anti korupsi yang selama ini telah susah payah dibangun. Penyelenggara harus memiliki komitmen kuat untuk memberantas korupsi yang sudah kronis. Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu sudah seharusnya menyampaikan hasil pengawasan kepada publik sesuai dengan wewenang yang diamanatkan dalam undang-undang pemilu, tetapi pada faktanya Bawaslu tidak menyampaikan hasil pengawasan itu kepada publik dengan transaparan dan akuntabel.

Lembaga demokrasi seperti penyelenggara pemilu harus mampu mentransformasikan dirinya menjadi lembaga yang terbuka, partisipatif, aksesibel, dan akuntabel sebagai bentuk perwujudan dari demokratisasi dalam menciptakan masyarakat informatif dan berkeadilan.

Dalam teori tindakan komunikatif dan buku yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), masyarakat komunikatif dapat melakukan kritik melalui argumentasinya dengan diskursus publik (Hardiman, 2009). Ruang publik sebagai ruang demokrasi dapat memfasilitasi antara penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pemilih dengan dinamika komunikasi yang sehat dan rasional.

Terlebih, saat ini pemilih sangat membutuhkan untuk membangun koneksi dua arah dengan calon wakil rakyatnya, agar tidak salah pilih di TPS. Sinyal itu semestinya bisa ditangkap dengan baik oleh penyelenggara pemilu. Jadikan civil society sebagai mitra strategis untuk dapat mewujudkan kampanye pemilu yang berkeadilan dan berkeadaban.

 

Branding dan pengemasan isu

Pengetahuan pemilih terhadap caleg lebih rendah jika dibandingkan dengan capres-cawapres atau parpol. Seluruh pihak memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kampanye inklusif dan meningkatkan pengetahuan pemilih, terutama tentang pemilu legislatif. Dibutuhkan branding dan pengemasan isu pileg secara massif terutama peran media yang memiliki peranan krusial dalam membentuk opini publik di masyarakat.

Posisi media menjadi jembatan komunikasi untuk mengemas pesan dan kampanye pileg menjadi luas. Bagaimanapun, pers selalu menjadi garda terdepan dalam memberitakan isu krusial di tahapan kampanye. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2003), salah satu elemen jurnalisme ialah berupaya membuat isu menjadi penting, menarik, dan relevan.

Selain media, kampanye pileg juga perlu disuarakan oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu, civil society, dan pemerintah. Caleg juga perlu hadir dengan gagasan progresif yang memiliki koneksi isu dengan kebutuhan pemilih di daerah pemilihan sehingga terbangun koneksi emosional. Di samping itu, caleg penting untuk mengedepankan integritas, moralitas, dan keadaban sehingga dapat naik kelas dari politikus menjadi negarawan.

Dengan sendirinya, kredibilitas dan kepercayaan pemilih dapat terbangun dengan baik. Barangkali model komunikasi Trump layak menjadi pelajaran untuk para politikus di Indonesia. Meski dengan penampilan menarik, fisik menyenangkan jika kredibilitasnya rendah akan terjungkal (Mulyana, 2021). Upayakan caleg terlibat dalam komunitas terutama anak-anak muda yang melek politik sehingga transaksional yang terjadi ialah ide dan gagasan bukan hal pragmatis.

Partisipasi caleg untuk hadir dalam kegiatan warga menunjukkan bentuk tanggung jawab dan keterbukaan dengan pemilih, serta mendengarkan apa yang menjadi aspirasi dan kebutuhan pemilih. Dalam ilmu komunikasi, mendengarkan ialah kemampuan komunikasi terbaik. Persuasive communication juga menjadi hal yang sangat penting dalam penyampaian visi dan misi, serta inovasi apa yang bisa dihadirkan untuk menjadi solusi permasalahan di dapil.

Strategi komunikasi yang dilakukan tentu harus dapat dimengerti menjadi kunci dalam komunikasi efektif. Jangan terlalu banyak norak dengan gimik atau joget-joget yang tidak substansi dan tidak laku di generasi muda.

Komitmen serta konsistensi yang berbasis pada politik nilai dengan tidak menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan akan mengonstruksi masyarakat bahwa caleg itu jujur dan bermoral. Tak lupa, kehadiran civil society sebagai kontrol sosial juga penting untuk mendorong masyarakat lebih bertanggung jawab dalam memilih caleg di dapilnya. Dengan begitu, akan tercipta kampanye pileg yang inklusif, responsif, setara, dan berpihak pada kepentingan masyarakat.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat