visitaaponce.com

Blunder tidak Mundur dari Jabatan

Blunder tidak Mundur dari Jabatan
(Dok. Pribadi)

PERATURAN Pemerintah (PP) No 53/2023 tentang tidak diperlukannya lagi mundur dari jabatan bagi pejabat publik yang mengikuti kontestasi pemilu akhirnya menjadi bumerang bagi capres Prabowo. Ajudannya, Mayor (TNI) Teddy Indra Wijaya, tertangkap kamera berada di tengah-tengah barisan paslon nomor urut 2 dalam debat pertama capres pada 12 Desember 2023 lalu. Mayor Teddy tentu saja menjawab kapasitasnya sebagai ajudan Menhan karena capres Prabowo Subianto masih pejabat aktif sebagai Menteri Pertahanan. Ajudan tentu saja tidak boleh jauh karena berhubungan dengan keamanan dan keselamatan Menhan.

Pihak TNI yang diklarifikasi tentu saja ilfil dengan kejadian itu karena KSAD dan Panglima TNI jelas-jelas memerintahkan seluruh prajuritnya menjaga kenetralan dari politik praktis. Dijawab apa pun tentu selalu ditemukan celah pelanggarannya. Jika dijawab bukan sebagai TNI karena tidak berseragam, bukankah profesi tentara 24 jam 7 hari seminggu? Jika dijawab sebagai ajudan Menhan, saat itu Prabowo bukan menjalankan tugas menteri. Posisi itu membuat sulit TNI, pun membuat sulit pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran.

Kini Kementerian Dalam Negeri juga harus ikut-ikut membuat argumen pada soal ini yang sebetulnya rakyat sudah tahu jawabannya. Menurut Mendagri Tito, Mayor Teddy sedang dalam posisi penyamaran untuk pengamanan Menhan. Agak lucu sebetulnya alibi yang dibangun Tito. Menyamar, tapi wajahnya sudah demikian dikenal. Netizen tidak kurang cerdas. Jika penyamaran, artinya fungsi Prabowo sebagai Menhan, padahal tanggal 12 Desember 2023 itu Prabowo menjalankan agenda KPU untuk menjalankan debat capres.

Belum hilang masalah ajudan Menhan Prabowo, kini juga tampak jelas Menteri aktif BUMN Erick Thohir berada di barisan pendukung paslon nomor urut 2 dalam debat keempat pada 21 Januari 2024. Menteri Erick memang mengakui bahwa secara pribadi sudah berkunjung ke kediaman capres Prabowo dan mendukung paslon 2 kali ini. Selama ini Menteri Erick menunggu waktu dan waktu itu telah tiba untuk menentukan sikap.

 

Harusnya mundur atau cuti

Kontestasi Pemilu 2024 ini memang unik dan potensial menjadi pemilu yang tidak kredibel. Riuhnya dimulai karena putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023 tentang batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Kekeruhan proses peradilan MK tersebut akhirnya memicu dibentuknya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sehingga lahir putusan No 2/MKMK/L/11/2023 tentang Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi pada 7 November 2023.

Kendati putusan MK bersifat final dan mengikat, MKMK sudah menyematkan MK melakukan pelanggaran etika berat dengan konsekuensi pencopotan Ketua MK Anwar Usman. Di mata masyarakat hukum Indonesia, putusan MK No 90 cacat etik dan para hakim penjunjung etik tentu akan segan menjalankan putusan itu. Putusan tersebut menjadi putusan yang tidak bisa dieksekusi (not executable). Ironisnya, berlandaskan putusan tersebut, elite politik dengan oligarkinya tutup mata dengan mengusung putra mahkota untuk adu nasib dalam kontestasi pemimpin tertinggi cawapres Indonesia 2024-2029.

Tidak berhenti sampai pencalonan, kekuasaan kemudian mengubah PP 32/2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri dalam Pencalonan Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden, Permintaan Izin dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta Cuti dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum menjadi PP 53/2023. PP itu mengubah tata kelola pejabat ikut kontestasi secara fundamental, dari semula masih ada etiknya, tetapi kini etik itu dihilangkan sama sekali.

PP 32/2018 sebetulnya lebih arif dan bermuatan tata kelola yang lebih governansi. Kisah seperti Mayor Teddy tidak akan terjadi jika masih ada PP 32. Instansi Teddy aman, capresnya juga aman, timses aman, partai pengusungnya juga aman, dan pemerintah aman pula. Jika misalnya capres Prabowo sudah mundur atau cuti, sudah jelas tidak ada fasilitas negara pun yang mengikuti capres. Tidak ada atribut pemerintah, malah tidak ada ajudan yang berasal dari institusi negara. Pemerintah pun aman karena tidak menjadi bahan pergunjingan netizen karena sudah terbukti netral. Kini, munculnya Menteri Erick juga bakal menuai polemik dan ujung-ujungnya kredibilitas pemerintahan Presiden Jokowi.

 

Selalu terbayang

Pemerintahan kredibel ialah yang diharapkan rakyat, demikian juga yang memegang tampuk pemerintahan karena sejatinya kekuasaan itu amanah dari rakyat. Kredibel itu ialah dipercaya sejak proses hulu sampai hilir, sejak penjaringan, pencalonan, kampanye, pencoblosan, keputusan, sampai pelantikan. Pemenang pesta demokrasi ini tentu berharap demikian, terpilih dengan cara sehat dan sama sekali nol kesalahan. Pemenang tidak besar kepala, sementara yang belum terpilih legawa dan tidak selalu menyerang sang pemenang.

Pemenang tentu tidak mengharapkan kemenangannya selalu disoal dan menyebabkan seluruh kebijakannya juga dipersoalkan. Inilah bibit-bibit distrust tersebut karena berawal dari proses yang tidak kredibel.

Memang selalu ada kalimat pembenar sebagai pemenang. Menurut pemenang: 'Apa pun yang dilakukan akan tetap salah, toh, yang setuju juga tidak kalah banyak'. Sikap pemenang seperti ini tentu bukan sikap pemimpin karena mengandalkan jumlah dan kekuatan massa pendukung. Jika karena pertimbangan mayoritas, jumlah terbesar, apa bedanya dengan gaya-gaya premanisme?

Tidak ada lain, kendatipun PP 53/2023 sudah diterbitkan dengan alasan boleh tidak mundur agar tidak merugikan negara, pejabat negara seperti Mahfud, Prabowo, dan Gibran mutlak harus mundur untuk menjaga muruah demokrasi Indonesia yang dibanggakan di seluruh dunia. Kasus konflik kepentingan seperti Mayor Teddy sudah terjadi. Jika dibiarkan, akan banyak sekali noda-noda politik Indonesia pada 2024 ini. Begitu banyak kisah noda hitam demokrasi Indonesia dan seharusnya catatan itu tidak diperpanjang lagi.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat