visitaaponce.com

Politisasi Bansos, Potensi Pelanggaran Keuangan Negara

Politisasi Bansos, Potensi Pelanggaran Keuangan Negara
Ilustrasi MI(MI/Seno)

LONJAKAN belanja bansos pada APBN 2024 sebesar Rp168,5 triliun memantik polemik. UU No 19/2023 tentang APBN Tahun 2024 telah mengalokasikan belanja perlindungan sosial (perlinsos) sebesar Rp493,5 triliun. Seiring dengan rencana tambahan BLT mitigasi risiko pangan sebesar Rp11,25 triliun, belanja perlinsos pada APBN 2024 menjadi sebesar Rp507,7 triliun, tertinggi sepanjang sejarah republik ini. Namun, kalau dicermati, penganggaran dan pencairan belanja bansos pada masa kontestasi Pemilu 2024 berpotensi melanggar ketentuan keuangan negara.

Kegiatan kunjungan kerja Presiden Jokowi yang intensif dalam masa kampanye disertai pembagian bansos menjelang pemungutan suara berpotensi menjadi politik uang. Kendati Jokowi tidak secara langsung mengaitkan bansos dimaksud dengan dukungan kepada pasangan Prabowo-Gibran, aparat negara yang mengelola proses pemberian bansos itu dapat saja memberikan preferensi keterkaitan paslon tersebut dengan Presiden Jokowi. Kondisi psikologis penerima bansos rentan dipengaruhi untuk menjatuhkan pilihan pada capres/cawapres ini.

Publik dapat menilai rekam jejak Jokowi sebelumnya ketika melakukan kunjungan kerja. Kalau pada saat Pilpres 2019 dan sepanjang pandemi covid-19 pada 2020 dan 2021, Jokowi tidak langsung membagi-bagikan bansos, patut diduga adanya kepentingan kampanye terselubung pada aksi Jokowi itu. Alasan Jokowi menyerahkan langsung untuk memastikan bansos tersebut tepat sasaran terlalu berlebihan karena pemerintah memiliki semua instrumen untuk pengawasan bansos.

Baca juga : Jokowi Dinilai Gunakan Bansos untuk Menaikkan Kepuasan Masyarakat

 

Pelanggaran ketentuan keuangan negara

Pasal 3 UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara mewajibkan penyelenggara negara mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Baca juga : Anggaran Bansos 2024 Naik Rp53 Triliun Rawan Dipolitisasi

Pengelolaan dimaksud mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.

Potensi pelanggaran prinsip dasar pengelolaan keuangan negara dapat terjadi pada masa proses kontestasi pada 2023 dan 2024 terkait pengelolaan belanja bansos.

Pertama, pemerintah untuk 2023 melakukan pengeluaran belanja bansos melebihi anggaran sebesar Rp13,4 triliun dari anggaran sebesar Rp143,5 triliun. Mengingat pada 2023 pemerintah tidak dalam kondisi darurat, pencairan belanja bansos sebesar Rp13,4 triliun bertentangan dengan Pasal 3 ayat (3) UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Ketentuan itu melarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN jika anggaran untuk membiayai pengeluaran itu tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.

Baca juga : Publik Sudah Sadar, Politisasi Bansos karena Cawe-Cawe Jokowi

Kedua, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyatakan akan mengalokasikan sebesar Rp11,25 triliun untuk kebutuhan BLT sebesar Rp200 ribu per bulan kepada 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) selama tiga bulan pertama pada 2024. Menurutnya, anggaran BLT iti akan dicari dari realokasi pos-pos anggaran lainnya di dalam APBN 2024. Pernyataan Sri Mulyani itu secara implisit menunjukkan kebutuhan tambahan bansos dimaksud belum teranggarkan pada APBN 2024.

Ketika pemerintah memaksakan pengeluaran tambahan untuk belanja bansos yang belum teranggarkan, tindakan itu selain melanggar Pasal 3 ayat (3) UU No 1/2004 juga bertentangan UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengharuskan proses perencanaan sebagai dasar penganggaran. Prinsip dasar penganggaran dilakukan melalui proses perencanaan untuk menjaga transparansi, akuntabilitas, dan inklusif. Karena itu, penyaluran bansos tersebut tidak disalahgunakan.

Ketiga, presiden sesuai Pasal 6 Ayat (2) UU No 17/2003 telah menguasakan kewenangan pengelolaan keuangan negara kementerian kepada menteri selaku pengguna anggaran. Ketentuan itu membatasi presiden untuk campur tangan pada wilayah teknis pengelolaan keuangan yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Jokowi tidak perlu melakukan kunjungan kerja secara intensif menjelang pilpres untuk cawe-cawe mengurusi penyaluran bansos.

Baca juga : Jokowi Bagi Bansos karena Panik? Jusuf Kalla: Lebih dari Itu

Ketentuan pengelolaan keuangan negara telah memberikan kewenangan kepada mensos dan jajarannya mengelola bansos secara mandiri. Jokowi sejatinya tidak mengambil alih kewenangan yang telah dikuasakan kepada seorang menteri, termasuk urusan membagi-bagikan paket bansos dimaksud.

Keempat, institusi pemerintahan secara administratif telah memiliki prosedur operasi standar yang jelas dalam menangani bansos. Pendapat yang menyatakan sikap Jokowi itu sebagai bentuk kecintaannya kepada rakyat tidak dapat diterima nalar yang sehat. Pasalnya, kenapa kegiatan itu dilaksanakan bersamaan agenda kampanye kontestan pemilu.

Jalan pintas pencairan APBN untuk paket sembako sampai ke tangan penerima pada Januari 2024 berpotensi melanggar ketentuan keuangan negara. Pertanyaan yang sama, bagaimana Kemenkeu dan Kemensos mencairkan BLT mitigasi risiko pangan sebesar Rp11,25 triliun kepada 18,8 juta KPM dua minggu sebelum pemungutan suara pemilu dapat dilakukan. Audit ketaatan dan kepatuhan pengelolaan belanja kedua kegiatan itu diharapkan dapat menjawab kecurigaan publik terhadap kebijakan Jokowi di luar kelaziman.

Baca juga : Ambisi Jokowi Menangkan Gibran, Naikkan Gaji ASN hingga Tingkatkan Anggaran Bansos

 

Pelanggaran larangan politik uang pada Pilpres 2024

Saat Jokowi membagikan bansos, terlihat kejanggalan pada kemasan paket sembako merah putih dengan label Istana Kepresidenan dan bantuan presiden. Padahal, dalam ketentuan penganggaran APBN, pengeluaran itu tidak dapat dilakukan oleh Setneg karena bukan tugas dan fungsinya. Bantuan itu yang diduga kuat dikumandangkan sebagai bansos Jokowi oleh pejabat inti Jokowi dan politikus pendukung paslon Prabowo-Gibran.

Baca juga : FX Rudy Ingatkan Jokowi soal Bagi-Bagi Bansos di Jateng

Kontroversi penganggaran bantuan presiden mencuat karena belanja bansos itu terbukti tidak teralokasi pada Setneg dalam APBN 2024. Kementerian yang mengalokasikan bansos, yakni Kemensos, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian PU-Pera, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kemenkeu. 

Khusus dalam bentuk paket sembako hanya teralokasi pada Kemensos. Untuk bansos yang dianggarkan pada Kemensos, Mensos Tri Rismaharini sesuai portofolio memiliki tanggung jawab dan kewenangan penuh pengelolaan bansos serta memastikan pendistribusiannya. Ironisnya, Jokowi tidak melibatkan Risma ketika membagi-bagikan paket bansos itu.

Politik uang dapat terjadi manakala ada pihak yang mengasosiasikan bansos dengan salah satu kontestan pada saat penyaluran. Dalam masa kampanye pilpres harus dihindari upaya politisasi pemberian bansos dengan kontestan tertentu karena berpotensi sebagai kampanye terselubung. Peran organisasi pemantau pemilu, media, dan masyarakat sipil diperlukan manakala tugas pengawasan tidak dijalani lembaga pengawasan formal itu.

Baca juga : Soal Netralitas, Presiden Jokowi Diminta Contoh Bung Hatta

Sasaran penerima bansos tercatat dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang dikelola Kemensos. Potensi penyimpangan penggunaan DTKS sebagai sasaran penerima dapat terjadi apabila aparat pengelola mempertimbangkan basis elektoral penerima. Persoalan DTKS sampai saat ini masih menyisakan masalah yang berpotensi menimbulkan kerawanan tersusupi kepentingan pemenangan kontestan tertentu.

Agenda kepentingan politik partisan terlihat manakala provinsi dan kabupaten/kota sebagai lumbung suara kontestan tertentu memperoleh alokasi yang lebih besar ketimbang wilayah lainnya. 

Untuk itu, transparansi dan akuntabilitas penetapan sasaran penerima harus dilakukan berbasis elektronik dengan memperhatikan jumlah penduduk dan persentase kelompok penyandang masalah sosial di suatu daerah.

Baca juga : Ketua DPR Puan Maharani Tegaskan Bansos Bantuan Negara, Bukan dari Jokowi

Kalangan penggiat demokrasi mengingatkan netralitas Presiden Jokowi pada pilpres ini karena sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dinilai memiliki berbagai instrumen memenangkan capres/cawapres tertentu. Kita berharap kampanye terselubung dapat dicegah manakala aparat negara yang mengelola bansos tidak mengondisikan pemberian bansos merupakan afirmasi kandidat tertentu terhadap pemilih.

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat